Jalanan
sebagai orangtua haramnya juga telah mengendapkan ampas-ampas kerinduan untuk
sebuah impian masa depan. Itong nyaris tidak memiliki itu walau hanya sekedar
beberapa lembar gambaran. Bagi Itong, masa depan hanyalah sekedar omong kosong
belaka. Masa depan, hanya semboyan tanpa makna. Sebab masa depan yang ia tahu
adalah menggelandang di jalanan. Dengan menggelandang di tengah kehiruk-pikukan
Jakarta sebagai pengamen bus kota, ia bisa mendapat sebungkus sarapan untuk
hari ini. Bukan harapan. Bukan harapan yang menggumpal, yang muluk-muluk, yang
setinggi langit atau sebagai dongeng pengantar tidur. Tidak. Karena Itong
memang tidak pernah tahu tentang arti sebuah harapan. Harapan senyatanya, yang
bukan hanya sekedar hiasan dan kiasan. Tapi harapan yang muncul di tengah
keabu-abuan situasi dan keadaan. Bocah Itong melakoni hidup apa adanya, sesuai
kodratnya sebagai anak-anak. Anak-anak yang terbina oleh kerasnya hidup di
jalanan.
Lalu
siapakah Itong? Baca saja novel ini.