Selasa, 07 Mei 2013

Banjir-Petualangan Kang Juhi


# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Banjir

Sewaktu terjadi banjir yang mengepung Jakarta - begitu istilah menurut media elektronik - kemarin itu, Kang Juhi jelas tak dapat berbuat apa-apa. Artinya, ia libur mencari nafkah akibat dipaksa oleh alam yang sedang tak bersahabat. Alam memang tak pandang bulu. Entah itu bulu kaki atau bulu ketiak, semua kebagian. Dan dalam hal ini, dampak paling parah selalu menimpa rakyat jelata, seperti Kang Juhi. Akibatnya, Kang juhi hanya dapat nangkring di kontrakannya yang sempit sembari berdoa, agar musibah apa pun yang menimpa warga ibukota tak menjadikan mereka pemaki kronis.

Bagi Kang Juhi sendiri, ia tetap berusaha berprasangka baik. Sebab tak ada yang menyuruhnya tinggal di Ibukota. Berani menjadi bagian dari penduduknya, berarti harus siap menanggung resiko apa pun. Bukan hanya itu, toh banjir juga melanda kota-kota lainnya. Keadilan telah berjalan mereta.  

Datangnya musibah juga bukan berarti harus diratapi. Dalam pengertian yang melebar, banyak yang masih bisa dilakukan Kang Juhi dalam situasi darurat. Salah satunya, memandangi aliran air yang dipenuhi sampah atau hilir-mudiknya masyarakat yang sibuk mencari tempat pengungsian.

Dalam aliran air yang awalnya berwarna kehitaman lalu berubah menjadi mirip capuccino -  Kang Juhi suka membeli sachetan di warung untuk hal terakhir ini - ternyata terdapat suatu kekuatan yang memporak-porandakan ego dalam diri setiap manusia.

Bagaimana tidak, ketika aliran itu semakin membeludak berlebihan lalu merendam banyak tempat di berbagai kota pelosok negeri. Maka otomatis lumpuhlah segala macam aktivitas di setiap lini kehidupan. Ada yang berusaha melawan hambatan, atau membiarkan tanpa harus ambil pusing.

Di istana. Pimpinan tertinggi hingga para pembantunya gulung celana, meski terlihat masih ada yang tetap berdasi. Acara pertemuan dengan tamu negara pun diundur hanya karena akibat "capuccino" yang berlebihan itu tadi.

Petinggi yang biasa blusukan tetap terus blusukan. Andai ada juga petinggi lain yang ikut blusukan, itu bukan untuk ikut-ikutan tapi akibat kendaraan yang akan ditumpanginya tak bisa lewat. "Pak Wakil Pimpinan Tertinggi saja bisa hadir. Jadi gak enak juga kalau gak hadir," demikian kilah sang petinggi seperti yang ditonton Kang Juhi melalui pesawat televisi milik tetangganya.

Meski semua lumpuh, namun masih ada yang tak bisa dilumpuhkan oleh siapa pun. Yaitu niat baik menolong antarsesama yang terkena musibah. Terlihat dari sekian banyaknya para relawan yang gencar menghimpun apa saja yang dapat disumbangkan. Agar senyum para korban tak lagi hambar. Dan mengurangi kecam terhadap pengusaha yang bingung. Karena malas belajar dari apa yang pernah terjadi.

Itu baru sebagian kecil dari sebuah kekuatan namun dengan kuantitas yang berlebihan. Andai kuantitas berlebihan itu dibarengi juga dengan suatu power yang berlebihan, bisa dipastikan bukan hanya celana yang digulung tapi akan lebih banyak lagi nyawa manusia menjadi dadar gulung.

*** 

Memandangi manusia yang hilir-mudik, dengan mimik beragam. Ada yang bingung, acuh tak acuh, bahkan cengengesan karena bakal ada sumbangan. Kang Juhi menangkap suatu realitas kebersamaan yang merobek sekat dan mempersempit jarak. Menyatukan semua lintas, untuk bergerak bersama dengan satu tujuan. Ngungsi. 

Tak ada lagi kepentingan kelompok atau rasa jumawa berlebihan akibat menjadi bagian dari kesuperioran karena telah mendapat nomor urut sebagai peserta pemilu. Status sosial telah berceceran dalam rendaman sang cappucino. Yang punya "lebih" cukup menolak dengan halus saat sumbangan tiba, karena akan mengungsi di hotel bintang lima. Lalu mengalihkannya pada yang masih "kurang". Yang merasa "kurang" pun tertawa lebar namun tak lupa memanjatkan doa padat dan singkat. Yang penting tulus dan tak perlu nyembah-nyembah tanah sambil bersujud.

Kang Juhi tentu saja ikut kebagian "mencicipi" hikmah banjir, berupa nasi bungkus dan mie instan. Nyaris setiap hari ada saja yang mengantar sumbangan. Dengan demikian, hidup masih dapat berlanjut. Ia pun tertawa walau tanpa ikut berdoa. Hanya ucapan pendek, "Terima kasih." Sebab menurutnya, untuk apa harus berdoa segala. Yang memberi itulah yang seharusnya bersukur karena masih diberi kesempatan untuk beramal. Sehingga pahala terus mengalir dan rejeki menjadi semakin bertambah. Kalau pun ada doa, ya mudah-mudahan tahun depan banjir lagi dan dari rejeki yang bertambah itu ada kesempatan lagi untuk tetap beramal. Itu menurut Kang Juhi.

Cara berpikir polos hasil dari enyaman pendidikan rendah - yang bisa dikatakan mewakili sebagian besar masyarakat marjinal ibukota - ditambah akibat keterbiasaan kena "musibah" kehidupan, sering kali membuat terhenyak dengan daun telinga memerah. Sebab tak ada ego kampungan di sana, tak ada embel-embel kepentingan. Juga sangat jauh dari kepentingan pencitraan suatu kelompok. Selain ungkapan spontan hasil pengolahan dari suatu keluguan.

Yoss Prabu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.

Hilangnya Budaya Saling Support

Hilangnya Budaya Saling Support Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat...