SUARA-SUARA MATI
Karya Manuel van Loggem
DEKOR RUANGAN INI MERUPAKAN KAMAR YANG
BERNUANSAKAN KEMURAMAN, DENGAN KURSI-KURSI YANG
BERAT. RUANGAN INI RUANGAN BACA ‘BIBILIOTEK’ UNTUK
AKSEN PRIBADI YANG LEBIH NYATA PADA TOKOH SUAMI.
DAN LEBIH PENTING DAPAT MENGGUGAH KENANGAN MASA
SILAM DIMANA SAHABAT SERING KALI MENGUNJUNGI
TEMPAT ITU. PINTU CUMA SATU DIBAGIAN BELAKANG,
SEBAB KELUAR MASUKNYA ORANG-ORANG DALAM DRAMA INI
PENTING SEKALI. RUANGAN SANGAT TERATUR DAN PENUH
SELERA.
ISTRI
Jadi keluar sendiri lagi kau, Pak?
SUAMI
Ya, manis! Dan seperti yang kau lihat, dapat juga. Yah,
ingin aku sekali-sekali tak perlu dipapah orang lain
kalau berjalan. Ingin sekali-sekali aku tinggal
sendirian.
ISTRI
Tidakkah kau merasa sakit?
SUAMI
Bukan main! Sekarang pun masih terasa.
ISTRI
Baiklah. Aku tolong kau.
ISTRI MENUNTUN SUAMINYA. PERLAHAN
MENUJU KURSI. SUAMI MELETAKKAN
TONGKATNYA
SUAMI
Ambilkan surat-surat yang mesti aku kerjakan sekarang.
Ingin aku selesaikan sekali.
ISTRI
Tidakkah lebih baik kau tangguhkan saja?
SUAMI
Tidak! Aku masih punya sisa semangat yang aku kumpulkan
untuk berjalan-jalan tadi. Sekarang ingin kuhabiskan.
ISTRI
Banyak yang dikerjakan?
SUAMI
Hanya beberapa surat yang masih harus kutandatangani.
Lainnya sudah kuselesaikan.
ISTRI MENGAMBIL PULPEN DARI DALAM
SAKU BAJU SUAMINYA DAN
MEMBERIKANNYA PADA TANGAN KIRI,
KEMUDIAN DIKELUARKAN SURAT-SURAT
DARI DALAM MAP.
ISTRI
Pak, mengapa tak kau kuasakan saja padaku, untuk
menandatangani surat-surat itu. Kau sakit dan lelah.
SUAMI
Kalau aku yang menuliskan sendiri namaku, bagaimana
susah dan jeleknya, maka seolah-olah aku telah
memindahkan sebagian dari diriku ke dunia lain. Jelas
Tampak dikhayalku sendiri, sama-sama rusak dan
lumpuhnya. Tapi setidak-tidaknya di luar aku sendiri,
Tampak olehku bahwa aku masih dapat menulis, sekalipun
dengan tangan kiri. Sekalipun hanya dua kata
berturut-turut, lebih tidak.
(terdiam sejenak)
Maukah kau membukakan pulpenku?
ISTRI MEMBUKA PULPEN. SUAMINYA
MENANDATANGANI SURAT-SURAT DENGAN
TANGAN KIRI. SETELAH ITU DIAMATI
TULISANNYA DENGAN TERSENYUM.
SUAMI
(tersenyum)
Aku sendiri tidak dapat membaca apa yang aku tulis.
ISTRI
Tidak perlu! Kau hanya tanda tangan saja.
SUAMI
Setiap kali aku melihat namaku, sepertinya aku melihat
diriku sendiri.
ISTRI
Nama tak lain dari suatu janji.
SUAMI
Janji yang harus ditepati!
(nyata kecewa dengan kekerasannya,
kemudian menjadi lembut)
Maaf. Ini tentu merupakan siksaan yang berat bagimu,
bahwa kau harus memelihara aku seperti anak kecil.
ISTRI
Anak kecil!? Pak, jangan katakan itu!
SUAMI
Ya, anak kecil memang harus dipelihara baik-baik. Tapi
ini sungguh tidak adil, bahwa kau mendapat kebobrokan
tua bangka ini.
(seraya menunjuk dirinya)
Untuk kau pelihara.
ISTRI
(keras)
Tidak! Tidak! Itu sudah kewajibanku!
SUAMI
(Tersenyum mengejek campur iba)
Kewajiban!? Seperti kita sudah kawin lama saja. Padahal
baru dua tahun.
(diam sejenak)
Dulu aku sehat. Cuma agak terlampau matang barangkali,
di samping keremajaan yang masih hijau. Tapi dulu aku
mempunyai anggapan, bahwa orang membutuhkan dua umur
perempuan untuk mengisi umur satu laki-laki. Kiranya
bagiku tidak sampai memerlukan perempuan kedua, sebab
yang pertama saja sudah kugunakan seluruh jiwanya.
ISTRI
Waktu kita kawin, aku tidak menganggap kau tua.
SUAMI
Persis dua kali umurmu. Perkawinan kita ini sudah
menjadi rumusan ilmu pasti dengan hasil yang salah.
Yaitu dua kali satu sama dengan nol.
ISTRI
Kau pasti akan sembuh lagi, Pak. Waktu kita kawin kau
masih sehat.
SUAMI
Akan sembuh dan bertambah tua. Kita perlahan-lahan
tumbuh saling mendekati, akhirnya mencapai titik
pertemuan kalau sudah tidak mempunyai arti lagi. Hari
tua tak mengenal perbedaan umur lagi.
ISTRI
(berdiri)
Ada orang mengetuk pintu.
KETUKAN INI SEBENARNYA TIDAK ADA
SUAMI
(melihat jam tangan)
Kau salah dengar. Ia tentunya belum datang. Biasanya ia
selalu tepat dengan waktu yang dijanjikannya.
ISTRI
Tapi aku serasa mendengar sesuatu.
SUAMI
Mendengar sesuatu? Seperti pekan lalu?
ISTRI
(terkejut, gelisah)
Tidak! Tidak! Bukan itu! Maksudku, ketukan pintu!
SUAMI
Tidak ada ketukan pintu. Badanku lumpuh tetapi
pendengaranku masih baik.
ISTRI
(gelisah)
Mungkin aku keliru, sangkaku bunyi pintu. Tapi aku
salah dengar?
SUAMI
Orang yang mengalami sesuatu mungkin bisa keliru. Di
dalam dan di luar manusia itu ada suara. Persoalannya,
apakah orang lain juga mengalami hal yang sama?
ISTRI
Sudah! Sudah! Jangan mulai lagi!
SUAMI
Apa yang kau dengar?
ISTRI
Pintu. Tapi aku keliru! Sudahlah.
SUAMI
Aku hanya ingin menolongmu. Namun untuk itu perlu
berterus terang, yang disembunyikan akan menjadi busuk.
Aku ingin menyembuhkan.
ISTRI
Aku tidak sakit pak…
SUAMI
(perlahan, tetapi dengan tekanan)
Kau mendengar lagi tangisan anak-anak?
ISTRI
Tidak! Tidak!
SUAMI
Jangan disembunyikan, aku ingin menolongmu. Waktu
berjalan terus tanpa kata. Apa yang sudah lalu kau
dengar sekarang. Kau ketinggalan sendiri di masa silam.
Kau harus mengejar kami. Jangan tinggal di sana. Anak
itu sudah mati, sudah lebih dari satu tahun.
ISTRI
Jangan usik soal itu lagi!
SUAMI
Kau sudah ketinggalan waktu lebih dari satu tahun
ISTRI
Aku mendengar tangisan anak itu. Aku bersumpah! Aku
mendengar!
SUAMI
Yang baru-baru ini, kau pungkiri juga. Setelah lama
barulah kau mengaku. Itu bagus sekali. Tandanya kau
sadar akan kesendirianmu. Sendirian dalam waktu, dengan
kenangan sebagai dunia sekitarmu. Kau harus lekas-lekas
kembali, sebab kami terus maju. Jarak waktu antara kau
dan kami semakin jauh.
ISTRI
(kehabisan tenaga)
Sudahlah! Sudah! Aku tidak mendengar.
SUNYI BEBERAPA SAAT, SUAMI BERDIRI
DAN BERJALAN DENGAN SUSAH PAYAH
MENDEKATI POTRET KECIL, POTRET
SEORANG ANAK BAYI, YANG BERADA DI
ATAS LEMARI BUKU.
SUAMI
Untunglah aku sudah membuat potret ini. Sekarang aku
tidak dapat membuatnya lagi. Tanganku tidak kuasa lagi
memegang alatnya. Tapi potret ini kubuat, dulu ketika
anak ini baru lahir, belum dapat dikenali wajahnya,
belum dapat dikenal mirip siapa wajahnya. Sayang tak
lama kemudian meninggal.
(Tiba-tiba berpaling pada istrinya
dengan pandangan tajam)
Ingatanku mulai tumpul. Bukankah kata dokter, anak itu
mati lemas karena mukanya telungkup ke bantal?
ISTRI
Aku harap jangan bicarakan itu lagi!
SUAMI
Begitu kata dokter, bukan!?
ISTRI
Ya!
SUAMI
Tidak seorang pun dapat berbuat apa-apa. Tak seorang
pun bersalah!
ISTRI
(Tak bernada)
Tidak seorang pun!
SUAMI KEMBALI MENEKUNI POTRET
SERAYA TERMENUNG
SUAMI
Dengan membuat potret ini, seolah-olah aku telah
merampas hidupnya. Aku bangga sekali dengan anak ini.
Masih ingatkah kau?
(Istri diam membuang muka)
Bangga bercampur takjub. Bangga karena kenyataan,
sekalipun keadaanku begini, aku masih dapat punya anak.
Boleh dikata suatu keajaiban. Kelahiran dari cipta.
Seperti dalam dunia wayang saja. Indrajid lahir karena
kekuatan cipta.
PINTU DIKETUK ORANG, ISTRI
TERKEJUT. SUAMI MELIHAT JAM
TANGANNYA
Pintu diketuk orang?
ISTRI
Aku tidak mendengar!
SUAMI
Itu salah! Mestinya kau dengar apa-apa. Tapi pintu
diketuk orang. Ia datang terlalu pagi, tapi tak
mengapa. Kita boleh bergembira, bahwa satu-satunya
sahabat kita masih tinggal mengukur waktunya dengan
hasrat dan bukan dengan jamnya. Suruh dia masuk. Tentu
kau senang melihat dia kembali.
ISTRI BERDIRI LURUS SAJA TAK
BERGERAK
ISTRI
Aku…. tidak senang!
SUAMI
(tajam)
Suruh dia masuk!
ISTRI PERGI, SUAMI KEMBALIKAN
POTRET, TETAPI LANTAS DIKEMBALIKAN
PADA TEMPAT SEMULA. LALU ISTRI DAN
SAHABAT MASUK. SUAMI MENYAMBUT
DENGAN SUSAH PAYAH DENGAN ULURAN
TANGAN KIRINYA, KEMUDIAN KEMBALI
DUDUK KE KURSINYA
SAHABAT
Bagaimana keadaan tubuhmu?
SUAMI
Semakin buruk, kepala tinggal menunggu apa yang
dilakukan oleh badan. Pikiranku masih terang, itu yang
malah membuat aku susah. Serasa badanku dibelit ular
sampai remuk, tapi kepalaku tidak apa-apa, hingga aku
dapat menyaksikan semuanya dengan terang.
SAHABAT
Apa kata dokter?
SUAMI
Dokter, aku sudah tidak pakai lagi. Sudah sering
berganti, tetapi mereka tidak dapat menyembuhkan. Kata
mereka, penyakitku ini akan hilang dengan sendirinya.
Sekarang aku tidak mau melihat mereka lagi. Dengan
begitu mereka pun tak akan dapat memberikan aku
harapan-harapan palsu lagi. Sekarang aku bersikap tak
peduli.
(sahabat berpaling pada istri)
SAHABAT
(dengan lembut)
Dan kau, apa kabarmu?
ISTRI
Baik! Cuma kepalaku agak pening!
SUAMI
(kepada Sahabat)
Aku ingin bicara dengan kau tentang dia. Barangkali kau
dapat memberi pertimbangan. Sayang akhir-akhir ini kau
jarang sekali datang.
SAHABAT MENJAWAB SUAMI, TAPI DENGAN
DENGAN PANDANGAN KE ISTRI
SAHABAT
Akhir-akhir ini aku mendapat kesan, bahwa kedatanganku
tidak begitu mendapat sambutan seperti dulu.
ISTRI MEMANDANG KE ARAH LAIN
SUAMI
Itu cuma perasaanmu saja. Tapi aku yakin, pasti bukan
aku yang menimbulkan kesan itu, aku senang kalau kau
datang.
(Diam sejenak)
Aku tahu, bahwa antara kita terjalin suatu ikatan,
ikatan yang melebihi persahabatan semata.
SAHABAT
Begitu memang!
ISTRI
(terkejut)
Tidak!
SAHABAT
Bukankah sudah waktunya sekarang berterus terang?
SUAMI
Selamanya memang lebih terang, kalau berterus terang.
SAHABAT
Nah, mulailah! Mengapa kau menelepon, menyuruh aku
datang kemari? Mengapa kau meminta aku datang tepat
pada waktu yang kau tentukan?
ISTRI
Dia menelepon?
(kepada suami)
Aku tidak tahu, Pak. Mengapa tidak kau katakan padaku.
Katamu dia akan datang seperti dulu-dulu. Tapi kau
tidak meminta dia datang, kan!?
SUAMI
Aku ingin memulihkan kembali persahabatan kita. Yang
dulu alami bersama-sama. Saat-saat yang menyenangkan,
kita bertiga dekat sehabis perkawinan kita.
Persahabatan yang jarang terjadi, sudah merupakan tri
tunggal.
(kepada sahabat)
Dan ketika kau tidak datang-datang lagi, entah apa
sebabnya aku tidak tahu, maka rumah ini lalu menjadi
sepi. Dapat kau pahami, bukan? Seorang yang lumpuh,
seorang istri cantik yang muda ini, membawa kekakuan,
membawa kesepian. Dan dalam kesepian lantas tumbuh
suara-suara aneh yang mengacaukan alam pikiran. Sebab
itu kuminta kau datang, sahabat. Kau sebagai
satu-satunya suara hidup untuk melawan suara-suara mati
dalam kesepian kami.
SAHABAT
Apa maksudmu? Suara-suara mati? Aku menjadi curiga
padamu!
SUAMI
Orang cacat selamanya dicurigai. Ya, mereka adalah
musuh-musuh yang dijelmakan dari perasaan takut
orang-orang waras.
SAHABAT
(mengancam)
Apa suara-suara mati itu?
SUNYI SEKETIKA, SUAMI MEMASANG
TELINGA, SUARA PINTU DIKETUK ORANG.
ISTRI
(memekik)
Tidak! Aku tidak mendengar apa-apa!
SUAMI
Ssttt! Pintu diketuk orang?
ISTRI
Aku tidak mendengar apa-apa!
SUAMI
(melihat jam)
Pengantar pos. Datangnya mesti saat-saat seperti ini.
Tadi kuminta bujang segera membawa surat-suratnya
kemari.
BUJANG MASUK DENGAN MEMBAWA SURAT-SURAT YANG DIULURKAN
KEPADA ISTRI
BUJANG
Ada surat untuk nyonya.
ISTRI TAK BERGERAK. BUJANG MASIH
BERDIRI DENGAN TANGAN TERJULUR
SUAMI
Itu… ada surat untukmu!
ISTRI MENDEKATI BUJANG,
PERLAHAN-LAHAN SEPERTI DALAM MIMPI
DAN DENGAN ACUH TAK ACUH MENGAMBIL
SURAT. BUJANG LANTAS KELUAR LAGI.
ISTRI TINGGAL BERDIRI SAJA.
TANGANNYA LURUS KE BAWAH. SURAT ITU
DIPEGANGNYA TANPA DIBACA.
SUAMI
Mengapa kau berdiri saja?
SAHABAT
Ada apa? Dari siapa surat itu?
ISTRI
(tak bernada)
Dari kau!
SAHABAT
(tersentak)
Apa maksudmu?
ISTRI
(masih tak bernada)
Setahun lamanya kau tulis surat padaku. Aku tak berani
membicarakan soal itu dengan kau. Cuma aku memberikan
isyarat agar kau dapat merasa. Itulah sebabnya kau
merasa di sini tak lagi mendapat sambutan baik seperti
dulu-dulu. Kini sudah waktunya berterus terang seperti
katamu tadi. Baiklah aku senang sekarang, tak perlu
lagi harus bersembunyi. Cuma aku tak mengerti, mengapa
kau siksa aku dengan surat-surat itu.
SAHABAT
(pada suami)
Apa artinya semua ini?
SUAMI
Suara-suara mati! Ia mendengar suara-suara itu. Dan
kini ia melihat isyarat-isyarat kematian.
ISTRI
(seraya memperlihatkan surat)
Tapi toh surat ini ada padaku. Aku kenal tulisan ini
seperti aku kenal tulisanku sendiri. Setahun lamanya
aku menerima surat-surat dengan tulisan ini. Mula-mula
sesaat setelah matinya anak itu.
SAHABAT
Tapi mengapa kau mengira aku yang menulis?
ISTRI
Sebab hanya kau yang tahu apa yang tertulis di
dalamnya!
SAHABAT MEREBUT SURAT DARI TANGAN
ISTRI
SAHABAT
Berikan surat itu
(melihat suami)
aku tidak menulis surat itu!
ISTRI
Namamu memang tidak kau tuliskan, tapi hanya kau yang
tahu apa isinya.
SAHABAT
Aku berani bersumpah, bukan aku yang menulis surat ini!
ISTRI
Surat-surat yang lain pun tak pernah kau tanda tangani.
SAHABAT
Aku tidak pernah menyuratimu! Aku tidak akan berani!
Aku takut… Ya, aku takut akan membuka rahasiaku sendiri
kalau aku menulis surat, betapa pun aku sudah
berhati-hati.
ISTRI
Dalam hati aku pun bertanya-tanya, mengapa begitu
sampai hati kau melakukannya. Semula aku menangis
karenanya, karena kekejamanmu. Tapi kemudian ketika aku
mulai berpikir, bahwa aku mungkin benar maka
mengertilah aku, bahwa kau harus membenciku.
SAHABAT
(memegang bahu Istri)
Apa yang kau katakan itu? Demi Tuhan, katakan apa yang
telah terjadi?
ISTRI MELEPASKAN DIRI DARI PEGANGAN
SAHABAT LALU PERLAHAN MENUJU KE
DEPAN SERAYA MENGUCAPKAN YANG
BERIKUT, SEPERTI BICARA PADA DIRI
SENDIRI
ISTRI
Mula-mula ada perlawanan, perlawanan karena tidak
percaya, karena keyakinan dalam dirimu. Kau mulai tahu
bahwa tuduhan-tuduhan itu bohong oleh kepastian
pengalaman. Tapi apa yang terjadi sebenarnya, tidak
dapat diikuti lagi. Kebenaran itu terletak di masa
silam dalam dirimu. Cuma kenangan padanya. Lalu
kenangan itu perlahan disinggung. Lama kelamaan kau
terlepas dari masa silam, sampai pada saat kenangan itu
membentuk kehidupannya sendiri dan runtuhlah
kepercayaan pada apa yang kau ketahui. Mula-mula kau
lawan kesadaran ini. Tapi sudah tidak ada lagi
sisa-sisa kepastian yang tinggal. Dan kekuatan dalam
dirimu pun menjadi liar.
SERAYA MENATAP DENGAN PANDANGAN
REDUP KE SEKITAR. SEAKAN-AKAN
HENDAK MENGUJI KEJADIAN-KEJADIAN DI
MASA SILAM PADA BENDA-BENDA DI
DALAM KAMAR
Benda-benda di sekitarmu mulai kehilangan kemesraannya,
persoalan yang paling remeh sekali pun menjadi bersaing
dan memuakkan lalu mendorong kau menjauhinya. Meja dan
kursi di dalam kamar, pohon-pohon di jalan, mega-mega
di langit. Semuanya menarik diri darimu, mereka jadi
samar-samar mengandung rahasia. Itulah yang memberi
kesepian yang tidak tertangguhkan lagi. Dan
bayang-bayang yang timbul dalam dirimu penuh dengan
dendam dan benci.
PADA KALIMAT BERIKUTNYA, SEJENAK
ISTRI MELIHAT PADA SAHABAT YANG
MEMERHATIKAN DIA DENGAN TERHARU DAN
PENUH KASIH. SUAMI MENGIKUTI
PANDANGAN MEREKA BERDUA. PADA
MUKANYA TERBACA PERASAAN SAKIT
HATI, PUTUS ASA DAN DENDAM YANG
BERKOBAR-KOBAR KARENA KESEPIAN YANG
DILONTARKAN OLEH ISTRINYA.
Yang menjadi teka-teki bagiku ialah, mengapa manusia
itu mesti menjadi memusuhi dirinya sendiri? Mengapa
dalam satu tubuh bersarang harapan kedamaian bersamaan
dengan kekuatan yang membawa kebinasaan. Dan lambat
laun kau tenggelam dalam kesangsian, dalam ketakutan,
dalam kesamaran dan keterasingan!!
Kadang-kadang, serasa ada dinding yang membelah badanku
menjadi dua, di sisi kanan aku dapat berpikir,
mengetahui, melihat keadaanku, mengikuti masa silam
dengan keyakinan yang pasti. Tetapi di sisi kiri segala
tumbuh dalam diriku, kecemasan, bayang-bayang yang
serba samar. Sedang akalku tidak kuasa menembus dinding
itu.
(seolah-olah sudah kehabisan napas)
Kadang-kadang, serasa akal memukul-mukul seperti hendak
melepaskan diri, tetapi dindingnya terlalu kuat. Aku
tahu aku hidup dalam kebohongan, tapi kebohongan itu
sangat kuat menguasaiku. Ada sebuah dinding yang
membatasi antara aku dan suara anak itu menangis. Aku
tidak dapat meneliti dari sisi dinding sebelah mana
datangnya suara itu.
SAHABAT
Kau mendengar anak menangis?
ISTRI
Ya. Tangis anakku, anakku yang telah mati
(seraya menunjuk suaminya)
dia, dialah yang memperingatkan aku terhadap suara itu.
Dialah yang mula-mula mendengar tangisan itu, kemudian
disampaikan kepadaku.
(Diam sejenak)
kemudian datanglah kesangsian itu, kemudian suara itu.
SESAAT SEPI MENCEKAM
SUAMI
Kasihan.....
(pada sahabat)
Tidak benar! Tidak benar, bahwa aku yang mulai
mendengar suara itu. Itu hanya angan-angannya saja.
Yang tidak dapat disesalinya.
ISTRI
Bersamaan waktunya dengan itu datanglah surat-surat
itu, surat-surat yang berisi tuduhan. Surat dari
satu-satunya orang yang sebenarnya dapat menolong aku.
Surat dari kau! Oh, alangkah kejamnya. Kejam! Bahwa
datangnya dari kau. Bahwa kau menuduhku!
SAHABAT
Apa yang telah aku tuduhkan padamu?
ISTRI
Bahwa aku telah membunuh anakku
(sunyi senyap)
SAHABAT
Itu tidak benar!
ISTRI
Di sisi kanan kebenaran, di sisi kiri dosa dan di
tengah-tengah dinding. Tiap-tiap manusia selalu ada
perasaan dosa yang masih samar-samar, masih mencari
dasar. Kaulah yang memberi dasar itu dengan
surat-suratmu!
SAHABAT
(seraya menunjuk surat)
Jadi kau anggap aku yang menulis surat itu?
ISTRI
Ya!
SAHABAT
Boleh aku membacanya?
ISTRI
Boleh, nanti kau akan melihat dirimu sendiri seperti di
dalam cermin.
SAHABAT MEROBEK SAMPUL SURAT, SURAT
DIKELUARKAN LALU DIBACA
SUAMI
Apa isinya?
(Sahabat, lama memerhatikan suami dengan
pandangan curiga).
SAHABAT
(geram)
Kau pembunuh!
SUAMI
(menyindir tajam)
Aku? Aneh sekali! Boleh aku melihat?
SAHABAT MELEMPARKAN SURAT KEPADA
SUAMI. SUAMI DENGAN SUSAH PAYAH
MEMUNGUTNYA DI LANTAI.
SUAMI
Kau salah baca. Sudah kusangka. Di sini tertulis: “Ibu
pembunuh”.
ISTRI
Aku? Oh, lain tidak?
SUAMI
Tidak.
SAHABAT
(kepada Istri)
Mesti ada yang mengetahui tentang anak kita. Ya, aku
tidak mau membisu lebih lama lagi. Kau tahu, bahwa aku
cinta padamu. Jadi tidak mungkin aku yang menulis
surat-surat itu. Surat ini pun tidak! Aku tidak
berubah. Aku tidak menulis surat-surat itu, percayalah!
Percayalah!
ISTRI
Aku mau percaya padamu. Aku juga tidak menginginkan
bukti apa pun, yang kau katakan itu sudah cukup. Hanya
karena kau yang mengatakan. Kalau pun aku melihat
sendiri kau yang menulis, aku pun akan percaya juga.
Sebab aku mau percaya, dinding dalam diriku yang
membatasi antara bukti dan harapanku.
SAHABAT
Aku berhak atas dirimu. Aku tidak sudi berlama-lama
lagi dipaksa melepaskan kau karena belas kasihan.
SUAMI
Jangan hiraukan aku!
SAHABAT
(kepada Istri)
Lingkungan ini tidak baik bagimu, kau harus pergi dari
sini. Kubawa kau dari sini, hawa sekitar sini sudah
busuk, cahaya di sini sudah beracun. Kau tidak bebas
bernapas. Ikutilah dengan aku.
SAHABAT MEMEGANG LENGAN ISTRI.
ISTRI TIDAK MELAWAN.
SUAMI
Tidakkah kau minta diri dulu dariku?
SAHABAT PUN MENDEKATI SUAMI TANPA
MELEPASKAN LENGAN ISTRI. SUAMI
BANGKIT DARI KURSINYA DENGAN SUSAH
PAYAH DAN BERDIRI DI HADAPAN MEREA.
KETIGA ORANG ITU SEKARANG BERDIRI
DEKAT POTRET BAYI DI ATAS LEMARI
BUKU.
SUAMI
Aku harus tinggal di sini. Aku tidak dapat meninggalkan
dia. Aku tahu betapa berat penanggunganmu. Seorang yang
tak patut mendapat kasih. Seorang pincang dan lumpuh
seperti aku tidak sepatutnya berkumpul dengan orang
yang hidupnya tanpa cacat, sebab ia cuma menghalangi
kebahagiaan orang lain saja, sering aku berpikir apakah
tidak lebih baik kalau aku memutuskan untuk melepaskan
kau dariku. Syukurlah kini sudah ada orang ketiga yang
mau melakukannya. Pergilah kau bersama dia. Malapetaka
yang kusebar, kini sudah seperti penyakit, semakin lama
semakin payah, tidak menjadi berkurang. Dan hidup yang
kutempuh sekarang ini sudah tidak memberikan bahagia.
Aku hanya dapat menebusnya dengan kematianku.
SAHABAT
(dengki)
Sayang!
ISTRI
Untung tidak ada lagi anak yang akan mengikat kau!
Barangkali di luar rumah ini kau pun tak akan mendengar
tangisnya lagi!
ISTRI MELEPASKAN DIRI DARI PEGANGAN
SAHABAT
ISTRI
Aku berterima kasih padamu bahwa selama ini kau telah
banyak berkorban untukku. Tapi aku mohon jangan coba
kau bujuk aku. Aku tahu lebih pasti bahwa aku mesti
tinggal padanya daripada hasratku ikut bersamamu.
SAHABAT MELANGKAH MAJU KEPADA SUAMI
DENGAN MENGANCAM
SAHABAT
Aku dapat menghajar kau jahanam! Kau jerat dia di sini!
Kau bunuh dia!
SUAMI
(tersenyum)
Aku cuma seseorang yang malang, yang lumpuh. Aku
maafkan kau!
SUAMI LUPA DISEBABKAN KARENA
KEMENANGANNYA. SUAMI MENGULURKAN
TANGAN KANANNYA. SAHABAT TAK
MENYAMBUT ULURAN TANGAN ITU, IA
MEMBELAKANGI. TERPIKIR SEJENAK,
TIBA-TIBA CEPAT IA MEMBALIKAN
BADANNYA KEMBALI.
SAHABAT
Jarimu kena tinta!
SUAMI CEPAT MENARIK TANGANNYA,
ISTRINYA MELIHAT TANGANNYA SENDIRI,
KEMUDIAN MENGHAMPIRI SUAMINYA,
MEMEGANG TANGANNYA
ISTRI
Tinta? Aneh sekali! Coba lihat!
SUAMI
(berteriak karena rahasianya terbuka)
Pergilah bersama dia! Tinggalkan aku sendiri!
SUAMI CEPAT MENARIK TANGANNYA DAN
JATUH. DALAM USAHANYA MENCARI
PEGANGAN PADA LEMARI BUKU.
TANGANNYA MENYINGGUNG POTRET BAYI
HINGGA JATUH PULA KE BAWAH. HENDAK
DITANGKAPNYA POTRET ITU, TAPI
SIA-SIA DAN POTRET ITU BERANTAKAN
DI LANTAI. DALAM PADA SAAT ITU,
ISTRINYA MENJERIT.
ISTRI
Ia…. Ia bergerak!
SAHABAT PERLAHAN-LAHAN MENDEKATI
SUAMI DENGAN SIKAP MENGANCAM
SAHABAT
Tanganmu dapat bergerak. Tangan kananmu kena tinta! Kau
apakan dia!
(seraya menunjuk istri)
Kau apakan anaknya!?
SUAMI BERDIRI TEGAK DENGAN
MUDAHNYA. IA TAK LAGI LUMPUH.
KAKINYA MENYAMBAR POTRET. TANGANNYA
MENUDING ISTRINYA
SUAMI
(penuh kebencian dan sombong atas
kemenangan)
Biar dirasakan siksaanku sebelum yang akan kalian
terima di neraka!
SAHABAT
(Seraya menarik bahu Istri)
Mari! Ikutlah denganku! Biar dia menghukum perbuatannya
sendiri.
ISTRI
Tunggu dulu
(melepaskan bahunya)
Diam! Diamlah!
KEDUA LAKI-LAKI SALING BERPANDANGAN
PENUH KEHERANAN
ISTRI
Ah, tidakkah kalian mendengar? Tidak mendengarkah
kalian? Anakku menangis! Anakku menangis! Anakku
menangis!
LAMPU DIPADAMKAN LAMBAT LAUN. PADA
SAAT KESEPIAN MENYUSUL.
TAMAT
Jakarta, 07 Agustus 2019
Karya Manuel van Loggem
DEKOR RUANGAN INI MERUPAKAN KAMAR YANG
BERNUANSAKAN KEMURAMAN, DENGAN KURSI-KURSI YANG
BERAT. RUANGAN INI RUANGAN BACA ‘BIBILIOTEK’ UNTUK
AKSEN PRIBADI YANG LEBIH NYATA PADA TOKOH SUAMI.
DAN LEBIH PENTING DAPAT MENGGUGAH KENANGAN MASA
SILAM DIMANA SAHABAT SERING KALI MENGUNJUNGI
TEMPAT ITU. PINTU CUMA SATU DIBAGIAN BELAKANG,
SEBAB KELUAR MASUKNYA ORANG-ORANG DALAM DRAMA INI
PENTING SEKALI. RUANGAN SANGAT TERATUR DAN PENUH
SELERA.
ISTRI
Jadi keluar sendiri lagi kau, Pak?
SUAMI
Ya, manis! Dan seperti yang kau lihat, dapat juga. Yah,
ingin aku sekali-sekali tak perlu dipapah orang lain
kalau berjalan. Ingin sekali-sekali aku tinggal
sendirian.
ISTRI
Tidakkah kau merasa sakit?
SUAMI
Bukan main! Sekarang pun masih terasa.
ISTRI
Baiklah. Aku tolong kau.
ISTRI MENUNTUN SUAMINYA. PERLAHAN
MENUJU KURSI. SUAMI MELETAKKAN
TONGKATNYA
SUAMI
Ambilkan surat-surat yang mesti aku kerjakan sekarang.
Ingin aku selesaikan sekali.
ISTRI
Tidakkah lebih baik kau tangguhkan saja?
SUAMI
Tidak! Aku masih punya sisa semangat yang aku kumpulkan
untuk berjalan-jalan tadi. Sekarang ingin kuhabiskan.
ISTRI
Banyak yang dikerjakan?
SUAMI
Hanya beberapa surat yang masih harus kutandatangani.
Lainnya sudah kuselesaikan.
ISTRI MENGAMBIL PULPEN DARI DALAM
SAKU BAJU SUAMINYA DAN
MEMBERIKANNYA PADA TANGAN KIRI,
KEMUDIAN DIKELUARKAN SURAT-SURAT
DARI DALAM MAP.
ISTRI
Pak, mengapa tak kau kuasakan saja padaku, untuk
menandatangani surat-surat itu. Kau sakit dan lelah.
SUAMI
Kalau aku yang menuliskan sendiri namaku, bagaimana
susah dan jeleknya, maka seolah-olah aku telah
memindahkan sebagian dari diriku ke dunia lain. Jelas
Tampak dikhayalku sendiri, sama-sama rusak dan
lumpuhnya. Tapi setidak-tidaknya di luar aku sendiri,
Tampak olehku bahwa aku masih dapat menulis, sekalipun
dengan tangan kiri. Sekalipun hanya dua kata
berturut-turut, lebih tidak.
(terdiam sejenak)
Maukah kau membukakan pulpenku?
ISTRI MEMBUKA PULPEN. SUAMINYA
MENANDATANGANI SURAT-SURAT DENGAN
TANGAN KIRI. SETELAH ITU DIAMATI
TULISANNYA DENGAN TERSENYUM.
SUAMI
(tersenyum)
Aku sendiri tidak dapat membaca apa yang aku tulis.
ISTRI
Tidak perlu! Kau hanya tanda tangan saja.
SUAMI
Setiap kali aku melihat namaku, sepertinya aku melihat
diriku sendiri.
ISTRI
Nama tak lain dari suatu janji.
SUAMI
Janji yang harus ditepati!
(nyata kecewa dengan kekerasannya,
kemudian menjadi lembut)
Maaf. Ini tentu merupakan siksaan yang berat bagimu,
bahwa kau harus memelihara aku seperti anak kecil.
ISTRI
Anak kecil!? Pak, jangan katakan itu!
SUAMI
Ya, anak kecil memang harus dipelihara baik-baik. Tapi
ini sungguh tidak adil, bahwa kau mendapat kebobrokan
tua bangka ini.
(seraya menunjuk dirinya)
Untuk kau pelihara.
ISTRI
(keras)
Tidak! Tidak! Itu sudah kewajibanku!
SUAMI
(Tersenyum mengejek campur iba)
Kewajiban!? Seperti kita sudah kawin lama saja. Padahal
baru dua tahun.
(diam sejenak)
Dulu aku sehat. Cuma agak terlampau matang barangkali,
di samping keremajaan yang masih hijau. Tapi dulu aku
mempunyai anggapan, bahwa orang membutuhkan dua umur
perempuan untuk mengisi umur satu laki-laki. Kiranya
bagiku tidak sampai memerlukan perempuan kedua, sebab
yang pertama saja sudah kugunakan seluruh jiwanya.
ISTRI
Waktu kita kawin, aku tidak menganggap kau tua.
SUAMI
Persis dua kali umurmu. Perkawinan kita ini sudah
menjadi rumusan ilmu pasti dengan hasil yang salah.
Yaitu dua kali satu sama dengan nol.
ISTRI
Kau pasti akan sembuh lagi, Pak. Waktu kita kawin kau
masih sehat.
SUAMI
Akan sembuh dan bertambah tua. Kita perlahan-lahan
tumbuh saling mendekati, akhirnya mencapai titik
pertemuan kalau sudah tidak mempunyai arti lagi. Hari
tua tak mengenal perbedaan umur lagi.
ISTRI
(berdiri)
Ada orang mengetuk pintu.
KETUKAN INI SEBENARNYA TIDAK ADA
SUAMI
(melihat jam tangan)
Kau salah dengar. Ia tentunya belum datang. Biasanya ia
selalu tepat dengan waktu yang dijanjikannya.
ISTRI
Tapi aku serasa mendengar sesuatu.
SUAMI
Mendengar sesuatu? Seperti pekan lalu?
ISTRI
(terkejut, gelisah)
Tidak! Tidak! Bukan itu! Maksudku, ketukan pintu!
SUAMI
Tidak ada ketukan pintu. Badanku lumpuh tetapi
pendengaranku masih baik.
ISTRI
(gelisah)
Mungkin aku keliru, sangkaku bunyi pintu. Tapi aku
salah dengar?
SUAMI
Orang yang mengalami sesuatu mungkin bisa keliru. Di
dalam dan di luar manusia itu ada suara. Persoalannya,
apakah orang lain juga mengalami hal yang sama?
ISTRI
Sudah! Sudah! Jangan mulai lagi!
SUAMI
Apa yang kau dengar?
ISTRI
Pintu. Tapi aku keliru! Sudahlah.
SUAMI
Aku hanya ingin menolongmu. Namun untuk itu perlu
berterus terang, yang disembunyikan akan menjadi busuk.
Aku ingin menyembuhkan.
ISTRI
Aku tidak sakit pak…
SUAMI
(perlahan, tetapi dengan tekanan)
Kau mendengar lagi tangisan anak-anak?
ISTRI
Tidak! Tidak!
SUAMI
Jangan disembunyikan, aku ingin menolongmu. Waktu
berjalan terus tanpa kata. Apa yang sudah lalu kau
dengar sekarang. Kau ketinggalan sendiri di masa silam.
Kau harus mengejar kami. Jangan tinggal di sana. Anak
itu sudah mati, sudah lebih dari satu tahun.
ISTRI
Jangan usik soal itu lagi!
SUAMI
Kau sudah ketinggalan waktu lebih dari satu tahun
ISTRI
Aku mendengar tangisan anak itu. Aku bersumpah! Aku
mendengar!
SUAMI
Yang baru-baru ini, kau pungkiri juga. Setelah lama
barulah kau mengaku. Itu bagus sekali. Tandanya kau
sadar akan kesendirianmu. Sendirian dalam waktu, dengan
kenangan sebagai dunia sekitarmu. Kau harus lekas-lekas
kembali, sebab kami terus maju. Jarak waktu antara kau
dan kami semakin jauh.
ISTRI
(kehabisan tenaga)
Sudahlah! Sudah! Aku tidak mendengar.
SUNYI BEBERAPA SAAT, SUAMI BERDIRI
DAN BERJALAN DENGAN SUSAH PAYAH
MENDEKATI POTRET KECIL, POTRET
SEORANG ANAK BAYI, YANG BERADA DI
ATAS LEMARI BUKU.
SUAMI
Untunglah aku sudah membuat potret ini. Sekarang aku
tidak dapat membuatnya lagi. Tanganku tidak kuasa lagi
memegang alatnya. Tapi potret ini kubuat, dulu ketika
anak ini baru lahir, belum dapat dikenali wajahnya,
belum dapat dikenal mirip siapa wajahnya. Sayang tak
lama kemudian meninggal.
(Tiba-tiba berpaling pada istrinya
dengan pandangan tajam)
Ingatanku mulai tumpul. Bukankah kata dokter, anak itu
mati lemas karena mukanya telungkup ke bantal?
ISTRI
Aku harap jangan bicarakan itu lagi!
SUAMI
Begitu kata dokter, bukan!?
ISTRI
Ya!
SUAMI
Tidak seorang pun dapat berbuat apa-apa. Tak seorang
pun bersalah!
ISTRI
(Tak bernada)
Tidak seorang pun!
SUAMI KEMBALI MENEKUNI POTRET
SERAYA TERMENUNG
SUAMI
Dengan membuat potret ini, seolah-olah aku telah
merampas hidupnya. Aku bangga sekali dengan anak ini.
Masih ingatkah kau?
(Istri diam membuang muka)
Bangga bercampur takjub. Bangga karena kenyataan,
sekalipun keadaanku begini, aku masih dapat punya anak.
Boleh dikata suatu keajaiban. Kelahiran dari cipta.
Seperti dalam dunia wayang saja. Indrajid lahir karena
kekuatan cipta.
PINTU DIKETUK ORANG, ISTRI
TERKEJUT. SUAMI MELIHAT JAM
TANGANNYA
Pintu diketuk orang?
ISTRI
Aku tidak mendengar!
SUAMI
Itu salah! Mestinya kau dengar apa-apa. Tapi pintu
diketuk orang. Ia datang terlalu pagi, tapi tak
mengapa. Kita boleh bergembira, bahwa satu-satunya
sahabat kita masih tinggal mengukur waktunya dengan
hasrat dan bukan dengan jamnya. Suruh dia masuk. Tentu
kau senang melihat dia kembali.
ISTRI BERDIRI LURUS SAJA TAK
BERGERAK
ISTRI
Aku…. tidak senang!
SUAMI
(tajam)
Suruh dia masuk!
ISTRI PERGI, SUAMI KEMBALIKAN
POTRET, TETAPI LANTAS DIKEMBALIKAN
PADA TEMPAT SEMULA. LALU ISTRI DAN
SAHABAT MASUK. SUAMI MENYAMBUT
DENGAN SUSAH PAYAH DENGAN ULURAN
TANGAN KIRINYA, KEMUDIAN KEMBALI
DUDUK KE KURSINYA
SAHABAT
Bagaimana keadaan tubuhmu?
SUAMI
Semakin buruk, kepala tinggal menunggu apa yang
dilakukan oleh badan. Pikiranku masih terang, itu yang
malah membuat aku susah. Serasa badanku dibelit ular
sampai remuk, tapi kepalaku tidak apa-apa, hingga aku
dapat menyaksikan semuanya dengan terang.
SAHABAT
Apa kata dokter?
SUAMI
Dokter, aku sudah tidak pakai lagi. Sudah sering
berganti, tetapi mereka tidak dapat menyembuhkan. Kata
mereka, penyakitku ini akan hilang dengan sendirinya.
Sekarang aku tidak mau melihat mereka lagi. Dengan
begitu mereka pun tak akan dapat memberikan aku
harapan-harapan palsu lagi. Sekarang aku bersikap tak
peduli.
(sahabat berpaling pada istri)
SAHABAT
(dengan lembut)
Dan kau, apa kabarmu?
ISTRI
Baik! Cuma kepalaku agak pening!
SUAMI
(kepada Sahabat)
Aku ingin bicara dengan kau tentang dia. Barangkali kau
dapat memberi pertimbangan. Sayang akhir-akhir ini kau
jarang sekali datang.
SAHABAT MENJAWAB SUAMI, TAPI DENGAN
DENGAN PANDANGAN KE ISTRI
SAHABAT
Akhir-akhir ini aku mendapat kesan, bahwa kedatanganku
tidak begitu mendapat sambutan seperti dulu.
ISTRI MEMANDANG KE ARAH LAIN
SUAMI
Itu cuma perasaanmu saja. Tapi aku yakin, pasti bukan
aku yang menimbulkan kesan itu, aku senang kalau kau
datang.
(Diam sejenak)
Aku tahu, bahwa antara kita terjalin suatu ikatan,
ikatan yang melebihi persahabatan semata.
SAHABAT
Begitu memang!
ISTRI
(terkejut)
Tidak!
SAHABAT
Bukankah sudah waktunya sekarang berterus terang?
SUAMI
Selamanya memang lebih terang, kalau berterus terang.
SAHABAT
Nah, mulailah! Mengapa kau menelepon, menyuruh aku
datang kemari? Mengapa kau meminta aku datang tepat
pada waktu yang kau tentukan?
ISTRI
Dia menelepon?
(kepada suami)
Aku tidak tahu, Pak. Mengapa tidak kau katakan padaku.
Katamu dia akan datang seperti dulu-dulu. Tapi kau
tidak meminta dia datang, kan!?
SUAMI
Aku ingin memulihkan kembali persahabatan kita. Yang
dulu alami bersama-sama. Saat-saat yang menyenangkan,
kita bertiga dekat sehabis perkawinan kita.
Persahabatan yang jarang terjadi, sudah merupakan tri
tunggal.
(kepada sahabat)
Dan ketika kau tidak datang-datang lagi, entah apa
sebabnya aku tidak tahu, maka rumah ini lalu menjadi
sepi. Dapat kau pahami, bukan? Seorang yang lumpuh,
seorang istri cantik yang muda ini, membawa kekakuan,
membawa kesepian. Dan dalam kesepian lantas tumbuh
suara-suara aneh yang mengacaukan alam pikiran. Sebab
itu kuminta kau datang, sahabat. Kau sebagai
satu-satunya suara hidup untuk melawan suara-suara mati
dalam kesepian kami.
SAHABAT
Apa maksudmu? Suara-suara mati? Aku menjadi curiga
padamu!
SUAMI
Orang cacat selamanya dicurigai. Ya, mereka adalah
musuh-musuh yang dijelmakan dari perasaan takut
orang-orang waras.
SAHABAT
(mengancam)
Apa suara-suara mati itu?
SUNYI SEKETIKA, SUAMI MEMASANG
TELINGA, SUARA PINTU DIKETUK ORANG.
ISTRI
(memekik)
Tidak! Aku tidak mendengar apa-apa!
SUAMI
Ssttt! Pintu diketuk orang?
ISTRI
Aku tidak mendengar apa-apa!
SUAMI
(melihat jam)
Pengantar pos. Datangnya mesti saat-saat seperti ini.
Tadi kuminta bujang segera membawa surat-suratnya
kemari.
BUJANG MASUK DENGAN MEMBAWA SURAT-SURAT YANG DIULURKAN
KEPADA ISTRI
BUJANG
Ada surat untuk nyonya.
ISTRI TAK BERGERAK. BUJANG MASIH
BERDIRI DENGAN TANGAN TERJULUR
SUAMI
Itu… ada surat untukmu!
ISTRI MENDEKATI BUJANG,
PERLAHAN-LAHAN SEPERTI DALAM MIMPI
DAN DENGAN ACUH TAK ACUH MENGAMBIL
SURAT. BUJANG LANTAS KELUAR LAGI.
ISTRI TINGGAL BERDIRI SAJA.
TANGANNYA LURUS KE BAWAH. SURAT ITU
DIPEGANGNYA TANPA DIBACA.
SUAMI
Mengapa kau berdiri saja?
SAHABAT
Ada apa? Dari siapa surat itu?
ISTRI
(tak bernada)
Dari kau!
SAHABAT
(tersentak)
Apa maksudmu?
ISTRI
(masih tak bernada)
Setahun lamanya kau tulis surat padaku. Aku tak berani
membicarakan soal itu dengan kau. Cuma aku memberikan
isyarat agar kau dapat merasa. Itulah sebabnya kau
merasa di sini tak lagi mendapat sambutan baik seperti
dulu-dulu. Kini sudah waktunya berterus terang seperti
katamu tadi. Baiklah aku senang sekarang, tak perlu
lagi harus bersembunyi. Cuma aku tak mengerti, mengapa
kau siksa aku dengan surat-surat itu.
SAHABAT
(pada suami)
Apa artinya semua ini?
SUAMI
Suara-suara mati! Ia mendengar suara-suara itu. Dan
kini ia melihat isyarat-isyarat kematian.
ISTRI
(seraya memperlihatkan surat)
Tapi toh surat ini ada padaku. Aku kenal tulisan ini
seperti aku kenal tulisanku sendiri. Setahun lamanya
aku menerima surat-surat dengan tulisan ini. Mula-mula
sesaat setelah matinya anak itu.
SAHABAT
Tapi mengapa kau mengira aku yang menulis?
ISTRI
Sebab hanya kau yang tahu apa yang tertulis di
dalamnya!
SAHABAT MEREBUT SURAT DARI TANGAN
ISTRI
SAHABAT
Berikan surat itu
(melihat suami)
aku tidak menulis surat itu!
ISTRI
Namamu memang tidak kau tuliskan, tapi hanya kau yang
tahu apa isinya.
SAHABAT
Aku berani bersumpah, bukan aku yang menulis surat ini!
ISTRI
Surat-surat yang lain pun tak pernah kau tanda tangani.
SAHABAT
Aku tidak pernah menyuratimu! Aku tidak akan berani!
Aku takut… Ya, aku takut akan membuka rahasiaku sendiri
kalau aku menulis surat, betapa pun aku sudah
berhati-hati.
ISTRI
Dalam hati aku pun bertanya-tanya, mengapa begitu
sampai hati kau melakukannya. Semula aku menangis
karenanya, karena kekejamanmu. Tapi kemudian ketika aku
mulai berpikir, bahwa aku mungkin benar maka
mengertilah aku, bahwa kau harus membenciku.
SAHABAT
(memegang bahu Istri)
Apa yang kau katakan itu? Demi Tuhan, katakan apa yang
telah terjadi?
ISTRI MELEPASKAN DIRI DARI PEGANGAN
SAHABAT LALU PERLAHAN MENUJU KE
DEPAN SERAYA MENGUCAPKAN YANG
BERIKUT, SEPERTI BICARA PADA DIRI
SENDIRI
ISTRI
Mula-mula ada perlawanan, perlawanan karena tidak
percaya, karena keyakinan dalam dirimu. Kau mulai tahu
bahwa tuduhan-tuduhan itu bohong oleh kepastian
pengalaman. Tapi apa yang terjadi sebenarnya, tidak
dapat diikuti lagi. Kebenaran itu terletak di masa
silam dalam dirimu. Cuma kenangan padanya. Lalu
kenangan itu perlahan disinggung. Lama kelamaan kau
terlepas dari masa silam, sampai pada saat kenangan itu
membentuk kehidupannya sendiri dan runtuhlah
kepercayaan pada apa yang kau ketahui. Mula-mula kau
lawan kesadaran ini. Tapi sudah tidak ada lagi
sisa-sisa kepastian yang tinggal. Dan kekuatan dalam
dirimu pun menjadi liar.
SERAYA MENATAP DENGAN PANDANGAN
REDUP KE SEKITAR. SEAKAN-AKAN
HENDAK MENGUJI KEJADIAN-KEJADIAN DI
MASA SILAM PADA BENDA-BENDA DI
DALAM KAMAR
Benda-benda di sekitarmu mulai kehilangan kemesraannya,
persoalan yang paling remeh sekali pun menjadi bersaing
dan memuakkan lalu mendorong kau menjauhinya. Meja dan
kursi di dalam kamar, pohon-pohon di jalan, mega-mega
di langit. Semuanya menarik diri darimu, mereka jadi
samar-samar mengandung rahasia. Itulah yang memberi
kesepian yang tidak tertangguhkan lagi. Dan
bayang-bayang yang timbul dalam dirimu penuh dengan
dendam dan benci.
PADA KALIMAT BERIKUTNYA, SEJENAK
ISTRI MELIHAT PADA SAHABAT YANG
MEMERHATIKAN DIA DENGAN TERHARU DAN
PENUH KASIH. SUAMI MENGIKUTI
PANDANGAN MEREKA BERDUA. PADA
MUKANYA TERBACA PERASAAN SAKIT
HATI, PUTUS ASA DAN DENDAM YANG
BERKOBAR-KOBAR KARENA KESEPIAN YANG
DILONTARKAN OLEH ISTRINYA.
Yang menjadi teka-teki bagiku ialah, mengapa manusia
itu mesti menjadi memusuhi dirinya sendiri? Mengapa
dalam satu tubuh bersarang harapan kedamaian bersamaan
dengan kekuatan yang membawa kebinasaan. Dan lambat
laun kau tenggelam dalam kesangsian, dalam ketakutan,
dalam kesamaran dan keterasingan!!
Kadang-kadang, serasa ada dinding yang membelah badanku
menjadi dua, di sisi kanan aku dapat berpikir,
mengetahui, melihat keadaanku, mengikuti masa silam
dengan keyakinan yang pasti. Tetapi di sisi kiri segala
tumbuh dalam diriku, kecemasan, bayang-bayang yang
serba samar. Sedang akalku tidak kuasa menembus dinding
itu.
(seolah-olah sudah kehabisan napas)
Kadang-kadang, serasa akal memukul-mukul seperti hendak
melepaskan diri, tetapi dindingnya terlalu kuat. Aku
tahu aku hidup dalam kebohongan, tapi kebohongan itu
sangat kuat menguasaiku. Ada sebuah dinding yang
membatasi antara aku dan suara anak itu menangis. Aku
tidak dapat meneliti dari sisi dinding sebelah mana
datangnya suara itu.
SAHABAT
Kau mendengar anak menangis?
ISTRI
Ya. Tangis anakku, anakku yang telah mati
(seraya menunjuk suaminya)
dia, dialah yang memperingatkan aku terhadap suara itu.
Dialah yang mula-mula mendengar tangisan itu, kemudian
disampaikan kepadaku.
(Diam sejenak)
kemudian datanglah kesangsian itu, kemudian suara itu.
SESAAT SEPI MENCEKAM
SUAMI
Kasihan.....
(pada sahabat)
Tidak benar! Tidak benar, bahwa aku yang mulai
mendengar suara itu. Itu hanya angan-angannya saja.
Yang tidak dapat disesalinya.
ISTRI
Bersamaan waktunya dengan itu datanglah surat-surat
itu, surat-surat yang berisi tuduhan. Surat dari
satu-satunya orang yang sebenarnya dapat menolong aku.
Surat dari kau! Oh, alangkah kejamnya. Kejam! Bahwa
datangnya dari kau. Bahwa kau menuduhku!
SAHABAT
Apa yang telah aku tuduhkan padamu?
ISTRI
Bahwa aku telah membunuh anakku
(sunyi senyap)
SAHABAT
Itu tidak benar!
ISTRI
Di sisi kanan kebenaran, di sisi kiri dosa dan di
tengah-tengah dinding. Tiap-tiap manusia selalu ada
perasaan dosa yang masih samar-samar, masih mencari
dasar. Kaulah yang memberi dasar itu dengan
surat-suratmu!
SAHABAT
(seraya menunjuk surat)
Jadi kau anggap aku yang menulis surat itu?
ISTRI
Ya!
SAHABAT
Boleh aku membacanya?
ISTRI
Boleh, nanti kau akan melihat dirimu sendiri seperti di
dalam cermin.
SAHABAT MEROBEK SAMPUL SURAT, SURAT
DIKELUARKAN LALU DIBACA
SUAMI
Apa isinya?
(Sahabat, lama memerhatikan suami dengan
pandangan curiga).
SAHABAT
(geram)
Kau pembunuh!
SUAMI
(menyindir tajam)
Aku? Aneh sekali! Boleh aku melihat?
SAHABAT MELEMPARKAN SURAT KEPADA
SUAMI. SUAMI DENGAN SUSAH PAYAH
MEMUNGUTNYA DI LANTAI.
SUAMI
Kau salah baca. Sudah kusangka. Di sini tertulis: “Ibu
pembunuh”.
ISTRI
Aku? Oh, lain tidak?
SUAMI
Tidak.
SAHABAT
(kepada Istri)
Mesti ada yang mengetahui tentang anak kita. Ya, aku
tidak mau membisu lebih lama lagi. Kau tahu, bahwa aku
cinta padamu. Jadi tidak mungkin aku yang menulis
surat-surat itu. Surat ini pun tidak! Aku tidak
berubah. Aku tidak menulis surat-surat itu, percayalah!
Percayalah!
ISTRI
Aku mau percaya padamu. Aku juga tidak menginginkan
bukti apa pun, yang kau katakan itu sudah cukup. Hanya
karena kau yang mengatakan. Kalau pun aku melihat
sendiri kau yang menulis, aku pun akan percaya juga.
Sebab aku mau percaya, dinding dalam diriku yang
membatasi antara bukti dan harapanku.
SAHABAT
Aku berhak atas dirimu. Aku tidak sudi berlama-lama
lagi dipaksa melepaskan kau karena belas kasihan.
SUAMI
Jangan hiraukan aku!
SAHABAT
(kepada Istri)
Lingkungan ini tidak baik bagimu, kau harus pergi dari
sini. Kubawa kau dari sini, hawa sekitar sini sudah
busuk, cahaya di sini sudah beracun. Kau tidak bebas
bernapas. Ikutilah dengan aku.
SAHABAT MEMEGANG LENGAN ISTRI.
ISTRI TIDAK MELAWAN.
SUAMI
Tidakkah kau minta diri dulu dariku?
SAHABAT PUN MENDEKATI SUAMI TANPA
MELEPASKAN LENGAN ISTRI. SUAMI
BANGKIT DARI KURSINYA DENGAN SUSAH
PAYAH DAN BERDIRI DI HADAPAN MEREA.
KETIGA ORANG ITU SEKARANG BERDIRI
DEKAT POTRET BAYI DI ATAS LEMARI
BUKU.
SUAMI
Aku harus tinggal di sini. Aku tidak dapat meninggalkan
dia. Aku tahu betapa berat penanggunganmu. Seorang yang
tak patut mendapat kasih. Seorang pincang dan lumpuh
seperti aku tidak sepatutnya berkumpul dengan orang
yang hidupnya tanpa cacat, sebab ia cuma menghalangi
kebahagiaan orang lain saja, sering aku berpikir apakah
tidak lebih baik kalau aku memutuskan untuk melepaskan
kau dariku. Syukurlah kini sudah ada orang ketiga yang
mau melakukannya. Pergilah kau bersama dia. Malapetaka
yang kusebar, kini sudah seperti penyakit, semakin lama
semakin payah, tidak menjadi berkurang. Dan hidup yang
kutempuh sekarang ini sudah tidak memberikan bahagia.
Aku hanya dapat menebusnya dengan kematianku.
SAHABAT
(dengki)
Sayang!
ISTRI
Untung tidak ada lagi anak yang akan mengikat kau!
Barangkali di luar rumah ini kau pun tak akan mendengar
tangisnya lagi!
ISTRI MELEPASKAN DIRI DARI PEGANGAN
SAHABAT
ISTRI
Aku berterima kasih padamu bahwa selama ini kau telah
banyak berkorban untukku. Tapi aku mohon jangan coba
kau bujuk aku. Aku tahu lebih pasti bahwa aku mesti
tinggal padanya daripada hasratku ikut bersamamu.
SAHABAT MELANGKAH MAJU KEPADA SUAMI
DENGAN MENGANCAM
SAHABAT
Aku dapat menghajar kau jahanam! Kau jerat dia di sini!
Kau bunuh dia!
SUAMI
(tersenyum)
Aku cuma seseorang yang malang, yang lumpuh. Aku
maafkan kau!
SUAMI LUPA DISEBABKAN KARENA
KEMENANGANNYA. SUAMI MENGULURKAN
TANGAN KANANNYA. SAHABAT TAK
MENYAMBUT ULURAN TANGAN ITU, IA
MEMBELAKANGI. TERPIKIR SEJENAK,
TIBA-TIBA CEPAT IA MEMBALIKAN
BADANNYA KEMBALI.
SAHABAT
Jarimu kena tinta!
SUAMI CEPAT MENARIK TANGANNYA,
ISTRINYA MELIHAT TANGANNYA SENDIRI,
KEMUDIAN MENGHAMPIRI SUAMINYA,
MEMEGANG TANGANNYA
ISTRI
Tinta? Aneh sekali! Coba lihat!
SUAMI
(berteriak karena rahasianya terbuka)
Pergilah bersama dia! Tinggalkan aku sendiri!
SUAMI CEPAT MENARIK TANGANNYA DAN
JATUH. DALAM USAHANYA MENCARI
PEGANGAN PADA LEMARI BUKU.
TANGANNYA MENYINGGUNG POTRET BAYI
HINGGA JATUH PULA KE BAWAH. HENDAK
DITANGKAPNYA POTRET ITU, TAPI
SIA-SIA DAN POTRET ITU BERANTAKAN
DI LANTAI. DALAM PADA SAAT ITU,
ISTRINYA MENJERIT.
ISTRI
Ia…. Ia bergerak!
SAHABAT PERLAHAN-LAHAN MENDEKATI
SUAMI DENGAN SIKAP MENGANCAM
SAHABAT
Tanganmu dapat bergerak. Tangan kananmu kena tinta! Kau
apakan dia!
(seraya menunjuk istri)
Kau apakan anaknya!?
SUAMI BERDIRI TEGAK DENGAN
MUDAHNYA. IA TAK LAGI LUMPUH.
KAKINYA MENYAMBAR POTRET. TANGANNYA
MENUDING ISTRINYA
SUAMI
(penuh kebencian dan sombong atas
kemenangan)
Biar dirasakan siksaanku sebelum yang akan kalian
terima di neraka!
SAHABAT
(Seraya menarik bahu Istri)
Mari! Ikutlah denganku! Biar dia menghukum perbuatannya
sendiri.
ISTRI
Tunggu dulu
(melepaskan bahunya)
Diam! Diamlah!
KEDUA LAKI-LAKI SALING BERPANDANGAN
PENUH KEHERANAN
ISTRI
Ah, tidakkah kalian mendengar? Tidak mendengarkah
kalian? Anakku menangis! Anakku menangis! Anakku
menangis!
LAMPU DIPADAMKAN LAMBAT LAUN. PADA
SAAT KESEPIAN MENYUSUL.
TAMAT
Jakarta, 07 Agustus 2019