Tampilkan postingan dengan label Sketsa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sketsa. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Januari 2025

Kalau Kaya Begitu Gua Juga Bisa

Pengantar Kang Juhi, pedagang gorengan. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran Jakarta. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. * Kalau Kaya Begitu Gua Juga Bisa Yoss Prabu Di suatu pagi yang mendung, Kang Juhi duduk di tikar rombeng, di rumah kontrakannya. Sambil menyeruput kopi hitam. Di tangannya ada ponsel yang hampir pensiun, layarnya penuh retakan seperti pola batik tak disengaja. Ia sedang asyik scrolling media sosial ketika sebuah unggahan viral menyita perhatiannya. Seorang influencer muda sedang menjelaskan rahasia kesuksesannya: hanya minum air putih delapan gelas sehari dan tidur cukup. Kang Juhi tertawa kecil. "Apa-apaan ini? Minum air doang bisa sukses? Kalau kaya begitu, gua juga bisa!" ujarnya dengan nada setengah kagum setengah heran. Fenomena seperti ini sering kali membuat Kang Juhi merasa hidup ini tidak adil. Baru dua hari lalu, ia menonton video tentang seseorang makan gorengan tahu isi dengan sepiring nasi. Video itu mendapatkan jutaan views. Kang Juhi memiringkan kepala sambil bergumam, "Lah, kalau cuma makan gorengan pakai nasi, itu mah makanan wajib. Setiap hari juga begitu. Tapi kenapa dia yang jadi terkenal?" Rasa penasaran Kang Juhi kian bertambah ketika ia melihat seseorang dengan santai membongkar paket belanjaan online yang isinya terdiri dari barang-barang elektronik mahal. Sepertinya tidak ada yang istimewa, tapi entah bagaimana, video itu hujan komentar. "Orang cuma buka bungkus doang, penonton segitu banyak. Kalau kaya begitu, gua juga bisa!" pikir Kang Juhi, kali ini lebih serius. Namun, kehidupan punya cara unik untuk mengajarkan sesuatu. Suatu sore, saat Kang Juhi sedang duduk di warung kopi, ia melihat anak-anak kecil bermain sulap sederhana. Mereka menghilangkan koin di balik daun, lalu memperlihatkan kembali koin yang sama dengan penuh gaya. Semua orang di warung tertawa, bahkan ada yang memberi uang receh pada si bocah sulap. Kang Juhi langsung mendapat ide brilian. Ia segera menghubungi temannya, Udin, yang punya kamera ponsel sedikit lebih baik dari miliknya. Bersama Udin, Kang Juhi merancang rencana besar. Membuat konten viral yang sederhana tapi dalam benaknya pasti berhasil. Dua malam berikutnya, mereka mulai syuting. Kang Juhi mencoba berbagai aksi, mulai dari sulap menghilangkan sendok (yang sebenarnya dilempar ke bawah meja) hingga aksi pura-pura terpeleset sambil membawa es teh manis. "Ini pasti bikin orang ngakak!" katanya  pada Udin dengan penuh semangat. Setelah selesai, ia mengunggah video itu ke media sosial. Judulnya pun tidak kalah heboh: "JANGAN COBA DI RUMAH! AKSI KONYOL YANG BIKIN NGAKAK!" Hasilnya? Sepi. Tidak ada yang menonton kecuali Udin, itu pun karena ia ingin memastikan hasil rekamannya. Kang Juhi kecewa, tapi tidak menyerah. Ia terus mencoba mengunggah ulang videonya dengan editan baru dan musik lucu. Tak disangka, seminggu kemudian salah satu videonya viral. Namun bukan karena aksi yang ia rencanakan, melainkan karena ekspresi wajah Kang Juhi ketika benar-benar terpeleset di tengah syuting: spontan, jujur, dan kocak. "Kang, muka lu asli kayak meme!" tulis seorang komentator.  "Ini baru konten ngakak natural, nggak dibuat-buat!" komentar lainnya. Kang Juhi terdiam, lalu tertawa. Ia baru menyadari bahwa kadang hal yang sederhana memang bisa sukses besar, tapi hanya jika dilakukan dengan tulus. Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kalau Kaya Begitu, Gua Juga Bisa", Klik untuk baca: https://www.kompasiana.com/yossprabu/677f9a0534777c3a9a7c77c4/kalau-kaya-begitu-gua-juga-bisa?page=all#section1 Kreator: Yoss Prabu Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com

Senin, 30 Desember 2024

Refleksi Diri di Akhir Tahun

Refleksi Diri di Akhir Tahun Yoss Prabu Mari sejenak kita merenung. Akhir tahun selalu membawa suasana yang khas. Lampu-lampu yang menghias sudut kota, alunan musik yang mengiringi langkah kaki di pusat perbelanjaan, hingga berbagai resolusi yang mulai tersusun dalam pikiran. Pun tidak ketinggalan, akhir tahun juga selalu dimeriahkan banjir dan longsor di mana-mana, gunung yang erupsi di berbagai wilayah. Tentunya bagi sebagian orang, ini adalah waktu yang tepat untuk merayakan pencapaian. Namun bagi yang lainnya lagi, ini adalah momen yang tepat untuk mengevaluasi diri, merangkum, dan merenungkan perjalanan yang telah dilalui. Refleksi diri di akhir tahun menjadi semacam ritual yang tak terucap. Tanpa perlu banyak upacara, kita mulai menengok ke belakang, menyusuri jejak-jejak yang telah tertinggal selama 12 bulan terakhir. Mungkin ada kenangan manis yang ingin kita ulang, atau justru luka yang ingin kita tutupi dengan perban waktu. “Sudah sejauh mana aku berjalan?” Barangkali menjadi pertanyaan pertama yang terlintas. Tahun ini mungkin terasa seperti perjalanan panjang yang penuh liku. Ada momen-momen di mana kita merasa berada di puncak dunia – mendapatkan promosi yang diimpikan, menjalin hubungan baru, atau meraih pencapaian akademik yang diusahakan selama bertahun-tahun. Tapi ada pula saat-saat ketika semuanya terasa runtuh. Mungkin ada kegagalan yang membuat kita meragukan diri sendiri, kehilangan yang meninggalkan lubang dalam hati, atau keputusan yang ternyata salah arah. Semua ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak terpisahkan. Dalam refleksi diri, kita belajar untuk menerima bahwa hidup bukanlah garis lurus. Ada kalanya kita harus tersesat untuk menemukan jalan baru. Seperti pepatah mengatakan, “Terkadang, kita harus kehilangan sesuatu untuk menemukan hal yang lebih berharga.” Setiap pengalaman, baik atau buruk, selalu membawa pelajaran. Refleksi diri bukan hanya tentang mengingat apa yang telah terjadi, tetapi juga memahami makna di baliknya. Kadang pula, kita perlu memberi waktu bagi diri sendiri untuk tumbuh dan berkembang. Ada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Belajar menerima dan berdamai dengan kenyataan adalah bentuk kedewasaan yang sulit, tetapi sangat berarti. Di balik kesibukan dan masalah, selalu ada hal-hal kecil yang patut disyukuri. Seulas senyuman dari orang-orang sekitar, dukungan dari teman dekat, atau bahkan waktu luang untuk diri sendiri. Setelah mengevaluasi, langkah berikutnya adalah menyusun harapan. Resolusi tahun berikutnya bukanlah sekadar daftar target yang harus dicapai, melainkan kompas yang memberikan arah dalam perjalanan hidup kita. Cobalah bertanya pada diri sendiri. Apa yang ingin aku perbaiki dari diriku? Apa kebiasaan baru yang ingin aku kembangkan? Bagaimana aku bisa lebih berkontribusi bagi orang-orang di sekitarku? Tidak perlu menargetkan perubahan besar. Terkadang, langkah-langkah kecil justru lebih mudah dijalani dan berdampak besar dalam jangka panjang. Mengganti kebiasaan malas dengan membaca buku, lebih sering berbicara dari hati ke hati dengan keluarga, atau menyisihkan waktu untuk meditasi atau lebih mendekatkan diri pada Tuhan, bisa menjadi awal yang sangat baik. Refleksi diri di akhir tahun bukan tentang melihat ke belakang dengan penyesalan, melainkan dengan rasa syukur. Setiap momen – baik ataupun buruk – adalah potongan puzzle yang menyusun siapa kita hari ini. Maka, di penghujung tahun ini, luangkan waktu sejenak. Duduklah dengan tenang, tarik napas dalam-dalam, dan biarkan pikiran kita menyusuri kenangan yang telah berlalu. Karena dalam refleksi, kita bukan hanya melihat kembali, tetapi juga menemukan versi diri yang lebih baik untuk melangkah ke tahun berikutnya. Selamat menyusun kembali potongan-potongan puzzle kehidupan, dan kita songsong tahun berikutnya dengan penuh harapan. *

