Setelah berkeliling kampung
menjual gorengannya, Kang Juhi berhenti di bawah pohon rindang untuk meredakan
sejenak kakinya yang pegal. Berjualan menggunakan pikulan dengan beban yang
lumayan berat, memang mulai terasa menyiksa bagi Kang Juhi. Karena usianya yang
telah memasuki lebih setengah abad. Jelas kekuatan dan ketahanan fisiknya sudah
banyak berkurang. Tapi harus bagaimana lagi. Untuk mengganti dengan gerobak
beroda, Kang Juhi tidak punya modal. Sebab hasil dari berjualannya selama ini
hanya cukup untuk makan, bayar kamar kontrakan dan sedikit sisa dikumpulkan
untuk mengirim ke kampung halaman.
Andai saja ia tidak dibuat ribet oleh banyak hal,
seperti berbagai pungutan tak resmi yang acap kali dilakukan aparat berseragam
hijau, atau para pemuda pemabuk yang suka minta jatah. Mungkin hasil dari
keuntungan berjualannya boleh dibilang agak lumayan. Beberapa pemuda
pemabuk sering memalaki gorengannya dengan alasan untuk “dorongan”. Maksudnya,
sambil menenggak minuman murahan akan terasa nikmat andai dibarengi dengan
gorengan. Dan mereka tak pernah membayar. Dengan hanya bermodal jalan
sempoyongan dan bicara sedikit pelo, semua pedagang – termasuk Kang Juhi – akan
mendiamkan ulah para pemuda itu ketimbang melawan. Sebab bila itu dilakukan,
niscaya esoknya tak bisa berjualan lagi di areal yang sama.
Nanun bila bicara soal pemalak, toh bukan hanya di
Jakarta saja. Di mana pun selama pengangguran dan gaji aparat masih terbilang
belum mencukupi, pemalak akan terus ada. Oleh sebagian masyarakat, para pemalak
itu biasanya dijuluki preman. Karena mereka tak mengenakan seragam dinas. Yang
berseragam, belum diketemukan namanya. Hanya perbuatannya saja, biasa disebut
pungli. Pungutan liar. Liar atau tidak, bagi Kang Juhi sama saja. Sama-sama
merugikan. Dalam situasi seperti itu, hendak lapor ke siapa. Jangan-jangan
malah kena palak saat akan melapor. Jadi sikap paling bijak pilihan Kang Juhi,
ya diam saja. Tuhan mengetahui segala perbuatan hamba-hambanya, demikian ia
selalu menggerutu.
Yang pada akhirnya sering membuat Kang Juhi merenung,
bukan berapa gorengan atau uang harus dikeluarkan. Tapi kenapa anak-anak muda
itu – beberapa di antaranya orang dewasa – tetap menjamur di negeri yang
katanya gemah ripah loh jinawi ini. Yang seharusnya tak ada
lagi rasa “bangga” ketika disebut preman.
Sambil menggoreng ia merenung. Tanpa disadari, seseorang
menghampiri lalu mencomot gorengan yang masih setengah panas. Ia berpakaian
rapih dan mencangklek tas di pindaknya. Melalui sedikit mukadimah, lelaki itu
mengaku sebagai dosen dari sebuah perguruan tinggi negeri. Ia sedang menunggu
teman. Mobilnya di parkir di kejauhan. Kang Juhi lalu bercerita tentang preman
yang suka memalaki gorengannya, termasuk aparat pemungut restribusi liar.
“Ulah mereka bisa dikategorikan sebagai tindakan
premanisme,” begitu katanya sambil mengunyah.
Menurutnya kemudian. Preman itu orangnya, sementara
segala tindak-tanduknya masuk dalam kategori premanisme. Preman, berasal dari
bahasa Belanda. Yaitu vrijman, orang bebas. Mirip dari asal suku
kata dalam bahasa Inggris, freeman. Pembeli gorengan itu
melanjutkan, ada 3 yang dapat dikatagorikan sebagai preman. Ia mencomotnya dari
kamus bahasa Indonesia. Pertama, swasta atau partikelir, nonpemerintah
maksudnya. Kedua sebutan untuk orang jahat yang suka memeras. Ketiga, kuli yang
bekerja di sawah.
Kang Juhi hanya diam tak mengerti. Juga tak membantah.
Karena ia tak peduli. Sebab baginya, semakin banyak orang itu menjelaskan dan
duduk berlama-lama di depan pikulan dagangannya, maka semakin banyak pula
gorengan yang berpindah ruang. Namun demikian, preman bisa juga diartikan lawan
kata dari dinas. Ada polisi berseragam dinas. Yang tidak, berarti berpakaian
preman. Polisi berpakaian preman berarti yang tidak berseragam dinas. Yang
seperti ini Kang Juhi sering melihatnya bekerja di kantor. Reserse, atau… apa
lagi. Penyidik, sering juga berpakaian preman. Yang berpakaian preman banyak
berbaur di keramaian. Terminal, tempat-tempat hiburan atau berbagai ruang
publik lainnya.
Tingkah lakunya, sering kali sama dengan preman
jalanan yang memalaki para pedagang dengan alasan jaminan keamanan. Apabila tak
diberi, maka preman jalanan itulah yang akan merecoki dagangan mereka.
***
Fenomena preman di Indonesia, pembeli gorengan itu
menambahkan, mulai berkembang ketika perekonomian semakin
sulit dan angka pengangguran lumayan tinggi. Pasalnya, kelompok
masyarakat usia kerja.
Ditambah kelompok PHK professional yang perusahaan sebelumnya tempat dia
bekerja mengalami gulung tikar, mulai dan tetap harus mencari
cara untuk mendapatkan penghasilan.
Itu terjadi akibat usaha lain tak bisa dilakukan. Maka biasanya tindakan pemerasan adalah pilihan yang paling
mungkin. Yang
di jalanan, pemerasan dilakukan secara gamblang. Sementara yang di berbagai
instansi lebih halus dan terselubung. Itu hanya masalah teknis
saja.
“Preman sangat identik
dengan dunia kriminal dan kekerasan karena memang kegiatan preman tidak lepas
dari kedua hal itu,”
demikian lanjutnya. Yang
tetap saja membuat Kang Juhi tak mengerti. Sebab kalau menurut Kang Juhi, bila
premanisme selalu dikaitkan dengan kekerasan. Ada banyak contoh kekerasan yang
terjadi di negeri acak-adut ini. Di tv ia sering melihat, bagaimana anggota
dewan menampilkan kekerasan yang tidak sesuai dengan ijazah yang disandangnya.
Dari yang hanya memaki atau menggunakan anggota badan. Lalu beberapa anggota
lembaga swadaya masyarakat yang menggebuki anggota lembaga lain, hanya karena
mereka tak sefaham dengan kepercayaan yang dianutnya. Itu juga bentuk
kekerasan. Belum lagi para mahasiswa, anak sekolah dari tingkat SLP hingga SLA
yang adu sambit batu hanya untuk sebuah alasan yang hanya lazim digunakan
orang-orang jalanan. Itu bentuk kekerasan juga. Berarti, mereka itu ya preman
juga.
Penduduk antarkampung, bisa juga disebut preman bila
hanya untuk penyelesaian sebuah masalah harus membawa klewang untuk berperang.
Padahal, dalam satu kelompok itu terdiri dari bermacam etnis dan agama. Mereka
adu hantam bukan untuk kepentingan etnis atau agama tertentu. Mereka siap bikin
ribut hanya karena faktor kesetiakawanan semata. Pada saat berhadapan di
lapangan, banyak di antara mereka yang beretnis dan agamanya sama. Ribut akibat
tersinggung akhirnya menjadi suatu hobi. Itu bentuk premanisme juga.
Pembeli gorengan yang mengaku dosen itu terus
menerangkan dengan artikulasi blepetan. Membuat Kang Juhi semakin sulit untuk
mengerti terhadap penjelasannya. Ia terus bercerita tentang sebuah negeri penuh
preman, yang pada dasarnya memang penyuka kekerasan ini. Lalu menjadi sebuah
aksioma, permasalahan hanya bisa diatasi melalui kekerasan.
***
Kang Juhi masih terus menggoreng. Sambil menyimak
kuliah gratis dadakan ini.
“Terus bagaimana cara mengatasi tindakan premanisme
seperti itu?” Tanya Kang Juhi iseng.
“Sejak zaman baheula hukum dan aturan telah dibuat
untuk mengatasi segala bentuk premanisme,” jawabnya. Lalu iapun melanjutkan.
Semisal, dari berbagai sumber
hukum tertulis berbentuk prasasti
abad ke 9-10 Masehi, di
Jawa Tengah, masa Dyah
Balitung. Juga dari naskah
pada masa pasca-Majapahit abad ke 13-15 Masehi, memuat tentang hukum dan
kerawanan-kerawanan yang pernah terjadi saat itu.
Pertama, prasasti
Balingawan, 891 M. Yang
ditulis pada bagian belakang arca Ganesha (terdapat di Museum Pusat
Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah menjadi sima atau daerah
perdikan/otonom. Hukum
itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan
melarat lantaran harus membayar pajak denda atas rah kasawur (darah tersebar
berceceran) dan wankay kabunan (mayat kena embun). Itu
terjadi, karena
dalam hukum Jawa kuno. Desa-desa
yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminal, walaupun peristiwanya
terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya ditemukan di desa tersebut. Maka desa
yang bersangkutan mendapat sanksi keras harus membayar denda/pajak kepada
raja. Itu terjadi akibat sistem
dan struktur pemerintahan desa yang bergantung pada yang di atas. Sehingga membuat pengamanan
desa menjadi sangat
tidak efektif. Masyarakat desa harus mengajukan permohonan
untuk sebuah pengamanan desa. Setelah dikabulkan, barulah ketenteraman bisa
didapat.
Kedua, prasasti Mantyasih, 907 M. Ditulis
dalam tiga versi berbeda. Dua di
antaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan batu, tetapi yang ditulis
di atas lempengan perunggulah
yang terlengkap. Isinya,
seputar penetapan sima dari Raja Rakai Watukura Dyah
Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengusir para penjahat yang selalu membuat resah.
Dengan mengerahkan penduduk Desa Mantyasih.
Ketiga, prasasti Kaladi
(909 M). Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung.
Isinya tentang pemberian sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama
Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan pemisah desa yang menyebarkan
ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari Mariwun, sehingga membuat
para pedagang dan penangkap ikan menjadi resah siang-malam.
Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi
merasa ketakutan.
Keempat, prasasti Sanguran
(928 M). Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, di antaranya: wipati
wankay kabunan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur in dalan
(darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh),
hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh
nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak
kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian?), tutan (mengejar lawan yang
kalah?), danda kudanda (pukul-memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan
menggunakan kekuatan magis).
Kelima, naskah
Purwadhigama. Sistem pengadilan zaman klasik membagi segala macam tindak pidana
dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara.
Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis
besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat
itu.
Hukum tersebut berisi, tan
kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi utang), tan kawahanin patuwawa (tidak
membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya),
tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin
huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan
(tidak memberi upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar janji),
alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual-beli), wiwadanin pinanwaken
mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya),
kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa
wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian),
ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas
terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian
warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Dari 18 aturan hukum pidana
tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, seperti ulah sahasa
(tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki istri (perbuatan tidak pantas
terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Beberapa candi yang memuat
adegan kekerasan dapat dilihat di Candi Mendut, Jawa Tengah, bercorak Buddhis.
Pada tangga masuk di sisi
selatan candi peninggalan abad ke-9-10 M itu terdapat relief yang
menggambarkan dua figur, salah satunya memegang gada/parang (?), sedangkan
figur yang satunya memegang alat semacam perisai. Di Jawa Timur, beberapa panel relief
yang menggambarkan kekerasan dapat pula dilihat
pada Candi Surawana (Pare, Kediri), merupakan peninggalan sekitar abad ke-14 M,
bercorak keagamaan Buddhis. Pada bagian kaki candi sisi utara terlihat relief
yang menggambarkan adegan kekerasan/perkelahian, yakni seorang tokoh sedang
memilin kepala seseorang.
Sementara pada Candi Rimbi
di Bareng, Jombang, (peninggalan abad ke-13-14 M), pada bagian kaki candi, di
sisi selatan, terdapat gambar dua pria sedang berkelahi di tengah hutan dengan
menggunakan kain cancut. Fenomena masyarakat Jawa kuno tentang dunia
kekerasan tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Para
penguasa pada masa itu sudah mengindahkan aturan dan nilai-nilai hidup
yang harmonis berupa pandangan hidup berdasarkan kepercayaan/agama.
Aturan-aturan tersebut disosialisasikan dengan cara pembuatan prasasti dan
gambar-gambar pada relief candi yang sarat akan pesan moral dan etika, sebagai
tuntunan hidup manusia.
Walaupun sanksi hukum telah diterapkan begitu
kerasnya, dosen
itu melanjutkan, bahkan desa-desa
dalam wilayah kekuasaan kerajaan tertentu juga harus berperan aktif dalam
menjaga ketertiban, tetapi masih saja sering
terjadi tindak kekerasan. Apalagi jika penegakan hukum tidak diimbangi dengan
disiplin dan dedikasi dari aparatur pemerintah beserta kesadaran seluruh
masyarakatnya, niscaya tindak kekerasan masih sering terjadi di mana-mana,
bahkan secara kualitas dan kuantitas semakin merebak di negeri ini.
Fenomena premanisme bukan hanya di Indonesia. Dosen
itu berhenti sebentar, ia memesan air mineral pada penjual yang berada tak jauh
Dari Kang Juhi. Di Jepang juga ada. Di sana lebih terorganisir. Namanya Yakuza.
Anggota Yakuza |
|
|
Berdiri sekitar 1612,
saat Shogun Tokugawa berkuasa waktu
itu setelah berhasil menyingkirkan shogun-shogun sebelumnya. Peristiwa ini berakibat sekitar 500.000
orang samurai yang sebelumnya disebut hatomo-yakko (pelayan shogun) menjadi
kehilangan majikan.
Yang kemudian disebut sebagai kaum Ronin. Masalah
jadi rumit, karena setelah berhasil menggulung para Ronin,
para anggota Machi-yokko
ini malah meninggalkan profesi awal mereka lalu jadi preman. Para
machi-yokko ini kemudian
memilih profesi sebagai kaum Bakuto (penjudi) dan
Tekiya (pedagang). Namun
istilah Tekiya hanya
sebagai kedok semata. Karena pekerjaan sebenarnya menipu dan memeras. Tekiya punya sistem
kekerabatan kuat. Ada Oyabun (Bos/Bapak) dan Kobun (Bawahan/Anak),
serta Senpai-Kohai (Senior-Junior). Sementara kaum
Bakuto, menandai
diri dengan tattoo pada sekujur tubuh (disebut irezumi) dan
yubitsume (potong jari).
Sama halnya di jepang, di Italia juga ada dan diberi
nama Mafia. Juga dikenal sebagai Cosa Nostra. Adalah persaudaraan pidana yang
muncul pada pertengahan abad ke-19 di Sisilia. Ini
adalah asosiasi longgar kelompok kriminal yang berbagi struktur organisasi umum
dan kode etik. Mereka
memiliki cabang di Amerika Serikat, Kanada dan Australia.
Beberapa pengamat melihat "mafia" sebagai satu set atribut berakar
dalam budaya populer, sebagai "cara menjadi".
"Mafia adalah
kesadaran dari nilai sendiri, konsep berlebihan gaya individu sebagai
satu-satunya wasit setiap konflik, setiap benturan kepentingan atau ide."
Mafia biasanya memberi layanan perlindungan
dari pencurian. Sebab para mafiosi
umumnya dilarang mencuri. Mereka membuat
bisnis untuk mengetahui semua pencuri dan memagari wilayah operasi mereka. Jika
bisnis yang dilindungi dirampok, klan akan mengontak untuk melacak dan
mengembalikan barang curian lalu menghukum
para pencurinya.
Meskipun sebagian besar
Mafia melindungi pedagang dari pencuri, kadang-kadang mereka melindungi pencuri
juga. Mereka melindungi pencuri kecil dari retribusi yang tidak
dapat dipercaya. Lalu
memaksa mereka untuk memberi setoran pada organisasi induk yang telah memberi
perlindungan.
Selain itu ada juga yang namanya Kartel.
Keberadaan Kartel banyak
terdapat di negara-negara Amerika latin. Bertanggung jawab atas
perdagangan kokain, produksi ganja, dan produksi heroin. Kartel Beltran Leyva
mengendalikan banyak jalur perdagangan narkoba, dan terlibat dalam
penyelundupan manusia, pencucian uang, pemerasan, penculikan, pembunuhan dan
perdagangan senjata. Jaringan kartel ini cukup kuat, hingga berhasil
menyusup ke jajaran berbagai instansi pemerintah Meksiko dan bahkan Interpol
Meksiko.
Di daratan Cina, organisasi serupa di sebut
Triad. Triad, adalah
sebuah organisasi kriminal etnis Cina yang berbasis di Hongkong, Macao, Cina
Daratan dan di negara-negara dengan populasi etnis Cina yang
besar seperti Malaysia,
Singapura, Taiwan, Amerika, Inggris dan Kanada. Cara praktek kerjanya sama.
Meski semula bernama Tian Di Hui (Langit, Bumi, dan Manusia).
Didirikan sekitar tahun 1760-an, dengan tujuan menumbangkan kekaisaran Manchu era Dinasti Qing.
Ketika Dinasti Qing tumbang pada 1911, komunitas yang awalnya
bersifat patriotis ini kemudian berubah menjadi tak terarah akibat tidak dilibatkan menikmati
kemajuan Cina. Mereka
menjadi marah dan depresi, yang
akhirnya berkembang menjadi organisasi kriminal
bawah tanah.
Pada 1949, partai Komunis mengambil
alih pemerintah Cina dan menerapkan pengawasan ketat. Mengakibatkan
para anggota Triad menyingkir
ke daerah selatan,
seperti Hongkong. Sekitar tahun 1960 s/d 70-an tersiar kabar bahwa
mereka sering bekerja sama dengan kepolisian dalam mengontrol wilayah kekuasaan
mereka. Hal ini menimbulkan korupsi di tubuh kepolisian. Pada 1974, Komisi
Independen Pemberantas Korupsi (ICAC),
KPK-nya Hongkong, mengatasi masalah ini. Yang berakibat
Triad kehilangan rekan bisnis. Mereka pun beralih
ke perdagangan bawah tanah. Mereka kejam dalam urusan kriminal. Mereka
beroperasi dalam skala yang sangat kecil dan membatasi kekerasan antaranggota
geng. Untuk
menghindari sorotan publik tentunya.
Setelah meneguk air mineral untuk mendorong gorengan
yang mengganjal di tenggorokan, dosen itu kembali bercerita. Budaya
premanisme terjadi
bukan saat ini saja. sudah mengakar sejak zaman
dahulu.
“Lalu apa itu budaya premanisme,” Tanya Kang Juhi
memotong.
“Budaya premanisme merupakan suatu budaya yang
umumnya dilakukan oleh satu individu atau lebih, yang memiliki kekuatan
dan keberanian untuk merampas sebagian hak milik
orang lain secara paksa demi
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Budaya ini identik dengan kekerasan dan
kriminalitas. Karena hal itu tak bisa terlepas dari pribadi seorang preman,” jawabnya.
Ia pun melanjutkan. Di Indonesia, budaya ini terus
berkembang pesat sejak adanya krisis moneter yang memang berpengaruh besar
dalam perekonomian Indonesia. Semenjak krisis ekonomi pada 97 lalu,
budaya premanisme kembali mendapatkan tempat. Terlepas dari adanya dugaan
bahwa gerakan pengerusakan itu di dalangi oleh suatu kelompok terorganisir
bersistem komando. Namun aksi pembakaran gedung-gedung di beberapa kota besar
Indonesia, telah berdampak pada hancurnya sebuah sistem politik dan
perekonomian. Dan memberi tempat yang luang pada tindakan premanisme.
Di era gobalisasi ini, tindakan premanisme berkembang semakin ruwet.
Nyaris pada setiap lini kehidupan. Dari mulai tingkat desa
hingga pusat, tindakan
premanisme bukan hanya ada tapi
semakin merajalela. Seperti
halnya korupsi, premanisme pun setali tiga uang.
Diam-diam Kang Juhi mengamini penjelasan orang itu.
Sebab ia pernah mengalaminya sendiri. Seperti ketika
mengurusi surat lapor diri di kelurahan misalnya, ada saja
para oknum yang terang-terangan meminta uang untuk kelancaran pengurusan.
Sebagai kaum urban yang niatnya mencari nafkah di ibukota ini, Kang Juhi tak
punya kapasitas untuk protes. Meski sebenarnya, telah menjadi kewajiban para
birokrat itu untuk
melayani masyarakat.
Di kepolisian pun sama saja. Pernah suatu ketika Kang
Juhi terkena kasus. Pikulan dagangannya tertabrak sebuah sedan, hingga hancur.
Ia disuruh jangan banyak bicara oleh para polisi muda yang sedang bertugas.
Sementara mereka kemudian melakukan pemerasan terhadap pengendara sedan,
yang notabene adalah orang berduit. Hasilnya, Kang Juhi hanya
mendapat pergantian untuk membeli pikulan baru. Padahal uang yang dibayar si
penabrak sangat besar sekali. Diperkirakan cukup untuk membeli 10 pikulan baru.
Lalu kemana sisanya. Wallahu’alam.
***
Kang Juhi nyaris tertidur ketika sang pembeli
mengakhiri kuliah dadakannya. Ia membayar gorengan, tapi Kang Juhi sempat
mengajukan pertanyaan.
“Terus harus menggunakan cara apa untuk menghadapi
para preman itu?” Orang yang mengaku dosen itu tak jadi pergi. Ia duduk lagi
dan melanjutkan, “Di zaman orde baru, preman di dor. Lalu mayatnya di karungi
dan dibuang di sembarang tempat. Sekarang sebaiknya hal itu tak terulang
kembali. Sebab Undang-undang mengenai premanisme
dan tindakan kekerasan sudah banyak.
Tinggal bagaimana pemerintah menerapkannya.
Di dor bukan cara terbaik. Sebab
akar permasalahan premanisme muncul dari tingkat kemiskinan yang tinggi akibat
peluang kerja susah didapat.
Pembenahan bukan hanya di jalanan. Tapi terutama pada
sistem di tingkat birokrasi. Himbau para birokrat di tingkat kelurahan hingga kementerian,
agar jangan lagi “clamitan” untuk sebuah recehan. Tapi bukan berarti yang
trilyunan boleh diembat. Itu lebih berhaya lagi. Bukan hanya berdampak negatif
terhadap kemajuan sebuah bangsa, juga rusaknya moral sebuah keturunan akibat
dijejali makanan hasil korupsi dan tindajan premanisme halus. Premanisme terjadi karena tingkat daya
beli masyarakat nyaris berada di titik nadir. Ciptakan lapangan kerja
sebanyak-banyaknya, naikan harga jual. Dan ini yang paling penting. Tingkatnya
pendapatan masyarakat dengan menaikan UMP setinggi-tingginya agar daya beli
masyarakat berada pada tingkat paling maksimal. Tapi….., ah sudahlah. Nanti
Bapak malah tambah bingung.” Orang itu menghentikan kuliahnya lalu pergi menuju
mobil yang tengah di parkir. Meninggalkan Kang Juhi yang – siapa pun tak akan
membantah – memang sedang kebingungan.
Apakah bila semua orang memiliki banyak uang dan
pekerjaan, premanisme bisa hilang? Kang Juhi menarik nafas. Angin kembali
bertiup. Semilir.
Yoss Prabu
# Disusun dari berbagai sumber. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.