# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal
seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa
berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam
simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah
sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi
mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali
menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya
bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual
gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng. #
Perubahan Setelah Tahun Baru
Seperti biasa, hari ini Kang Juhi berangkat jihad.
Jihad untuk kepentingan keluargan, yaitu mencari nafkah dengan berjualan
gorengan. Seperti biasa, ia bangun pagi sekali. Karena hal itu sudah menjadi
kebiasaannya setiap hari. Entah hendak jualan gorengan atau pun tidak, atau
saat itu tengah terjadi hujan lebat, gak ada urusan. Ia tetap akan bangun pagi.
Pagi sekali. Pukul berapa pun ia tidur semalam, namun satu jam menjelang azan
subuh dipastikan ia akan terjaga. Telah menaluri bagi Kang Juhi.
Seperti biasa, Kang Juhi akan langsung terduduk di
atas tikar butut yang menjadi alas tidurnya. Lalu ngacir menuju kamar mandi.
Kencing. Mungkin hal itu pula yang menjadi penyebab kenapa ia selalu bangun
pagi. Sebab bila tak cepat bangun, tentunya ia akan ngompol.
Kang Juhi, memang sudah biasa terjaga dari tidur
malamnya justru ketika para tetangganya sedang asyik-asyiknya tenggelam dalam
kehangatan kelonan. Ia jarang kelonan karena keluarganya ditinggal di desa.
Desanya jauh dan Kang Juhi pun jarang pulang. Maka lambat-laun kelonan menjadi
hanya sekedar mitos.
Soal bangun pagi bagi Kang Juhi, telah menjadi refleks
dalam kehidupannya. Secara mekanik tubuhnya akan memberikan sinyal ke otak bila
menjelang azan subuh telah mendekat. Pertama, karena kebelet kencing. Kedua,
karena memang ia harus shalat subuh. Shalat tak boleh ditinggal meski melarat
selalu nempel di tengkuk.
Lima hari, semenjak langit ditaburi kembang api, Kang
Juhi masih selalu teringat tingkah polah manusia di malam pergantian tahun.
Batinnya terus bertanya-tanya, sudah sedemikan makmurkah masyarakat ibukota
dengan membuang duit hanya untuk melihat semburat api di udara. Belum lagi
banyaknya panggung hiburan di beberapa jalan protokol yang menampilkan puluhan
artis. Lalu masyarakat berkerumun. Lalu aparat keamanan waspada, menganggap
yang menonton adalah sekumpulan binatang kelaparan yang siap menyantap hidangan
di atas pentas. Membuat mimik para aparat menjadi terlihat konyol. Kang Juhi
jadi takut. Ia lebih memilih pulang dan mengamankan perlengkapan dagangnya
ketimbang menanggung resiko yang muncul tiba-tiba.
Yang juga membuat Kang Juhi semakin tak mengerti.
Beberapa hari setelah itu, nyaris setiap orang saling melempar himbauan agar di
2013 terjadi perubahan. Benak awam Kang Juhi terus bertanya-tanya, perubahan
apa sebenarnya yang mereka harapkan. Bukankah sudah banyak sekali terjadi
perubahan di negeri ini. Yang tadinya berengsek, sekarang lebih berengsek lagi.
Jalanan semakin macet, lebih menggila dari tahun-tahun
sebelumnya. Dari sobekan koran bekas pembungkus cabe rawit, Kang Juhi membaca –
meski berkutat keras – berbagai berita tentang korupsi yang semakin merata. Ke
setiap pelosok negeri.
Belum lagi para mafia, apa itu mafia? Dahi Kang Juhi
berkerut. Kenapa harus menggunakan kata mafia, bukan kartel atau yakuza atau
apalah. Bangsa ini memang tidak kreatif sehingga masih harus menggunakan
istilah asing.
Kang Juhi nyengir sendirian sambil memijit jidat,
menyadari kesoktahuannya. Apa tadi? Mafia? Ya, sudah biarkan saja pakai kata mafia.
Barangkali memang tak ada padanannya yang pantas dalam bahasa Indonesia. Pada
sobekan koran itu tertulis semakin mengguritanya para mafia menancapkan kuku
mereka di berbagai lini dan membiarkan kerancuan terus semakin berlanjut. Dari
mafia hukum, mafia peradilan hingga mafia kebudayaan.
“Ah!” Dahi Kang Juhi semakin berkerut. Ia meremas
sobekan koran lalu melemparnya sembarangan. Semakin bergegas karena hari kian
beranjak siang. Tapi bacaan tadi memang tak bisa terlupakan begitu saja. Mafia
kebudayaan. “Memangnya ada?” Gerutunya tiada henti.
Yoss Prabu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.