# Kang Juhi, pedagang
gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di
pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa
saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal,
yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan.
Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang
sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran
batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia
hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada
pilihan. Namanya juga dongeng. #
Prinsip
Suatu ketika Kang Juhi pernah mempunyai
prinsip, lebih baik bertarung sendirian melawan harimau ketimbang kumpul dengan
sekawanan monyet. Prinsip ngaco dan sangat, sangat ekstrim.
Tapi alhamdulillah-nya,
prinsip itu hanya dikemukakan di depan ember. Pada pagi buta menjelang fajar.
Ketika ia sedang mencuci singkong untuk dipotong-potong. Andai hal itu ia
ungkapkan di depan umum, Kang Juhi sudah bisa membayangkan bencana apa yang
akan terjadi. Kemungkinan yang paling mungkin dan sangat menyedihkan, tentu kepalanya
akan menggantikan potongan tempe di atas penggorengan dalam minyak mendidih.
Prinsip senewen itu, terbersit begitu
saja. Tanpa direncanakan atau dipersiapkan. Apalagi untuk menyindi-nyindir
segala. Tentu saja tidak. Pikiran itu muncul secara tiba-tiba akibat membanjirnya
peristiwa aneh yang melanda negeri ini. Yang bagi kebanyakan orang – terutama
kalangan miskin ke bawah – adalah sesuatu yang hanya layak unuk ditanggapi
secara apatis saja.
Sebab bila ditanggapi, dipastikan hanya
akan memunculkan bahan tertawaan. Terutama bagi kalangan yang memang telah
akrab dengan keanehan itu. Keanehan yang tak perlu lagi dijelas-jelaskan. Sebab
telah terlalu jelas walau tak menggunakan mikroskop sekali pun. Jelas bagi yang
memang terbiasa menjalani, terutama di kalangan kelompoknya. Namun pada
kalangan tertentu, hal jelas tadi sering kali menjadi ruwet. Akibat rancu.
Prinsip yang sempat terbersit walau hanya
sebatas angan-angan itu, didasari pada berbagai peristiwa yang terjadi di
negerinya. Yang telah melenceng jauh dari prinsip dasar negara, yang melandasi
negeri ini.
Reformasi yang telah menyungsepkan sebuah
rezim “rekayasa”, baru mampu sebatas menumbangkan penguasa pucuk. Namun doktrin
yang telah tertanam selama puluhan tahun, belum bisa berbuat apa-apa terhadap
sistem yang diwariskannya. Dari mulai tingkat eselon hingga ketingkat
kelurahan. Sistem dan gaya lama masih terus mencekik leher masyarakat jelata.
Yang status sosialnya masih tak pernah meningkat ke arah yang lebih baik. Atau,
minimal mendingan-lah.
Kang Juhi melihat, walau hanya sebatas
melalui layar kaca. Korupsi ternyata semakin gelo, yang notabene justru
dilakukan oleh orang-orang yang sebelumnya tak terpikirkan akan dapat melakukan
perbuatan memalukan itu. Itu pun kalau dianggap memalukan. Yang justru anehnya
lagi, para pelaku memalukan itu malahan cengengesan saat muncul dari balik
pintu gedung……, apa itu. Ya, gedung KPK.
ooOoo
Kang Juhi masih ingat pelajaran esempe yang memaknai
satu dari sila Pancasila, sila ke-5. Yaitu, “tidak menggunakan hak milik untuk
hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.” Apalagi bila hasilnya itu, didapat dari suatu perbuatan korupsi. Hidup
mewah bergundik ria, berbulan madu ke Singapura. Alah…, Mak!
Sejak Pancasila dibrojolkan lalu melaju seiring
perkembangan zaman. Berbagai peristiwa yang melenceng dari nilai-nilai luhur
Pancasila terus dipertontonkan. Sedemikian gencarnya, karena ternyata berating sangat
bagus untuk sebuah tayangan, sehingga nyaris memenuhi semua layar kaca dari
stasiun yang ada. Menjadi sebuah santapan yang memuakkan. Karena ternyata,
untuk menjadi seorang selebritas tak perlu berwajah ganteng atau cantik dengan postur
tubuh di atas 170-an. Pendek berperut buncit pun ternyata sekarang ini mudah
sekali.
Kang Juhi juga sempat bertanya, dalam hati tentu saja.
Masih relevankah Pancasila untuk dijadikan falsafah hidup sebuah bangsa.
(Ceileeeh…., soknya Kang Juhi). Mengingat, negara yang tak henti-hentinya dia
kagumi ini, menjadi sedemikian amburadul oleh segelintir oknum yang tak lagi
pancasilais. Namun penerapan kata oknum itu pun perlu ditelaah lebih jauh lagi,
mengingat apa terjadi bukan hanya dilakukan perorangan yang tak diakui
organisasinya, melainkan sebuah konsfirasi berjamaah yang hasilnya untuk
membiayai organisasi. Itu bukan perbuatan oknum. Melainkan hasil didikan sebuah
doktrin yang telah berjalan puluhan tahun. Hingga menjadi rancu akibat
masyarakat terlanjur menganggap benar semua yang terjadi. Hal melenceng telah
menjadi bagian dari sebuah tradisi. Mungkin juga telah menjadi sebuah
kebudayaan.
Bagi masyarakat setingkat Kang Juhi, bila tak ingin
mengekor meski hanya untuk bertahan hidup, maka pilihan terakhir dan tinggal
satu-satunya ya…., tutup mulut. Demi keselamatan, tentunya. Tapi bagi Kang Juhi
yang idealis, makanya dia kere abadi. Penjual gorengan itu seringkali tak bisa
menerima begitu saja kerancuan yang terus terjadi di sekelilingnya. Lalu lewatlah
prinsip gelo itu di benaknya.
Siapa pun yang masih memiliki otak waras akan tahu,
melawan harimau akan selalu berakhir menjadi tahi harimau. Tapi berkumpul
dengan monyet, minimal akan menjadi manusia mirip monyet. Dan Kang Juhi lebih
memilih menjadi kotoran. Karena agak sedikit terhormat menjadi “tai” harimau,
ketimbang disejajarkan dengan monyet. Kang Juhi tetap akan melawan arus, meski
hanya sebatas pemikiran. Itu prinsip lainnya.
Menurut nalar Kang Juhi, Pancasila masih dibutuhkan
demi mempertahankan sebuah prinsip. Walau sampai kapan pun. Dalam suasana
setenang surga sekali pun, Pancasila masih layak dipertahankan sebagai benteng
terakhir bagi landasan pijak bernegara dan berbangsa.
Ah……, Juhi, Juhi!
Yoss Prabu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.