Di Selasar kita bisa berdiskusi. Ramai-ramai atau sendiri. Boleh. Sambil minum kopi, merenung atau hanya sekedar berimajinasi, juga boleh. Atau sambil bermimpi dan masturbasi. Pun boleh-boleh saja. Terserah! Silakan saja. Suka-suka.
Tampilkan postingan dengan label Humaniora. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Humaniora. Tampilkan semua postingan
Senin, 13 Januari 2025
Hilangnya Budaya Saling Support
Hilangnya Budaya Saling Support
Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat hidup terasa ringan: budaya saling support. Di kampung itu, ketika seseorang menanam padi, tetangga datang membawa cangkul untuk membantu. Jika ada yang membuat hajatan, tetangga lainnya datang dengan panci besar berisi makanan. Semua terasa seperti keluarga besar yang tak pernah kehabisan cerita.
Namun, budaya itu perlahan hilang, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat dirasakan penuh. Sekarang, saat ada yang kesusahan, sering kali kita hanya mengirimkan emotikon sedih di grup WhatsApp, seakan itu cukup menggantikan tangan yang seharusnya terulur.
Mengapa ini terjadi? Mungkin kita terlalu sibuk mengurusi diri sendiri. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, ironisnya, kita justru makin terisolasi secara emosional. Kita lebih sibuk scrolling media sosial ketimbang menanyakan kabar teman yang jarang terlihat online. Kita lebih sering memikirkan "bagaimana aku terlihat" ketimbang "apa yang bisa aku lakukan untuk membantu orang lain."
Bayangkan ini, ada seorang teman yang baru membuka usaha kecil menjual kue. Dulu, tetangga akan datang mencicipi, memberi masukan, bahkan membawa pulang beberapa untuk dijualkan lagi. Sekarang? Mereka hanya menekan tombol “Like” di Instagram, tanpa benar-benar membeli atau mempromosikan usaha itu. Padahal, kue teman itu enak – tapi sayang, algoritma lebih menentukan nasibnya daripada dukungan nyata kita.
Kehilangan budaya saling support ini tidak hanya menyedihkan, tapi juga berbahaya. Kita menjadi masyarakat yang terfragmentasi, masing-masing sibuk membangun "menara gading" sendiri. Kita lupa bahwa manusia, pada dasarnya, adalah makhluk sosial. Tanpa dukungan satu sama lain, kita seperti jaring laba-laba yang kehilangan kekuatannya.
Namun, ini bukan berarti semua harapan hilang. Kita masih bisa memulihkan budaya ini, dimulai dari hal kecil. Mulai dengan menanyakan kabar teman tanpa motif lain. Jika ada yang membuka usaha, cobalah beli atau promosikan. Ketika tetangga butuh bantuan, angkat tangan sebelum mereka sempat memintanya. Dan yang paling penting, lakukan semua itu tanpa berharap imbalan. Kadang, melihat seseorang tersenyum tulus karena bantuan kita sudah lebih dari cukup.
Dalam satu kisah, ada seorang nenek tua yang tinggal sendirian di ujung gang. Setiap hari, ia menjahit pakaian untuk orang-orang di kampung, meski matanya mulai rabun. Suatu hari, ia jatuh sakit. Tetangganya, yang biasanya hanya berlalu-lalang, mulai berdatangan membawakan makanan, mengurus cucian, bahkan menggantikan pekerjaan menjahitnya sementara waktu. Nenek itu berkata, “Aku tidak punya banyak, tapi cinta dan perhatian yang kalian beri membuat hidupku jauh lebih kaya.”
Kisah itu mengingatkan kita bahwa saling support bukan soal besar kecilnya bantuan, melainkan niat tulus di baliknya. Kita tak harus jadi pahlawan untuk membantu orang lain. Cukup menjadi manusia yang peduli.
Jadi, mari berhenti sejenak dari kesibukan kita. Lihatlah sekitar. Siapa tahu, ada seseorang yang butuh uluran tangan atau sekadar pelukan hangat. Karena pada akhirnya, hidup ini terlalu singkat untuk dilewatkan tanpa rasa saling support. Dan siapa tahu, saat kita butuh, tangan-tangan itu juga akan kembali terulur untuk kita. Bukankah itu yang membuat hidup terasa lebih manusiawi
*
Sabtu, 04 Januari 2025
Antara Harapan dan Realitas
Pengantar
Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng.
*
Kang Juhi Bermonolog
Antara Harapan dan Realitas
Yoss Prabu
(Lampu redup di kamar kontrakan, Kang Juhi duduk bersila di lantai dengan secangkir teh manis yang masih mengepul. Di hadapannya, baskom penuh noda minyak terlihat seperti penonton setia).
Kang Juhi:
"Hari ini habis lagi, ya. Kaya gorengan yang ludes sebelum malam datang. Cepat benar waktu berlalu, tapi rasa capeknya selalu tinggal lebih lama.
Harapan? Harapan itu mirip adonan gorengan, Baskom. Kita campur ini-itu, kasih bumbu, terus kita bentuk sebaik-baiknya. Tapi begitu masuk minyak panas? Mana bisa kita atur bakal matang sempurna atau gosong di pinggirannya. Kadang, malah yang niatnya bikin tahu isi, jadinya cuma tahu kosong. Tapi anehnya, aku nggak pernah berhenti bikin adonan itu. Harapan itu ngotot, ya?
Tapi realitas, dia beda cerita. Dia itu seperti minyak jelantah. Lengket, bau, penuh ampas. Bukan malah tidak berguna, tapi membuat kita susah bernapas. Realitas adalah saat ibu-ibu menawar gorengan sampai harga modal, tapi pulangnya naik mobil bagus. Realitas adalah saat aku diusir dari trotoar oleh mereka yang pakai dasi, padahal mereka sendiri nggak tahu rasanya makan nasi tanpa lauk karena duit habis buat bayar sewa.
(Ada jeda. Kang Juhi menghela napas, menyesap teh, matanya menatap ke langit-langit yang kusam).
Kadang aku berpikir, Baskom, kenapa aku tidak lari saja? Balik ke kampung. Tapi di sana aku cuma bakal jadi buruh tani, kerja di ladang orang yang juga tidak pernah cukup untuk makan sendiri. Apalagi keluarga. Di sini, aku punya gerobak. Atau, ya, aku dulu punya gerobak. Sekarang cuma sisa tapak rodanya di jalan. Tapi paling tidak, di sini aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri, walaupun cuma buat nyari tepung sama minyak murah.
Apa aku bodoh, Baskom? Menggantung harapan setinggi itu di dunia yang nyata-nyata tidak peduli sama orang kecil macam aku? Tapi, gimana lagi? Kalau aku berhenti berharap, aku cuma jadi tempe kedaluwarsa. Ada, tapi tidak ada gunanya.
(Ada keheningan lagi. Kali ini lebih lama. Kang Juhi menatap cangkir tehnya, seolah mencari jawaban di dalamnya).
Aku tahu, hidup ini tidak adil. Tapi kalau aku tidak adil ke diriku sendiri, kalau aku berhenti mencoba, berhenti berharap, apa yang tersisa dari aku? Cuma nama, Kang Juhi, pedagang gorengan, yang bakal dilupakan lebih cepat dari orang lupa rasa gorengan yang dimakan buru-buru.
Jadi, Baskom, selama aku masih bisa menyalakan kompor besok pagi, selama aku masih punya tangan untuk mengaduk adonan, aku bakal terus membuat harapan itu. Biarkan saja realitas jadi minyak panasnya. Sementara aku bakal terus mencoba memberi rasa pada dunia ini, meskipun cuma dari bakwan goreng.
(Akhirnya, Kang Juhi tersenyum kecil. Matanya berat, tapi dalam senyumnya ada keteguhan yang sederhana. Ia bangkit, mematikan lampu, dan membiarkan malam menelan dirinya).
Esok hari, gorengan baru, harapan baru. Dan realitas? Ah, biar saja dia datang belakangan.
*
Minggu, 22 Desember 2024
Wanita Hebat di Balik Semua Kesuksesan
Menghormati Ibu, Wanita Hebat di Balik Semua Kesuksesan
Hari Ibu adalah momen khusus yang dirayakan di berbagai negara di seluruh dunia untuk menghormati dan menghargai peran seorang ibu dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Di Indonesia, Hari Ibu diperingati setiap tanggal 22 Desember, sementara di banyak negara lain, Hari Ibu dirayakan pada tanggal yang berbeda, biasanya di bulan Mei. Perayaan ini menjadi waktu yang istimewa untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada para ibu atas segala pengorbanan, cinta, dan dukungan yang telah mereka berikan sepanjang hidup.
Hari Ibu di Indonesia memiliki sejarah yang unik dan berbeda dibandingkan perayaan di negara lain. Hari Ibu pertama kali diperingati pada 1938, untuk memperingati Kongres Perempuan Indonesia yang diadakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres tersebut merupakan tonggak sejarah penting bagi gerakan perempuan Indonesia yang berjuang untuk kesetaraan, pendidikan, dan hak-hak perempuan dalam kehidupan sosial dan politik. Oleh karena itu, Hari Ibu di Indonesia bukan hanya tentang penghargaan kepada ibu secara individu, tetapi juga mencerminkan semangat perjuangan perempuan untuk membangun masyarakat yang lebih baik.
Pada 1953, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1953. Sejak saat itu, Hari Ibu diperingati setiap tahun sebagai penghormatan terhadap peran ibu dalam keluarga dan perjuangan perempuan di Indonesia.
Hari Ibu memiliki makna yang mendalam, baik secara personal maupun sosial. Di dalam keluarga, seorang ibu adalah pilar utama yang tidak hanya membesarkan anak-anak, tetapi juga menjadi penggerak keharmonisan dan kebahagiaan keluarga. Mereka menjalankan berbagai peran, mulai dari pendidik, pengasuh, hingga motivator bagi setiap anggota keluarga.
Secara sosial, Hari Ibu adalah momen untuk merefleksikan pentingnya pemberdayaan perempuan. Peringatan ini mengingatkan masyarakat akan kontribusi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam keluarga, lingkungan kerja, maupun di ranah publik. Dalam konteks modern, Hari Ibu juga sering dijadikan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak perempuan, kesetaraan gender, dan perlunya memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan untuk berkontribusi secara aktif dalam pembangunan bangsa.
Di Indonesia, Hari Ibu dirayakan dengan berbagai cara, baik secara tradisional maupun modern. Banyak orang menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan rasa cinta kepada ibu mereka, misalnya dengan memberikan hadiah, bunga, kartu ucapan, atau sekadar meluangkan waktu bersama. Di beberapa daerah, Hari Ibu juga dirayakan dengan lomba memasak, seminar tentang peran perempuan, atau acara komunitas yang mengangkat tema pemberdayaan perempuan.
Di tingkat nasional, Hari Ibu sering dijadikan momentum untuk memberikan penghargaan kepada para perempuan yang telah berjasa di bidangnya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa peran ibu dan perempuan tidak hanya penting di dalam keluarga, tetapi juga dalam pembangunan bangsa.
Hari Ibu adalah peringatan yang sarat makna, bukan hanya sebagai ungkapan kasih sayang kepada ibu, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Momen ini menjadi pengingat betapa besar peran seorang ibu dalam membangun generasi penerus yang berkualitas, sekaligus mempertegas pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Melalui Hari Ibu, kita diajak untuk tidak hanya mengenang jasa ibu, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang mendukung peran perempuan secara keseluruhan. Mari jadikan Hari Ibu sebagai waktu untuk mengapresiasi, mencintai, dan memberikan dukungan lebih kepada para ibu yang telah berperan besar dalam kehidupan kita.
*
Senin, 02 Desember 2024
Refleksi Diri di Akhir Tahun
Refleksi Diri di Akhir Tahun
Mari sejenak kita merenung. Akhir tahun selalu membawa suasana yang khas. Lampu-lampu yang menghias sudut-sudut kota, alunan musik yang mengiringi langkah kaki di pusat perbelanjaan, hingga berbagai resolusi yang mulai tersusun dalam pikiran. Pun tidak ketinggalan, akhir tahun juga selalu dimeriahkan banjir dan longsor di mana-mana, gunung yang erupsi di berbagai wilayah. Tentunya bagi sebagian orang, ini adalah waktu yang tepat untuk merayakan pencapaian. Namun bagi yang lainnya lagi, ini adalah momen yang tepat untuk mengevaluasi diri, merangkum, dan merenungkan perjalanan yang telah dilalui.
Refleksi diri di akhir tahun menjadi semacam ritual yang tak terucap. Tanpa perlu banyak upacara, kita mulai menengok ke belakang, menyusuri jejak-jejak yang telah tertinggal selama 12 bulan terakhir. Mungkin ada kenangan manis yang ingin kita ulang, atau justru luka yang ingin kita tutupi dengan perban waktu.
“Sudah sejauh mana aku berjalan?” Barangkali menjadi pertanyaan pertama yang terlintas. Tahun ini mungkin terasa seperti perjalanan panjang yang penuh liku. Ada momen-momen di mana kita merasa berada di puncak dunia – mendapatkan promosi yang diimpikan, menjalin hubungan baru, atau meraih pencapaian akademik yang diusahakan selama bertahun-tahun.
Tapi ada pula saat-saat ketika semuanya terasa runtuh. Mungkin ada kegagalan yang membuat kita meragukan diri sendiri, kehilangan yang meninggalkan lubang dalam hati, atau keputusan yang ternyata salah arah. Semua ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak terpisahkan.
Dalam refleksi diri, kita belajar untuk menerima bahwa hidup bukanlah garis lurus. Ada kalanya kita harus tersesat untuk menemukan jalan baru. Seperti pepatah mengatakan, “Terkadang, kita harus kehilangan sesuatu untuk menemukan hal yang lebih berharga.”
Setiap pengalaman, baik atau buruk, selalu membawa pelajaran. Refleksi diri bukan hanya tentang mengingat apa yang telah terjadi, tetapi juga memahami makna di baliknya.
Kadang pula, kita perlu memberi waktu bagi diri sendiri untuk tumbuh dan berkembang. Ada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Belajar menerima dan berdamai dengan kenyataan adalah bentuk kedewasaan yang sulit, tetapi sangat berarti. Di balik kesibukan dan masalah, selalu ada hal-hal kecil yang patut disyukuri. Seulas senyuman dari orang-orang sekitar, dukungan dari teman dekat, atau bahkan waktu luang untuk diri sendiri.
Setelah mengevaluasi, langkah berikutnya adalah menyusun harapan. Resolusi tahun berikutnya bukanlah sekadar daftar target yang harus dicapai, melainkan kompas yang memberikan arah dalam perjalanan hidup kita.
Cobalah bertanya pada diri sendiri. Apa yang ingin aku perbaiki dari diriku? Apa kebiasaan baru yang ingin aku kembangkan? Bagaimana aku bisa lebih berkontribusi bagi orang-orang di sekitarku?
Tidak perlu menargetkan perubahan besar. Terkadang, langkah-langkah kecil justru lebih mudah dijalani dan berdampak besar dalam jangka panjang. Mengganti kebiasaan malas dengan membaca buku, lebih sering berbicara dari hati ke hati dengan keluarga, atau menyisihkan waktu untuk meditasi atau lebih mendekatkan diri pada Tuhan, bisa menjadi awal yang sangat baik.
Refleksi diri di akhir tahun bukan tentang melihat ke belakang dengan penyesalan, melainkan dengan rasa syukur. Setiap momen – baik ataupun buruk – adalah potongan puzzle yang menyusun siapa kita hari ini.
Maka, di penghujung tahun ini, luangkan waktu sejenak. Duduklah dengan tenang, tarik napas dalam-dalam, dan biarkan pikiran kita menyusuri kenangan yang telah berlalu. Karena dalam refleksi, kita bukan hanya melihat kembali, tetapi juga menemukan versi diri yang lebih baik untuk melangkah ke tahun berikutnya.
Selamat menyusun kembali potongan-potongan puzzle kehidupan, dan kita songsong tahun berikutnya dengan penuh harapan.
Senin, 11 November 2024
Kepahlawanan Telah Mengalami Pergeseran Makna
Di era modern ini, makna kepahlawanan telah mengalami pergeseran yang signifikan. Jika dulu pahlawan identik dengan sosok pejuang kemerdekaan atau tokoh yang mengorbankan jiwa raganya di medan perang, kini definisi tersebut meluas dan mencakup berbagai bentuk keberanian dan pengorbanan untuk orang lain. Kepahlawanan di zaman sekarang mencerminkan sikap dan tindakan yang penuh keikhlasan untuk kepentingan bersama, meskipun mungkin tidak selalu terlihat besar atau heroik.
Pada era ini, pahlawan bisa muncul di lingkungan yang tak terduga, dari kalangan yang mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Orang-orang biasa seperti tenaga medis, guru, relawan, aktivis sosial, hingga tetangga yang peduli sesama kini bisa disebut sebagai pahlawan. Pahlawan adalah mereka yang berani mengambil tindakan nyata untuk membuat perubahan di masyarakat, sekalipun tantangan yang mereka hadapi besar.
Misal, selama pandemi COVID-19, tenaga medis menjadi garda terdepan dalam merawat pasien dan mencegah penyebaran virus, seringkali dengan mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan keselamatan pribadi. Sikap tidak mementingkan diri sendiri dan dedikasi mereka dalam memberikan layanan kesehatan yang baik di tengah risiko yang begitu tinggi adalah contoh nyata dari kepahlawanan di masa kini.
Di tengah berbagai ketidakadilan dan permasalahan sosial yang terjadi, para aktivis sosial dan lingkungan kerap tampil sebagai pahlawan modern. Mereka memperjuangkan hak asasi manusia, kesetaraan, dan keadilan sosial, serta menjaga lingkungan agar tetap lestari bagi generasi mendatang. Berbagai upaya yang mereka lakukan tidak jarang menghadapi rintangan, namun para aktivis ini tetap berjuang dengan penuh keberanian.
Pahlawan-pahlawan seperti ini sering kali bekerja tanpa mengharapkan penghargaan atau sorotan publik. Mereka memberikan suara kepada yang tak bersuara, membantu kelompok rentan, dan menciptakan ruang untuk perubahan positif. Contohnya adalah para aktivis lingkungan yang memperjuangkan pelestarian hutan dan laut, mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga kelestarian alam yang semakin terancam oleh perkembangan industri dan perubahan iklim.
Kemajuan teknologi digital juga menghadirkan tantangan tersendiri, dan di sini pun kita menemukan pahlawan-pahlawan modern. Pekerja dan penggiat yang peduli dengan perlindungan data pribadi, keamanan dunia maya, dan literasi digital bekerja keras untuk menjaga keamanan dan kenyamanan pengguna internet. Selain itu, banyak individu yang secara aktif menggunakan platform digital untuk menyebarkan informasi, menggalang solidaritas, dan melakukan aksi sosial di dunia maya.
Di era di mana informasi sering kali membingungkan dan hoaks mudah tersebar, peran para edukator digital dan aktivis media sangat penting. Mereka membantu masyarakat memilah informasi yang benar dan edukatif, menciptakan lingkungan online yang sehat, serta mendorong orang untuk menggunakan internet secara bijak.
Pada akhirnya, makna kepahlawanan di era sekarang ini berkaitan erat dengan keberanian untuk berbuat baik dan kepedulian terhadap orang lain. Pahlawan modern mungkin tidak selalu berdiri di bawah sorotan atau dikenali oleh banyak orang, namun tindakan mereka memberikan dampak yang mendalam bagi masyarakat. Mereka yang berani keluar dari zona nyaman untuk membantu orang lain, mendukung keadilan, dan mempromosikan kesejahteraan bersama adalah pahlawan sejati di masa kini.
Kepahlawanan tidak lagi hanya tentang pengorbanan fisik, tetapi juga pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran demi tujuan yang lebih besar. Di tengah kehidupan yang semakin sibuk, mereka yang mau meluangkan waktu dan energi untuk kebaikan orang lain adalah inspirasi bagi kita semua. Kepahlawanan, pada dasarnya, tetap berkisar pada keberanian untuk melawan ketidakadilan, menciptakan perubahan, dan menunjukkan cinta kepada sesama dalam berbagai bentuk dan wujud.
Langganan:
Postingan (Atom)
Hilangnya Budaya Saling Support
Hilangnya Budaya Saling Support Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat...
-
Romantisme di Balik Hujan November selalu punya keistimewaan. Bagi sebagian orang tentunya. Sebab ketika banyak yang beranggapan, No...