Selasa, 10 Desember 2024

Kang Juhi dan Gorengan Multiverse

Kang Juhi dan Gorengan Multiverse Di sebuah kamar kontrakan pengap di pinggiran Jakarta, Kang Juhi memulai hari dengan ritual sakral, meramu gorengan. Tepung dicampur air, ditaburi garam, dan adonan itu menjadi medium eksistensinya. Di penggorengan kecil yang sudah penuh kerak, adonan itu menggelembung, menjadi tahu isi, tempe goreng, dan bakwan yang siap menjelajah kantong pelanggan. Di balik wajah lelahnya, Kang Juhi menyimpan dimensi lain, pengamat kehidupan yang tajam, dengan batin yang kerap berkelana ke realitas alternatif. Kang Juhi bukan sekadar pedagang gorengan keliling, ia adalah seorang cosmic wanderer – sejenis entitas pinggiran yang bisa hadir di mana saja, menyelinap ke sela-sela percakapan serius para pejabat, mimpi buruk para aktivis, hingga meeting daring kaum elite dengan koneksi internet super stabil. Namun, alih-alih membawa dampak dramatis, ia hanya menyimpan semua pengamatan dalam senyap. Sebab, siapa yang mau mendengar ocehan seorang pedagang gorengan? Suatu hari, Kang Juhi berdiri di dekat halte bus. Udara pagi itu menyatu dengan bau amis got dan asap knalpot – ramuan otentik metropolitan. Ia memerhatikan sekelompok pekerja kantoran berdasi, sibuk dengan kopi-to-go (kopi yang dipesan dan dibawa pulang untuk dinikmati di tempat lain) dan ponsel pintar mereka. "Lucu juga," gumamnya dalam hati, "mereka kerja mati-matian demi bisa beli barang yang bikin mereka lupa kenapa hidup." Batinnya menggelitik, mencoba menyimpulkan bahwa produktivitas hanyalah dongeng kapitalisme modern. Di sore lainnya, Kang Juhi muncul di trotoar sebuah perumahan mewah. Pelanggannya, seorang ibu muda dengan tas bermerek, menawar gorengannya setengah mati. "Rp1.000 aja, Kang. Masih bisa kan?" Kang Juhi tersenyum tipis, lalu memberikan tahu isi yang harganya nyaris setara modal. "Mungkin tasnya berat, jadi tak kuat bayar penuh," pikirnya sinis. Ia melanjutkan perjalanan tanpa protes, hanya menertawakan absurditas dunia yang memberinya peran sebagai pengisi perut darurat. Namun, ada kalanya Kang Juhi tenggelam dalam refleksi mendalam. Dalam sepi kamar kontrakan yang hanya berisi kasur tipis, ia bertanya pada dirinya sendiri, “Apa aku ini nyata? Atau cuma metafora?” Ia merasa menjadi cermin dari sebuah kelompok, kaum yang ada tetapi tak dianggap, penting tetapi tak dihargai. Ia sering bertanya-tanya apakah pandangan kritisnya pada dunia ini benar-benar masuk akal atau sekadar pembenaran batin seorang pedagang gorengan. Di dunia yang makin bising oleh narasi-narasi besar, Kang Juhi memilih tetap berjalan dengan pikiran-pikiran kecilnya. Ia menertawakan dunia, bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia sadar bahwa hanya dengan tawa ia bisa bertahan. Ia adalah pengingat bahwa logika sederhana sering kali lebih relevan daripada teori-teori muluk para intelektual. Jadi, apakah Kang Juhi nyata? Entahlah. Yang jelas, ia hadir dalam kehidupan kita. Saat kita menawar gorengan di pinggir jalan, saat kita merasa dunia terlalu rumit, atau saat kita butuh pengingat bahwa kebahagiaan tak harus mahal. Kang Juhi ada, bahkan ketika kita tak lagi melihatnya. Ia mungkin sedang mengamati kita sekarang, sambil tertawa kecil, memikirkan betapa anehnya hidup ini. Tatkala gorengan terakhir di malam itu ludes, ia kembali ke kontrakan, merebus segelas teh manis murahan. Di sana, di bawah cahaya lampu redup, Kang Juhi bersiap untuk mimpi baru, dunia lain yang menunggunya untuk dikritisi. Apakah penalarannya bisa dipertanggungjawabkan? Mungkin tidak. Tapi siapa peduli, selama gorengannya renyah. ***

Sabtu, 07 Desember 2024

Mundurlah, Gus

Mundurlah, Gus. Yoss Prabu Gus, nama Anda telah menggaung sebagai tokoh penting dalam dunia dakwah dan agama. Tidak hanya dikenal sebagai seorang kyai kondang, Anda juga memiliki posisi penting yang cukup strategis di negeri ini. Namun, dengan segala hormat, ada baiknya kita bersama-sama merenungkan satu hal. Apakah kehadiran Anda sebagai pejabat publik benar-benar masih membawa manfaat sebesar saat Anda murni berdakwah sebagai ulama? Sebagai ulama yang disegani, Anda menjadi panutan bagi banyak orang. Tapi, ketika seorang ulama terjun sebagai pejabat, dengan posisi penting, situasinya tidak sesederhana ceramah di atas podium. Ada konsekuensi besar yang menyertai, baik terhadap nama baik Anda maupun pesan yang selama ini Anda sampaikan. Banyak yang mulai mempertanyakan: apakah Anda masih menjadi ulama yang teguh, atau justru mulai terlalu dekat dengan lingkaran kekuasaan? Sebagai ulama, tugas Anda adalah menuntun umat. Tapi, ketika jabatan publik menjadi bagian dari kehidupan, fokus itu pun mulai terpecah. Bagaimana mungkin seseorang bisa sepenuh hati mendampingi umat jika waktu dan perhatian terpecah antara tanggung jawab agama dan urusan jabatan? Bukankah tugas Anda lebih mulia ketika sepenuhnya berdakwah? Jabatan, sering kali penuh godaan. Banyak tokoh besar sebelum Anda yang akhirnya terseret arus kepentingan politik, hingga melupakan akar perjuangannya. Harapan umat kepada Anda sangat besar, Gus. Mereka ingin melihat yang tulus menyuarakan kebenaran tanpa beban jabatan. Dulu, Anda dihormati sebagai ulama yang tegas, sederhana, dan membumi. Namun, sejak masuk ke ranah jabatan, banyak yang mulai mempertanyakan apakah semua langkah Anda murni untuk umat atau untuk menjaga hubungan dengan para pejabat lainnya. Ini bukan tuduhan, Gus, melainkan keprihatinan dari mereka yang mencintai Anda sebagai ulama. Ketika seorang tokoh agama seperti Anda berada di lingkaran kekuasaan, banyak yang akhirnya melihat Anda sebagai bagian dari sistem itu. Sistem yang, celakanya, sering kali dianggap kurang berpihak kepada rakyat kecil. Bukankah lebih baik bagi seorang ulama untuk tetap menjaga jarak dari kekuasaan agar suaranya tetap murni? Mungkin ini saat yang tepat untuk merenung. Apakah dengan bertahan di jabatan tersebut Anda masih bisa menjalankan peran sebagai ulama yang independen? Ataukah justru Anda akan terjebak dalam rutinitas duniawi yang akhirnya merusak kepercayaan umat? Mundur dari jabatan bukanlah tanda kelemahan, Gus. Justru itu adalah bentuk keberanian dan kebesaran hati. Anda akan dikenang sebagai seorang ulama yang memilih kehormatan dan pengabdian kepada umat di atas segalanya. Gus, kami tidak membenci Anda. Justru kami sangat menghormati Anda. Karena itu, kami ingin melihat Anda kembali pada jalan yang selama ini Anda tempuh sebagai seorang ulama yang mencintai umatnya. Lepaskan beban jabatan yang hanya akan membatasi langkah Anda. Kembali ke pangkuan umat yang selalu menunggu pencerahan dari Anda. Mundurlah, Gus. Bukan karena Anda tidak mampu, tapi karena umat membutuhkan Anda lebih besar sebagai ulama daripada seorang pejabat. Dan bukankah, mengabdi kepada umat adalah jalan terbaik menuju keberkahan? Namun juga sangat penting untuk diingat, akankah nama besar Anda tetap menggaung di hati dan jiwa para pemuja Anda? Salam hormat dan harapan, dari mereka yang selalu suka dengan ceramah-ceramah Anda.

Jumat, 08 November 2024

Memetik Pelajaran dari Kegagalan

Memetik Pelajaran dari Kegagalan Kekalahan bukanlah aib. Dan ketika semua orang bercerita tentang kemenangan, saya malah lebih suka bercerita tentang sebuah kekalahan. Terkadang kita berpikir, “Kalah. Ya, sudahlah. Berarti tidak bisa.” Namun kekalahan Kamala Harris, itu tidak sesederhana antara kalah dan menang. Lebih sebagai riwayat tentang perjuangan, representasi, dan mimpi yang dipunyai banyak orang. Terutama mereka yang merasa tidak pernah terlihat atau terdengar. Kamala itu bagai simbol untuk kebanyakan masyarakat Amerika yang betul-betul ingin adanya perubahan. Perempuan berkulit sawo matang yang sebelumnya menduduk posisi wakil Joe Biden ini, itu bukan hal yang biasa. Kamala Harris ini tidak hanya sebagai orang biasa yang beruntung mendapatkan posisi tinggi. Dia perempuan keturunan India-Jamaika, orang yang mungkin dulunya tidak dianggap, tapi ternyata bisa sampai pada titik tertinggi. Wakil Presiden Amerika Serikat ke-49. Perempuan pertama berkulit hitam itu telah melewati banyak rintangan. Bukan hanya persoalan gender, tapi juga soal ras. Banyak orang melihat, mantan Senator Amerika Serikat dari California (2017-2021) ini, sebagai wujud nyata dari banyak mimpi mereka. Jadi, andai Kamala kalah, hal itu seperti turut menghancurkan mimpi mereka yang selama ini banyak berharap pada dia. Tapi sebetulnya, kekalahan ini lebih dari sekadar kehilangan posisi. Ini adalah pembuktian kalau perubahan itu tidak bisa instan. Mungkin ya, kita tidak akan langsung dapat semua yang kita inginkan. Namun perjalanan Kamala, meski berakhir kalah, itu memberi pelajaran soal ketabahan dan ketegaran. Kekalahan dia, jadi pengingat untuk semua orang yang punya mimpi besar tapi sering kali jatuh. Bayangkan, perempuan yang lahir pada 20 Oktober 1964 di Oakland-California ini, sudah berjuang, sudah berdiri di panggung, sudah didukung oleh masyarakat yang ingin Amerika berubah. Dan meskipun akhirnya kalah, perjalanan Kamala tetap punya banyak arti. Bukan berarti karena kalah, akhirnya tidak ada perubahan. Malah, dia telah membuat setiap orang jadi sadar kalau ada yang masih perlu diperjuangkan di politik. Kesetaraan gender, representasi kulit berwarna, isu-isu sosial – itu semua tetap relevan dan layak untuk diperjuangkan, meski pun mungkin jalannya masih panjang. Apabila dilihat dari sudut pandang humanis, kekalahan Kamala Harris ini mengajarkan pada kita. Apabila gagal, itu bukan akhir segalanya. Ini hanya salah satu bagian dari hidup yang, mau tidak mau, pasti pernah kita lewatkan. Gagal itu cuma bagian kecil. Kecil. Tapi cara kita menghadapi kegagalan itulah yang membuat hidup ini lebih punya arti. Kamala memang kalah, tapi inspirasi yang dia tebarkan, tidak akan pernah hilang. Dia telah membuka pintu sangat lebar, untuk banyak orang seperti dia, yang selama ini tidak memilik suara atau tempat di politik. Siapa pun akan melihat Kamala sebagai sosok yang pernah berjuang untuk sesuatu yang besar, dan mungkin itu yang membuat kekalahan ini tidak sepahit sebagaimana mestinya. Bahkan, justru menjadi pembuka jalan untuk para perempuan di mana pun yang merasa terpinggirkan untuk berani berani bermimpi. Intinya, kekalahan mantan Jaksa Agung California periode 2011-2017 itu, telah mengingatkan siapa pun, bila impian tidak bisa diraih dalam sekali jalan. Perjuangan harus terus dijalankan, walau acap kali gagal. Siapa saja yang melihat Kamala dapat belajar kalau mimpi besar, tidak muncul begitu saja tanpa harga. Namun juga sering butuh waktu. Meski kalah, Kamala tetap dapat membuktikan kalau perempuan kulit berwarna, juga punya tempat di dunia yang selama ini didominasi kulit putih. Kekalahan itu cuma akhir sementara. Besok, atau lusa. Barangkali bakal ada Kamala-Kamala lain, yang dapat meneruskan misi yang dia mulai. Karena dalam dunia yang tidak sempurna ini, perjuangan selalu lebih penting ketimbang hasil akhir. Yang pasti. Menurut tetangga saya, “Kekalahan Kamala Harris membuktikan bahwa, rakyat Amerika belum sudi dipimpin seorang perempuan. Apa pun warna kulitnya.” Jakarta, 09 November 2024 Yoss Prabu

Senin, 04 November 2024

Romantisme di Balik Hujan

Romantisme di Balik Hujan

 

November selalu punya keistimewaan. Bagi sebagian orang tentunya. Sebab ketika banyak yang beranggapan, November adalah bulan yang muram dan dingin. Di sisi lain, November adalah bulan yang penuh kehangatan, keintiman, dan keromantisan yang mendalam. Karena di balik tetesan hujannya yang sering datang, dengan udara yang sejuk, November menawarkan pesonanya yang unik, bagaikan cerita cinta yang tersimpan di kedalaman hati.

Di bulan ini, ketika sebagian orang lebih sering suka merenung di depan monitor, ditemani secangkir capucino atau teh hangat, sambil memandangi rintik hujan yang jatuh perlahan di luar sana. Yang setiap tetesnya seakan membawa kisah perjalanan waktu, mengingatkan pada kenangan-kenangan lama yang tersimpan tak rapi. Ada sesuatu yang mendalam, seperti nyanyian lirih yang merintih membawa berbagai perasaan melankolis serta keinginan untuk terus berkarya, menyapa lewat tulisan atau tetap terpaku dalam perenungan.

Hujan di bulan November ini tidak hanya membasahi jagad, tetapi juga menyentuh hati, membuka ruang bagi rasa yang mungkin selama ini kita sembunyikan. Entah bagaimana, November membuatnya menjadi lebih peka, lebih mudah tersentuh, dan lebih terbuka untuk hal-hal sederhana yang kadang luput di bulan lainnya.

November juga memberi kesempatan untuk melambat. Di tengah hiruk-pikuknya dunia yang terasa kian cepat berputar. Bisa jadi, dengan kehadiran November kita dapat jedah sejenak, meresapi momen-momen kecil yang acap terlewatkan. Seperti mengunyah sebutir kacang yang berdurasi lebih lama dari biasanya. Hujan yang turun dengan tenang mengajak kita untuk berdiam, melihat ke dalam diri, merenung dan merasakan cinta dalam bentuk yang lebih halus – cinta pada diri sendiri, kepada orang lain, dan pada kehidupan itu sendiri.

Keromantisan di bulan November sering kali tidak terucap dalam kata-kata. Atau dalam tulisan. Bisa saja dalam bentuk genggaman tangan saat berjalan di bawah payung yang sama, atau saling bertukar senyum saat menyeduh minuman hangat di pagi hari yang sejuk. Cinta di bulan ini lebih sederhana, tapi juga lebih dalam. Tidak perlu janji-janji manis atau gerakan besar – cukup dengan kehadiran, cukup dengan kehangatan yang terpancar dalam keheningan.

Banyak yang merasakan bahwa, di bulan ini adalah saat yang tepat untuk kembali mendekatkan diri kepada orang-orang yang disayangi, karena atmosfer yang tenang seolah mengajak kita untuk lebih memerhatikan dan mengapresiasi mereka. November adalah bulan untuk berbagi selimut hangat, untuk duduk berdampingan dalam hening, atau berjalan pelan menelusuri trotoar yang basah sambil berbicara tentang harapan dan angan-angan. Atau tentang masa lalu yang mengesankan.

Jadikan November untuk mengingatkan kita bahwa, cinta itu tidak harus selalu penuh gairah dan keramaian. Terkadang atau sering kali, cinta yang paling indah adalah cinta yang hadir dalam kesunyian dan keheningan – yang tidak mengharapkan apa pun selain kebersamaan.

Jadi, ketika November tiba, mari belajarlah untuk lebih menghargai keindahan kecil di sekitar kita. Mari luangkan waktu untuk lebih menikmati tetesan hujan, meresapi hawa dingin yang mengajak kita untuk lebih saling mendekat, dan menemukan romansa yang tersembunyi di dalam kesederhanaan.

November bukan hanya sekadar bulan yang membawa hujan, angin dan petir, tapi juga bulan yang menawarkan kehangatan bagi hati yang ingin merasakan, untuk jiwa yang ingin menemukan, dan untuk cinta yang ingin bertahan. Karena, di balik setiap tetesan hujan, selalu ada kisah cinta yang menunggu untuk ditemukan.

 

Jakarta, 04 November 2024

Yoss Prabu

Senin, 08 Juli 2013

Anak Kang Juhi Kepingin NewKube


Begini. Sehabis keliling ibukota dengan busway gratisan pada saat ulang tahun Jakarta kemarin itu (baca juga kisah Kang Juhi dalam judul Ulang Tahun di blog ini), anak Kang Juhi tidak langsung pulang kembali ke kampung halamannya. Sebab hanya tinggal beberapa hari lagi akan menghadapi liburan panjang setelah semesteran kenaikan kelas. Jadi, anak Kang Juhi bermaksud tinggal dulu bersama bapaknya untuk beberapa hari.

Sebagai orangtua yang sayang anak, Kang Juhi tak merasa keberatan. Toh, ia juga selama di Jakarta ini sering sekali merindukan anak terkecilnya itu. Terutama saat beristirahat malam. Pikirannya sering menerawang ke kampung halaman, merindukan anaknya. Mendampinginya saat belajar, atau barangkali memancing ikan di sungai yang ketika Kang Juhi kecil sungai itu adalah tempat ia bermain bersama teman-teman sebaya. Melompat dari pinggiran sungai yang tinggi lalu mencebur sambil tertawa-tawa.

Namun masalah timbul, justru ketika anaknya itu minta dibelikan mainan untuk menemani saat Kang Juhi berjualan keliling. Kontrakan Kang Juhi memang kosong melompong. Tak ada isi yang berarti selain tikar dan tas punggung yang lebih sering berfungsi sebagai bantal. Pesawat radio atau televisi, cukup hanya sampai diangan-angan saja. Toh kalau hanya untuk menonton tv, bisa numpang di rumah tetangga. Untuk mendengarkan radio, dari kiri-kanan rumah tetangga sudah tembus ke kamar kontrakannya tanpa harus repot mengganti saluran.   

Meski mumet karena tak ada uang untuk menyenangkan anaknya, Kang Juhi tetap berwajah tenang agar anaknya tak kecewa. Mumetnya akan ia gunakan sebagai energi untuk berusaha membelikan mainan. Tapi yang membuat Kang Juhi tak habis mengerti, anaknya minta dibelikan NewKube. Apa itu NewKube? Kang Juhi bingung. Ia berencana, sambil besok berjualan ia akan bertanya-tanya pada siapa saja tentang benda aneh yang memang masih asing di telinganya.

Rabu, 03 Juli 2013

Hari Ulang Tahun

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Hari Ulang Tahun

Tiga hari menjelang ulang tahun kota Jakarta, anak Kang Juhi yang keempat - baru duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar - muncul di ambang pintu kamar kontrakan. Bocah lelaki itu diantar seorang tetangga sekampung yang bekerja sebagai kuli panggul di stasiun kereta, di Jakarta. Kang Juhi kaget, tapi juga gembira karena dapat bertemu dengan anak keempatnya yang paling dirindukan selama merantau di Jakarta ini.

Dari cerita si pengantar, anak Kang Juhi kangen sama bapaknya. Dan bukan hanya itu, anaknya datang ke Jakarta karena ingin merayakan ulang tahunnya yang ke-10. Penjual gorengan itu ternganga tapi tak lupa mengucap terima kasih karena tetangganya itu berkenan mengantar anaknya ke ibukota ini.

Karena kedatangan anak terkecilnya itu, otomatis Kang Juhi libur dulu berjualan. Paling tidak, satu hari-lah. Dengan sedikit uang simpanannya, penjual gorengan keliling itu berencana akan mengajak anaknya jalan-jalan. Mungkin ke Monas (monumen nasional), naik ke puncaknya lalu memandangi Jakarta dari ketinggian 132 meter.

Minggu, 09 Juni 2013

Bahaya Laten Orde Baru

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. # -admin-

Bahaya Laten Orde Baru

Pada sebuah lapak kakilima dekat terminal bus, Nampak banyak koran, tabloid dan majalah dijejerkan. Yang menarik - karena terlihat konyol - pada beberapa cover media tersebut ada terpampang gambar seseorang. Ia sedang tersenyum, yang konon kedahsyatan senyumannya itu sempat mendapat julukan Smiling Jenderal.

Kang Juhi menghela napas. Merasa prihatin terhadap sekelompok manusia yang masih mengidolakan orang itu. Sebab, orang itu terpuruk nyaris sama dengan pemimpin negara sebelumnya yang pernah ia hinakan. Yang lebih memprihatinkan lagi, status hukumnya tidak jelas hingga sekarang ini.

Sabtu, 01 Juni 2013

Prinsip-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #


Prinsip


Suatu ketika Kang Juhi pernah mempunyai prinsip, lebih baik bertarung sendirian melawan harimau ketimbang kumpul dengan sekawanan monyet. Prinsip ngaco dan sangat, sangat ekstrim.

Kamis, 23 Mei 2013

Lapar-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Lapar

Suatu ketika, entah kapan. Kang Juhi - penjual gorengan dari pinggiran ibukota - berjalan-jalan menikmati udara malam, hingga kemudian tersasar ke sebuah mal yang penuh dengan kedai makanan. Udaranya sejuk melebihi kesejukan udara di mana ia menetap. Meski di sana masih banyak ditumbuhi pepohonan rindang. Dilihatnya semua pengunjung mal, termasuk yang tengah menikmati hidangan berbicara perlahan-nyaris saling berbisik satu sama lainnya.

Selasa, 07 Mei 2013

Premanisme di Negeri Preman-Petualangan Kang Juhi


 #Catatan dari Admin: Kang Juhi, penjual gorengan keliling. Tapi batinnya suka mengejawantah jauh berbanding terbalik dengan statusnya. Makanya tak usah diambil hati bila terkadang menyimpang. #

Setelah berkeliling kampung menjual gorengannya, Kang Juhi berhenti di bawah pohon rindang untuk meredakan sejenak kakinya yang pegal. Berjualan menggunakan pikulan dengan beban yang lumayan berat, memang mulai terasa menyiksa bagi Kang Juhi. Karena usianya yang telah memasuki lebih setengah abad. Jelas kekuatan dan ketahanan fisiknya sudah banyak berkurang. Tapi harus bagaimana lagi. Untuk mengganti dengan gerobak beroda, Kang Juhi tidak punya modal. Sebab hasil dari berjualannya selama ini hanya cukup untuk makan, bayar kamar kontrakan dan sedikit sisa dikumpulkan untuk mengirim ke kampung halaman.
Andai saja ia tidak dibuat ribet oleh banyak hal, seperti berbagai pungutan tak resmi yang acap kali dilakukan aparat berseragam hijau, atau para pemuda pemabuk yang suka minta jatah. Mungkin hasil dari keuntungan berjualannya boleh dibilang agak lumayan.  Beberapa pemuda pemabuk sering memalaki gorengannya dengan alasan untuk “dorongan”. Maksudnya, sambil menenggak minuman murahan akan terasa nikmat andai dibarengi dengan gorengan. Dan mereka tak pernah membayar. Dengan hanya bermodal jalan sempoyongan dan bicara sedikit pelo, semua pedagang – termasuk Kang Juhi – akan mendiamkan ulah para pemuda itu ketimbang melawan. Sebab bila itu dilakukan, niscaya esoknya tak bisa berjualan lagi di areal yang sama.

Banjir-Petualangan Kang Juhi


# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Banjir

Sewaktu terjadi banjir yang mengepung Jakarta - begitu istilah menurut media elektronik - kemarin itu, Kang Juhi jelas tak dapat berbuat apa-apa. Artinya, ia libur mencari nafkah akibat dipaksa oleh alam yang sedang tak bersahabat. Alam memang tak pandang bulu. Entah itu bulu kaki atau bulu ketiak, semua kebagian. Dan dalam hal ini, dampak paling parah selalu menimpa rakyat jelata, seperti Kang Juhi. Akibatnya, Kang juhi hanya dapat nangkring di kontrakannya yang sempit sembari berdoa, agar musibah apa pun yang menimpa warga ibukota tak menjadikan mereka pemaki kronis.

Minggu, 31 Maret 2013

April Mop-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #




Seperti biasa. Lepas tengah hari, tatkala matahari berada pada titik kuliminasi kegarangannya, Kang Juhi ngetem di keteduhan sebuah pohoin rindang. Ia tengah asyik membulak-balik gorengan di antara minyak mendidih, selepas makan siang, ketika terjadi sesuatu tak jauh dari tempai dimana ia ngetem  sekarang ini.


Dua lelaki nyaris baku hantam karena yang satunya merasa telah dibohongi. Tak jelas apa yang diributkan. Namun dari gerakan tangan simpang-siur, dari yang seorang lagi. Menunjukan bahwa ia tengah tersinggung hebat. Setelah ada yang melerai dan suasana sedikit tenang, keduanya diamankan masuk warteg untuk makan siang bareng. Yang bayar tentu saja yang membuat gara-gara.

Sabtu, 05 Januari 2013

Perubahan Setelah Tahun Baru-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Perubahan Setelah Tahun Baru

Seperti biasa, hari ini Kang Juhi berangkat jihad. Jihad untuk kepentingan keluargan, yaitu mencari nafkah dengan berjualan gorengan. Seperti biasa, ia bangun pagi sekali. Karena hal itu sudah menjadi kebiasaannya setiap hari. Entah hendak jualan gorengan atau pun tidak, atau saat itu tengah terjadi hujan lebat, gak ada urusan. Ia tetap akan bangun pagi. Pagi sekali. Pukul berapa pun ia tidur semalam, namun satu jam menjelang azan subuh dipastikan ia akan terjaga. Telah menaluri bagi Kang Juhi.

Selasa, 01 Januari 2013

Selamat Tahun Baru 2013-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Selamat Tahun Baru 2013

Dua ribu tiga belas. Di awali dengan beberapa ayam dan pedagang di pasar tradisional yang berlarian menghindari gerimis. Gerimis itu sendiri, sisa dan kelanjutan gerimis tadi malam. Yang membasahi ribuan kembang api saat malam menjelang pergantian tahun.

Kang Juhi, tak ada rencana menjual gorengan hari ini. Bukan cuma karena disebabkan gerimis yang membuat pembeli sembunyi di rumah masing-masing. Karena pembelinya kebanyakan dari kalangan bawah sementara kalangan atas tengah sibuk liburan di puncak dan luar negeri. Namun ia tengah merenungi tentang ribuan atau mungkin jutaan kembang api yang semalam bertebaran di langit Jakarta. Bahkan, nyaris di seluruh kota besar di negeri ini. Dan Kota-kota di seluruh penjuru dunia.

Hilangnya Budaya Saling Support

Hilangnya Budaya Saling Support Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat...