Sabtu, 05 Januari 2013

Perubahan Setelah Tahun Baru-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Perubahan Setelah Tahun Baru

Seperti biasa, hari ini Kang Juhi berangkat jihad. Jihad untuk kepentingan keluargan, yaitu mencari nafkah dengan berjualan gorengan. Seperti biasa, ia bangun pagi sekali. Karena hal itu sudah menjadi kebiasaannya setiap hari. Entah hendak jualan gorengan atau pun tidak, atau saat itu tengah terjadi hujan lebat, gak ada urusan. Ia tetap akan bangun pagi. Pagi sekali. Pukul berapa pun ia tidur semalam, namun satu jam menjelang azan subuh dipastikan ia akan terjaga. Telah menaluri bagi Kang Juhi.

Seperti biasa, Kang Juhi akan langsung terduduk di atas tikar butut yang menjadi alas tidurnya. Lalu ngacir menuju kamar mandi. Kencing. Mungkin hal itu pula yang menjadi penyebab kenapa ia selalu bangun pagi. Sebab bila tak cepat bangun, tentunya ia akan ngompol.

Kang Juhi, memang sudah biasa terjaga dari tidur malamnya justru ketika para tetangganya sedang asyik-asyiknya tenggelam dalam kehangatan kelonan. Ia jarang kelonan karena keluarganya ditinggal di desa. Desanya jauh dan Kang Juhi pun jarang pulang. Maka lambat-laun kelonan menjadi hanya sekedar mitos.

Soal bangun pagi bagi Kang Juhi, telah menjadi refleks dalam kehidupannya. Secara mekanik tubuhnya akan memberikan sinyal ke otak bila menjelang azan subuh telah mendekat. Pertama, karena kebelet kencing. Kedua, karena memang ia harus shalat subuh. Shalat tak boleh ditinggal meski melarat selalu nempel di tengkuk.

Lima hari, semenjak langit ditaburi kembang api, Kang Juhi masih selalu teringat tingkah polah manusia di malam pergantian tahun. Batinnya terus bertanya-tanya, sudah sedemikan makmurkah masyarakat ibukota dengan membuang duit hanya untuk melihat semburat api di udara. Belum lagi banyaknya panggung hiburan di beberapa jalan protokol yang menampilkan puluhan artis. Lalu masyarakat berkerumun. Lalu aparat keamanan waspada, menganggap yang menonton adalah sekumpulan binatang kelaparan yang siap menyantap hidangan di atas pentas. Membuat mimik para aparat menjadi terlihat konyol. Kang Juhi jadi takut. Ia lebih memilih pulang dan mengamankan perlengkapan dagangnya ketimbang menanggung resiko yang muncul tiba-tiba.

Yang juga membuat Kang Juhi semakin tak mengerti. Beberapa hari setelah itu, nyaris setiap orang saling melempar himbauan agar di 2013 terjadi perubahan. Benak awam Kang Juhi terus bertanya-tanya, perubahan apa sebenarnya yang mereka harapkan. Bukankah sudah banyak sekali terjadi perubahan di negeri ini. Yang tadinya berengsek, sekarang lebih berengsek lagi.

Jalanan semakin macet, lebih menggila dari tahun-tahun sebelumnya. Dari sobekan koran bekas pembungkus cabe rawit, Kang Juhi membaca – meski berkutat keras – berbagai berita tentang korupsi yang semakin merata. Ke setiap pelosok negeri.

Belum lagi para mafia, apa itu mafia? Dahi Kang Juhi berkerut. Kenapa harus menggunakan kata mafia, bukan kartel atau yakuza atau apalah. Bangsa ini memang tidak kreatif sehingga masih harus menggunakan istilah asing.   

Kang Juhi nyengir sendirian sambil memijit jidat, menyadari kesoktahuannya. Apa tadi? Mafia? Ya, sudah biarkan saja pakai kata mafia. Barangkali memang tak ada padanannya yang pantas dalam bahasa Indonesia. Pada sobekan koran itu tertulis semakin mengguritanya para mafia menancapkan kuku mereka di berbagai lini dan membiarkan kerancuan terus semakin berlanjut. Dari mafia hukum, mafia peradilan hingga mafia kebudayaan.

“Ah!” Dahi Kang Juhi semakin berkerut. Ia meremas sobekan koran lalu melemparnya sembarangan. Semakin bergegas karena hari kian beranjak siang. Tapi bacaan tadi memang tak bisa terlupakan begitu saja. Mafia kebudayaan. “Memangnya ada?” Gerutunya tiada henti.      

Yoss Prabu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.

Hilangnya Budaya Saling Support

Hilangnya Budaya Saling Support Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat...