Selasa, 07 Mei 2013

Premanisme di Negeri Preman-Petualangan Kang Juhi


 #Catatan dari Admin: Kang Juhi, penjual gorengan keliling. Tapi batinnya suka mengejawantah jauh berbanding terbalik dengan statusnya. Makanya tak usah diambil hati bila terkadang menyimpang. #

Setelah berkeliling kampung menjual gorengannya, Kang Juhi berhenti di bawah pohon rindang untuk meredakan sejenak kakinya yang pegal. Berjualan menggunakan pikulan dengan beban yang lumayan berat, memang mulai terasa menyiksa bagi Kang Juhi. Karena usianya yang telah memasuki lebih setengah abad. Jelas kekuatan dan ketahanan fisiknya sudah banyak berkurang. Tapi harus bagaimana lagi. Untuk mengganti dengan gerobak beroda, Kang Juhi tidak punya modal. Sebab hasil dari berjualannya selama ini hanya cukup untuk makan, bayar kamar kontrakan dan sedikit sisa dikumpulkan untuk mengirim ke kampung halaman.
Andai saja ia tidak dibuat ribet oleh banyak hal, seperti berbagai pungutan tak resmi yang acap kali dilakukan aparat berseragam hijau, atau para pemuda pemabuk yang suka minta jatah. Mungkin hasil dari keuntungan berjualannya boleh dibilang agak lumayan.  Beberapa pemuda pemabuk sering memalaki gorengannya dengan alasan untuk “dorongan”. Maksudnya, sambil menenggak minuman murahan akan terasa nikmat andai dibarengi dengan gorengan. Dan mereka tak pernah membayar. Dengan hanya bermodal jalan sempoyongan dan bicara sedikit pelo, semua pedagang – termasuk Kang Juhi – akan mendiamkan ulah para pemuda itu ketimbang melawan. Sebab bila itu dilakukan, niscaya esoknya tak bisa berjualan lagi di areal yang sama.

Nanun bila bicara soal pemalak, toh bukan hanya di Jakarta saja. Di mana pun selama pengangguran dan gaji aparat masih terbilang belum mencukupi, pemalak akan terus ada. Oleh sebagian masyarakat, para pemalak itu biasanya dijuluki preman. Karena mereka tak mengenakan seragam dinas. Yang berseragam, belum diketemukan namanya. Hanya perbuatannya saja, biasa disebut pungli. Pungutan liar. Liar atau tidak, bagi Kang Juhi sama saja. Sama-sama merugikan. Dalam situasi seperti itu, hendak lapor ke siapa. Jangan-jangan malah kena palak saat akan melapor. Jadi sikap paling bijak pilihan Kang Juhi, ya diam saja. Tuhan mengetahui segala perbuatan hamba-hambanya, demikian ia selalu menggerutu.
Yang pada akhirnya sering membuat Kang Juhi merenung, bukan berapa gorengan atau uang harus dikeluarkan. Tapi kenapa anak-anak muda itu – beberapa di antaranya orang dewasa – tetap menjamur di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Yang seharusnya tak ada lagi rasa “bangga” ketika disebut preman.
Sambil menggoreng ia merenung. Tanpa disadari, seseorang menghampiri lalu mencomot gorengan yang masih setengah panas. Ia berpakaian rapih dan mencangklek tas di pindaknya. Melalui sedikit mukadimah, lelaki itu mengaku sebagai dosen dari sebuah perguruan tinggi negeri. Ia sedang menunggu teman. Mobilnya di parkir di kejauhan. Kang Juhi lalu bercerita tentang preman yang suka memalaki gorengannya, termasuk aparat pemungut restribusi liar.
“Ulah mereka bisa dikategorikan sebagai tindakan premanisme,” begitu katanya sambil mengunyah.
Menurutnya kemudian. Preman itu orangnya, sementara segala tindak-tanduknya masuk dalam kategori premanisme. Preman, berasal dari bahasa Belanda. Yaitu vrijman, orang bebas. Mirip dari asal suku kata dalam bahasa Inggris, freeman. Pembeli gorengan itu melanjutkan, ada 3 yang dapat dikatagorikan sebagai preman. Ia mencomotnya dari kamus bahasa Indonesia. Pertama, swasta atau partikelir, nonpemerintah maksudnya. Kedua sebutan untuk orang jahat yang suka memeras. Ketiga, kuli yang bekerja di sawah.
Kang Juhi hanya diam tak mengerti. Juga tak membantah. Karena ia tak peduli. Sebab baginya, semakin banyak orang itu menjelaskan dan duduk berlama-lama di depan pikulan dagangannya, maka semakin banyak pula gorengan yang berpindah ruang. Namun demikian, preman bisa juga diartikan lawan kata dari dinas. Ada polisi berseragam dinas. Yang tidak, berarti berpakaian preman. Polisi berpakaian preman berarti yang tidak berseragam dinas. Yang seperti ini Kang Juhi sering melihatnya bekerja di kantor. Reserse, atau… apa lagi. Penyidik, sering juga berpakaian preman. Yang berpakaian preman banyak berbaur di keramaian. Terminal, tempat-tempat hiburan atau berbagai ruang publik lainnya.
Tingkah lakunya, sering kali sama dengan preman jalanan yang memalaki para pedagang dengan alasan jaminan keamanan. Apabila tak diberi, maka preman jalanan itulah yang akan merecoki dagangan mereka.

***


Fenomena preman di Indonesia, pembeli gorengan itu menambahkan, mulai berkembang ketika perekonomian semakin sulit dan angka pengangguran lumayan tinggi. Pasalnya, kelompok masyarakat usia kerja. Ditambah kelompok PHK professional yang perusahaan sebelumnya tempat dia bekerja mengalami gulung tikar, mulai dan tetap harus mencari cara untuk mendapatkan penghasilan. Itu terjadi akibat usaha lain tak bisa dilakukan. Maka biasanya tindakan pemerasan adalah pilihan yang paling mungkin. Yang di jalanan, pemerasan dilakukan secara gamblang. Sementara yang di berbagai instansi lebih halus dan terselubung. Itu hanya masalah teknis saja.  
Preman sangat identik dengan dunia kriminal dan kekerasan karena memang kegiatan preman tidak lepas dari kedua hal itu,” demikian lanjutnya. Yang tetap saja membuat Kang Juhi tak mengerti. Sebab kalau menurut Kang Juhi, bila premanisme selalu dikaitkan dengan kekerasan. Ada banyak contoh kekerasan yang terjadi di negeri acak-adut ini. Di tv ia sering melihat, bagaimana anggota dewan menampilkan kekerasan yang tidak sesuai dengan ijazah yang disandangnya. Dari yang hanya memaki atau menggunakan anggota badan. Lalu beberapa anggota lembaga swadaya masyarakat yang menggebuki anggota lembaga lain, hanya karena mereka tak sefaham dengan kepercayaan yang dianutnya. Itu juga bentuk kekerasan. Belum lagi para mahasiswa, anak sekolah dari tingkat SLP hingga SLA yang adu sambit batu hanya untuk sebuah alasan yang hanya lazim digunakan orang-orang jalanan. Itu bentuk kekerasan juga. Berarti, mereka itu ya preman juga.
Penduduk antarkampung, bisa juga disebut preman bila hanya untuk penyelesaian sebuah masalah harus membawa klewang untuk berperang. Padahal, dalam satu kelompok itu terdiri dari bermacam etnis dan agama. Mereka adu hantam bukan untuk kepentingan etnis atau agama tertentu. Mereka siap bikin ribut hanya karena faktor kesetiakawanan semata. Pada saat berhadapan di lapangan, banyak di antara mereka yang beretnis dan agamanya sama. Ribut akibat tersinggung akhirnya menjadi suatu hobi. Itu bentuk premanisme juga.
Pembeli gorengan yang mengaku dosen itu terus menerangkan dengan artikulasi blepetan. Membuat Kang Juhi semakin sulit untuk mengerti terhadap penjelasannya. Ia terus bercerita tentang sebuah negeri penuh preman, yang pada dasarnya memang penyuka kekerasan ini. Lalu menjadi sebuah aksioma, permasalahan hanya bisa diatasi melalui kekerasan.

***

Kang Juhi masih terus menggoreng. Sambil menyimak kuliah gratis dadakan ini.
“Terus bagaimana cara mengatasi tindakan premanisme seperti itu?” Tanya Kang Juhi iseng.
“Sejak zaman baheula hukum dan aturan telah dibuat untuk mengatasi segala bentuk premanisme,” jawabnya. Lalu iapun melanjutkan. Semisal, dari berbagai sumber hukum tertulis berbentuk prasasti abad ke 9-10 Masehi, di Jawa Tengah, masa Dyah Balitung. Juga dari naskah pada masa pasca-Majapahit abad ke 13-15 Masehimemuat tentang hukum dan kerawanan-kerawanan yang pernah terjadi saat itu.
Pertama, prasasti Balingawan891 M. Yang ditulis pada bagian belakang arca Ganesha (terdapat di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah menjadi sima atau daerah perdikan/otonom. Hukum itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat lantaran harus membayar pajak denda atas rah kasawur (darah tersebar berceceran) dan wankay kabunan (mayat kena embun). Itu terjadi, karena dalam hukum Jawa kuno. Desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminalwalaupun peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya ditemukan di desa tersebut. Maka desa yang bersangkutan mendapat sanksi keras harus membayar denda/pajak kepada raja. Itu terjadi akibat sistem dan struktur pemerintahan desa yang bergantung pada yang di atas. Sehingga membuat pengamanan desa menjadi sangat tidak efektif. Masyarakat desa harus mengajukan permohonan untuk sebuah pengamanan desa. Setelah dikabulkan, barulah ketenteraman bisa didapat.
Kedua, prasasti Mantyasih907 M. Ditulis dalam tiga versi berbeda. Dua di antaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan batu, tetapi yang ditulis di atas lempengan perunggulah yang terlengkap. Isinya, seputar penetapan sima dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengusir para penjahat yang selalu membuat resah. Dengan mengerahkan penduduk Desa Mantyasih.
Ketiga, prasasti Kaladi (909 M). Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Isinya tentang pemberian sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan pemisah desa yang menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari Mariwun, sehingga membuat para pedagang dan penangkap ikan menjadi resah siang-malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.
Keempat, prasasti Sanguran (928 M). Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, di antaranya: wipati wankay kabunan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur in dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian?), tutan (mengejar lawan yang kalah?), danda kudanda (pukul-memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).
Kelima, naskah Purwadhigama. Sistem pengadilan zaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat itu.
Hukum tersebut berisitan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi utang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual-beli), wiwadanin pinanwaken mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, seperti ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki istri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Beberapa candi yang memuat adegan kekerasan dapat dilihat di Candi Mendut, Jawa Tengah, bercorak Buddhis. Pada tangga masuk di sisi selatan candi peninggalan abad ke-9-10 M itu terdapat relief yang menggambarkan dua figur, salah satunya memegang gada/parang (?), sedangkan figur yang satunya memegang alat semacam perisai. Di Jawa Timur, beberapa panel relief yang menggambarkan kekerasan dapat pula dilihat pada Candi Surawana (Pare, Kediri), merupakan peninggalan sekitar abad ke-14 M, bercorak keagamaan Buddhis. Pada bagian kaki candi sisi utara terlihat relief yang menggambarkan adegan kekerasan/perkelahian, yakni seorang tokoh sedang memilin kepala seseorang.
Sementara pada Candi Rimbi di Bareng, Jombang, (peninggalan abad ke-13-14 M), pada bagian kaki candi, di sisi selatan, terdapat gambar dua pria sedang berkelahi di tengah hutan dengan menggunakan kain cancut. Fenomena masyarakat Jawa kuno tentang dunia kekerasan tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Para penguasa pada masa itu sudah mengindahkan aturan dan nilai-nilai hidup yang harmonis berupa pandangan hidup berdasarkan kepercayaan/agama. Aturan-aturan tersebut disosialisasikan dengan cara pembuatan prasasti dan gambar-gambar pada relief candi yang sarat akan pesan moral dan etika, sebagai tuntunan hidup manusia.
Walaupun sanksi hukum telah diterapkan begitu kerasnya, dosen itu melanjutkan, bahkan desa-desa dalam wilayah kekuasaan kerajaan tertentu juga harus berperan aktif dalam menjaga ketertiban, tetapi masih saja sering terjadi tindak kekerasan. Apalagi jika penegakan hukum tidak diimbangi dengan disiplin dan dedikasi dari aparatur pemerintah beserta kesadaran seluruh masyarakatnya, niscaya tindak kekerasan masih sering terjadi di mana-mana, bahkan secara kualitas dan kuantitas semakin merebak di negeri ini.
Fenomena premanisme bukan hanya di Indonesia. Dosen itu berhenti sebentar, ia memesan air mineral pada penjual yang berada tak jauh Dari Kang Juhi. Di Jepang juga ada. Di sana lebih terorganisir. Namanya Yakuza.
Anggota Yakuza

 Berdiri sekitar 1612, saat Shogun Tokugawa berkuasa waktu itu setelah berhasil menyingkirkan shogun-shogun sebelumnya. Peristiwa ini berakibat sekitar 500.000 orang samurai yang sebelumnya disebut hatomo-yakko (pelayan shogun) menjadi kehilangan majikan. Yang kemudian disebut sebagai kaum Ronin. Masalah jadi rumit, karena setelah berhasil menggulung para Ronin, para anggota Machi-yokko ini malah meninggalkan profesi awal mereka lalu jadi preman. Para machi-yokko ini kemudian memilih profesi sebagai kaum Bakuto (penjudi) dan Tekiya (pedagang). Namun istilah Tekiya hanya sebagai kedok semata. Karena pekerjaan sebenarnya menipu dan memeras. Tekiya punya sistem kekerabatan kuat. Ada Oyabun (Bos/Bapak) dan Kobun (Bawahan/Anak), serta Senpai-Kohai (Senior-Junior). Sementara kaum Bakutomenandai diri dengan tattoo pada sekujur tubuh (disebut irezumi) dan yubitsume (potong jari).
Sama halnya di jepang, di Italia juga ada dan diberi nama Mafia. Juga dikenal sebagai Cosa Nostra. Adalah persaudaraan pidana yang muncul pada pertengahan abad ke-19 di Sisilia. Ini adalah asosiasi longgar kelompok kriminal yang berbagi struktur organisasi umum dan kode etik. Mereka memiliki cabang di Amerika SerikatKanada dan Australia. Beberapa pengamat melihat "mafia" sebagai satu set atribut berakar dalam budaya populer, sebagai "cara menjadi".
"Mafia adalah kesadaran dari nilai sendiri, konsep berlebihan gaya individu sebagai satu-satunya wasit setiap konflik, setiap benturan kepentingan atau ide."
Mafia biasanya memberi layanan perlindungan dari pencurian. Sebab para mafiosi umumnya dilarang mencuri. Mereka membuat bisnis untuk mengetahui semua pencuri dan memagari wilayah operasi mereka. Jika bisnis yang dilindungi dirampok, klan akan mengontak untuk melacak dan mengembalikan barang curian lalu menghukum para pencurinya.
Meskipun sebagian besar Mafia melindungi pedagang dari pencuri, kadang-kadang mereka melindungi pencuri juga. Mereka melindungi pencuri kecil dari retribusi yang tidak dapat dipercaya. Lalu memaksa mereka untuk memberi setoran pada organisasi induk yang telah memberi perlindungan.
Selain itu ada juga yang namanya Kartel. Keberadaan Kartel banyak terdapat di negara-negara Amerika latin. Bertanggung jawab atas perdagangan kokain, produksi ganja, dan produksi heroin. Kartel Beltran Leyva mengendalikan banyak jalur perdagangan narkoba, dan terlibat dalam penyelundupan manusia, pencucian uang, pemerasan, penculikan, pembunuhan dan perdagangan senjata. Jaringan kartel ini cukup kuat, hingga berhasil menyusup ke jajaran berbagai instansi pemerintah Meksiko dan bahkan Interpol Meksiko.
Di daratan Cina, organisasi serupa di sebut Triad. Triadadalah sebuah organisasi kriminal etnis Cina yang berbasis di Hongkong, Macao, Cina Daratan dan di negara-negara dengan populasi etnis Cina yang besar seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, Amerika, Inggris dan Kanada. Cara praktek kerjanya sama. Meski semula bernama Tian Di Hui (Langit, Bumi, dan Manusia). Didirikan sekitar tahun 1760-an, dengan tujuan menumbangkan kekaisaran Manchu era Dinasti Qing. Ketika Dinasti Qing tumbang pada 1911, komunitas yang awalnya bersifat patriotis ini kemudian berubah menjadi tak terarah akibat tidak dilibatkan menikmati kemajuan CinaMereka menjadi marah dan depresi, yang akhirnya berkembang menjadi organisasi kriminal bawah tanah.
Pada 1949, partai Komunis mengambil alih pemerintah Cina dan menerapkan pengawasan ketat. Mengakibatkan para anggota Triad menyingkir ke daerah selatan, seperti Hongkong. Sekitar tahun 1960 s/d 70-an tersiar kabar bahwa mereka sering bekerja sama dengan kepolisian dalam mengontrol wilayah kekuasaan mereka. Hal ini menimbulkan korupsi di tubuh kepolisian. Pada 1974, Komisi Independen Pemberantas Korupsi (ICAC), KPK-nya Hongkong, mengatasi masalah ini. Yang berakibat Triad kehilangan rekan bisnis. Mereka pun beralih ke perdagangan bawah tanah. Mereka kejam dalam urusan kriminal. Mereka beroperasi dalam skala yang sangat kecil dan membatasi kekerasan antaranggota geng. Untuk menghindari sorotan publik tentunya.
Setelah meneguk air mineral untuk mendorong gorengan yang mengganjal di tenggorokan, dosen itu kembali bercerita. Budaya premanisme terjadi bukan saat ini saja. sudah mengakar sejak zaman dahulu.
“Lalu apa itu budaya premanisme,” Tanya Kang Juhi memotong.
“Budaya premanisme merupakan suatu budaya yang umumnya dilakukan oleh satu individu atau lebih, yang memiliki kekuatan dan keberanian untuk merampas sebagian hak milik orang lain secara paksa demi mendapatkan apa yang mereka inginkan. Budaya ini identik dengan kekerasan dan kriminalitas. Karena hal itu tak bisa terlepas dari pribadi seorang preman,” jawabnya.
Ia pun melanjutkan. Di Indonesia, budaya ini terus berkembang pesat sejak adanya krisis moneter yang memang berpengaruh besar dalam perekonomian Indonesia. Semenjak krisis ekonomi pada 97 lalu, budaya premanisme kembali mendapatkan tempat. Terlepas dari adanya dugaan bahwa gerakan pengerusakan itu di dalangi oleh suatu kelompok terorganisir bersistem komando. Namun aksi pembakaran gedung-gedung di beberapa kota besar Indonesia, telah berdampak pada hancurnya sebuah sistem politik dan perekonomian. Dan memberi tempat yang luang pada tindakan premanisme.
Di era gobalisasi ini, tindakan premanisme berkembang semakin ruwet. Nyaris pada setiap lini kehidupan. Dari mulai tingkat desa hingga pusat, tindakan premanisme bukan hanya ada tapi semakin merajalelaSeperti halnya korupsi, premanisme pun setali tiga uang.
Diam-diam Kang Juhi mengamini penjelasan orang itu. Sebab ia pernah mengalaminya sendiri. Seperti ketika mengurusi surat lapor diri di kelurahan misalnya, ada saja para oknum yang terang-terangan meminta uang untuk kelancaran pengurusan. Sebagai kaum urban yang niatnya mencari nafkah di ibukota ini, Kang Juhi tak punya kapasitas untuk protes. Meski sebenarnya, telah menjadi kewajiban para birokrat itu untuk melayani masyarakat.
Di kepolisian pun sama saja. Pernah suatu ketika Kang Juhi terkena kasus. Pikulan dagangannya tertabrak sebuah sedan, hingga hancur. Ia disuruh jangan banyak bicara oleh para polisi muda yang sedang bertugas. Sementara mereka kemudian melakukan pemerasan terhadap pengendara sedan, yang notabene adalah orang berduit. Hasilnya, Kang Juhi hanya mendapat pergantian untuk membeli pikulan baru. Padahal uang yang dibayar si penabrak sangat besar sekali. Diperkirakan cukup untuk membeli 10 pikulan baru. Lalu kemana sisanya. Wallahu’alam.

***

Kang Juhi nyaris tertidur ketika sang pembeli mengakhiri kuliah dadakannya. Ia membayar gorengan, tapi Kang Juhi sempat mengajukan pertanyaan.
“Terus harus menggunakan cara apa untuk menghadapi para preman itu?” Orang yang mengaku dosen itu tak jadi pergi. Ia duduk lagi dan melanjutkan, “Di zaman orde baru, preman di dor. Lalu mayatnya di karungi dan dibuang di sembarang tempat. Sekarang sebaiknya hal itu tak terulang kembali. Sebab Undang-undang mengenai premanisme dan tindakan kekerasan sudah banyak. Tinggal bagaimana pemerintah menerapkannya.
Di dor bukan cara terbaik. Sebab akar permasalahan premanisme muncul dari tingkat kemiskinan yang tinggi akibat peluang kerja susah didapat.
Pembenahan bukan hanya di jalanan. Tapi terutama pada sistem di tingkat birokrasi. Himbau para birokrat di tingkat kelurahan hingga kementerian, agar jangan lagi “clamitan” untuk sebuah recehan. Tapi bukan berarti yang trilyunan boleh diembat. Itu lebih berhaya lagi. Bukan hanya berdampak negatif terhadap kemajuan sebuah bangsa, juga rusaknya moral sebuah keturunan akibat dijejali makanan hasil korupsi dan tindajan premanisme halus. Premanisme terjadi karena tingkat daya beli masyarakat nyaris berada di titik nadir. Ciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, naikan harga jual. Dan ini yang paling penting. Tingkatnya pendapatan masyarakat dengan menaikan UMP setinggi-tingginya agar daya beli masyarakat berada pada tingkat paling maksimal. Tapi….., ah sudahlah. Nanti Bapak malah tambah bingung.” Orang itu menghentikan kuliahnya lalu pergi menuju mobil yang tengah di parkir. Meninggalkan Kang Juhi yang – siapa pun tak akan membantah – memang sedang kebingungan. 
 Apakah bila semua orang memiliki banyak uang dan pekerjaan, premanisme bisa hilang? Kang Juhi menarik nafas. Angin kembali bertiup. Semilir.



Yoss Prabu


# Disusun dari berbagai sumber. # 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.

Hilangnya Budaya Saling Support

Hilangnya Budaya Saling Support Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat...