# Kang Juhi, pedagang gorengan
keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran
ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja.
Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal,
yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan.
Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang
sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran
batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia
hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada
pilihan. Namanya juga dongeng. #
Banjir
Sewaktu terjadi banjir yang mengepung Jakarta - begitu istilah
menurut media elektronik - kemarin itu, Kang Juhi jelas tak dapat berbuat
apa-apa. Artinya, ia libur mencari nafkah akibat dipaksa oleh alam yang sedang
tak bersahabat. Alam memang tak pandang bulu. Entah itu bulu kaki atau bulu
ketiak, semua kebagian. Dan dalam hal ini, dampak paling parah selalu menimpa
rakyat jelata, seperti Kang Juhi. Akibatnya, Kang juhi hanya dapat nangkring di
kontrakannya yang sempit sembari berdoa, agar musibah apa pun yang menimpa
warga ibukota tak menjadikan mereka pemaki kronis.
Bagi Kang Juhi sendiri, ia tetap berusaha berprasangka baik. Sebab
tak ada yang menyuruhnya tinggal di Ibukota. Berani menjadi bagian dari
penduduknya, berarti harus siap menanggung resiko apa pun. Bukan hanya itu, toh
banjir juga melanda kota-kota lainnya. Keadilan telah berjalan mereta.
Datangnya musibah juga bukan berarti harus diratapi. Dalam
pengertian yang melebar, banyak yang masih bisa dilakukan Kang Juhi dalam
situasi darurat. Salah satunya, memandangi aliran air yang dipenuhi sampah atau
hilir-mudiknya masyarakat yang sibuk mencari tempat pengungsian.
Dalam aliran air yang awalnya berwarna kehitaman lalu berubah
menjadi mirip capuccino - Kang Juhi suka
membeli sachetan di warung untuk hal terakhir ini - ternyata terdapat suatu
kekuatan yang memporak-porandakan ego dalam diri setiap manusia.
Bagaimana tidak, ketika aliran itu semakin membeludak berlebihan
lalu merendam banyak tempat di berbagai kota pelosok negeri. Maka otomatis
lumpuhlah segala macam aktivitas di setiap lini kehidupan. Ada yang berusaha
melawan hambatan, atau membiarkan tanpa harus ambil pusing.
Di istana. Pimpinan tertinggi hingga para pembantunya gulung celana,
meski terlihat masih ada yang tetap berdasi. Acara pertemuan dengan tamu negara
pun diundur hanya karena akibat "capuccino" yang berlebihan itu tadi.
Petinggi yang biasa blusukan tetap terus blusukan. Andai ada juga
petinggi lain yang ikut blusukan, itu bukan untuk ikut-ikutan tapi akibat
kendaraan yang akan ditumpanginya tak bisa lewat. "Pak Wakil Pimpinan
Tertinggi saja bisa hadir. Jadi gak enak juga kalau gak hadir," demikian
kilah sang petinggi seperti yang ditonton Kang Juhi melalui pesawat televisi
milik tetangganya.
Meski semua lumpuh, namun masih ada yang tak bisa dilumpuhkan oleh
siapa pun. Yaitu niat baik menolong antarsesama yang terkena musibah. Terlihat
dari sekian banyaknya para relawan yang gencar menghimpun apa saja yang dapat
disumbangkan. Agar senyum para korban tak lagi hambar. Dan mengurangi kecam
terhadap pengusaha yang bingung. Karena malas belajar dari apa yang pernah
terjadi.
Itu baru sebagian kecil dari sebuah kekuatan namun dengan kuantitas
yang berlebihan. Andai kuantitas berlebihan itu dibarengi juga dengan suatu
power yang berlebihan, bisa dipastikan bukan hanya celana yang digulung tapi
akan lebih banyak lagi nyawa manusia menjadi dadar gulung.
***
Memandangi manusia yang hilir-mudik, dengan mimik beragam. Ada yang
bingung, acuh tak acuh, bahkan cengengesan karena bakal ada sumbangan. Kang
Juhi menangkap suatu realitas kebersamaan yang merobek sekat dan mempersempit
jarak. Menyatukan semua lintas, untuk bergerak bersama dengan satu tujuan.
Ngungsi.
Tak ada lagi kepentingan kelompok atau rasa jumawa berlebihan akibat
menjadi bagian dari kesuperioran karena telah mendapat nomor urut sebagai
peserta pemilu. Status sosial telah berceceran dalam rendaman sang cappucino.
Yang punya "lebih" cukup menolak dengan halus saat sumbangan tiba,
karena akan mengungsi di hotel bintang lima. Lalu mengalihkannya pada yang
masih "kurang". Yang merasa "kurang" pun tertawa lebar
namun tak lupa memanjatkan doa padat dan singkat. Yang penting tulus dan tak
perlu nyembah-nyembah tanah sambil bersujud.
Kang Juhi tentu saja ikut kebagian "mencicipi" hikmah
banjir, berupa nasi bungkus dan mie instan. Nyaris setiap hari ada saja yang
mengantar sumbangan. Dengan demikian, hidup masih dapat berlanjut. Ia pun
tertawa walau tanpa ikut berdoa. Hanya ucapan pendek, "Terima kasih."
Sebab menurutnya, untuk apa harus berdoa segala. Yang memberi itulah yang
seharusnya bersukur karena masih diberi kesempatan untuk beramal. Sehingga
pahala terus mengalir dan rejeki menjadi semakin bertambah. Kalau pun ada doa,
ya mudah-mudahan tahun depan banjir lagi dan dari rejeki yang bertambah itu ada
kesempatan lagi untuk tetap beramal. Itu menurut Kang Juhi.
Cara berpikir polos hasil dari enyaman pendidikan rendah - yang bisa
dikatakan mewakili sebagian besar masyarakat marjinal ibukota - ditambah akibat
keterbiasaan kena "musibah" kehidupan, sering kali membuat terhenyak
dengan daun telinga memerah. Sebab tak ada ego kampungan di sana, tak ada
embel-embel kepentingan. Juga sangat jauh dari kepentingan pencitraan suatu
kelompok. Selain ungkapan spontan hasil pengolahan dari suatu keluguan.
Yoss Prabu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.