# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah
kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan
bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu
kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah
ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi
berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal
sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu
diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik
perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #
Hari Ulang Tahun
Tiga hari menjelang ulang tahun kota Jakarta, anak Kang Juhi yang
keempat - baru duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar - muncul di ambang pintu
kamar kontrakan. Bocah lelaki itu diantar seorang tetangga sekampung yang
bekerja sebagai kuli panggul di stasiun kereta, di Jakarta. Kang Juhi kaget,
tapi juga gembira karena dapat bertemu dengan anak keempatnya yang paling
dirindukan selama merantau di Jakarta ini.
Dari cerita si pengantar, anak Kang Juhi kangen sama bapaknya. Dan bukan
hanya itu, anaknya datang ke Jakarta karena ingin merayakan ulang tahunnya yang
ke-10. Penjual gorengan itu ternganga tapi tak lupa mengucap terima kasih
karena tetangganya itu berkenan mengantar anaknya ke ibukota ini.
Karena kedatangan anak terkecilnya itu, otomatis Kang Juhi libur dulu
berjualan. Paling tidak, satu hari-lah. Dengan sedikit uang simpanannya, penjual
gorengan keliling itu berencana akan mengajak anaknya jalan-jalan. Mungkin ke Monas
(monumen nasional), naik ke puncaknya lalu memandangi Jakarta dari ketinggian 132 meter.
Maka akan terlihat betapa mencolok perbedaan yang terpampang dari sana.
Gedung-gedung bertingkat bagai di tancap pada ruang kosong di antara
perkampungan kumuh dengan warna genting merah buram berserakan. Bagai cermin,
perbedaan memang sebuah keharusan. Namun bila perbedaan terlalu mencolok antara
miskin dan kaya. Maka perbedaan yang ini perlu dikupas lebih jauh lagi.
Atau bisa juga ke kebun binatang Ragunan. Beranjangsana pada owa – famili
jauh menurut Eyang Darwin – yang dipastikan sedang rindu karena jarang
ditengok. Di kebun binatang, kembali akan terlihat suatu perbedaan mencolok.
Yang berkunjung akan terlihat keluyuran sambil sesekali melempar makanan ke
dalam kandang. Sementara yang di kandang memandang dingin pada yang lalu-lalang
di luar kandang.
Itu di ragunan. Tapi di tempat lain, ada juga yang bermewah-mewah
padahal sedang dikandangi. Sesekali tertangkap kamera wartawan seolah tak
peduli dan tak tahu malu. Atau ada juga yang bakal dikandangi, tapi tetap
cengengesan sambil melambaikan tangan. Padahal kalau sudah dikandangi, dia akan
terpisah dari para gundiknya yang rata-rata lumayan bahenol. Tapi siapa yang
peduli.
Taman Impian Jaya Ancol. Boleh juga menjadi pilihan lain, sebab anaknya
belum pernah melihat laut. Maklum kampung halaman mereka di daerah pegunungan. “Memandangi
laut, maka akan terasa bahwa kita ini bagai debu yang menempel di permukaan
kulit bola yang bundar. Yang akan berterbangan dengan hanya sekali kibas saja,”
kata Kang Juhi sok tahu pada anaknya. Anaknya tak bereaksi karena masih lelah
akibat menempuh perjalanan jauh.
Tapi rencana seringkali
berubah, karena perencanaan memang untuk dirubah. Anggaran yang dibobok dari
celengan plastik, ternyata tidak mencukupi untuk jalan-jalan. Kalau dipaksakan
akan mengalami defisit. Menaikan harga gorengan memang harus, tapi tidak bisa
sesegera mungkin karena kebutuhan untuk jalan-jalan harus didahulukan.
Kang Juhi sempat mumet
juga. Tapi akhirnya merasa bersyukur karena saat hari H-nya, busway digratiskan. Dalam rangka ulang
tahun Kota Jakarta. Artinya, siapa pun yang mau menunggangi busway dan keliling Jakarta dijamin tak
perlu menggunakan karcis. Kang Juhi gembira meski tidak sampai tertawa. Karena
baru saja mendapat pengumuman pemerintah kalau harga BBM telah naik. Dan
kemungkinan yang sangat mungkin, sebentar lagi ongkos angkot akan naik menyusul
harga bahan pokok yang telah duluan gila-gilaan melambung.
Untuk meredakan hati
rakyat dengan dalih bahwa rakyat miskin menjadi tanggungan negara, pemerintah
akan mengalihkan subsidi langsung pada rakyat dalam bentuk bantuan langsung
sementara masyarakat (BLSM). Rakyat jelata termasuk Kang Juhi, memang selalu
gembira bila menyangkut duit. Dengan BLSM - yang disebut gubernur Jakarta sebagai
"balsem" – tubuh masyarakat akan menjadi sedikit hangat sehingga menjadi
lupa kalau sebentar lagi mereka akan kepusingan akibat peningkatan pengeluaran.
Tapi masyarakat bawah sudah terlalu apatis untuk bereaksi. Keinginan untuk
protes telah dikubur dalam-dalam bersama dengan lumpur lapindo. Kalau pun ada
yang protes dan demo, diduga mereka pendemo bayaran. Mereka dibiayai untuk
tawuran melawan polisi. Biar seru. Sebab kalau demo tak sampai tawuran, itu
bukan demo namanya. Tapi pawai.
Sementara masyarakat
sekelas kang Juhi, tak bisa berbuat lain. Selain menerima dengan lugu program
balsem. Walau ada juga yang jengkel karena merasa pantas menerima namun malah
tak kebagian. Ada juga yang pada saat BLT (bantuan langsung tunai) kebagian,
namun karena sekarang sudah bekerja hingga sudah mendapatkan gaji tetap. Tapi
masih menerima juga itu yang namanya BLSM. Sebaliknya, ada yang dulu mempunyai
penghasilan tetap tapi sekarang pengangguran. Malahan tak kebagian balsem.
Kang Juhi sempat
menggerundel, karena tak memiliki KTP Jakarta maka ia termasuk yang tak
mendapat balsem. “Terlalu banyak memakai balsem juga bisa jadi mummi,” gerutu
Kang Juhi. Anaknya cuma bengong.
Tapi sudahlah. Masalah
memang akan selalu muncul pada setiap persoalan, entah baru mau pun lama. Apalagi
pemerintah memang malas untuk belajar dari pengalaman. Sebab masih menganggap,
pembelajaran yang baik selalu melalui sistem formal. Padahal pengalaman itulah
guru yang sesungguhnya. Yang pastinya, dalam situasi seperti sekarang ini pemerintah
memang cerdas. Rakyat jelata langsung bungkam ketika di depan matanya berkibar
tiga lembar “soekarno-hatta” untuk jangka waktu 2 bulan. Yang sebenarnya bagi
mereka hanya cukup untuk seminggu saja.
Dan situasi semakin
menggemaskan pula ketika partai koalisi yang menentang kenaikan BBM malah
menyetujui pembagian BLSM. Biar dialem rakyat. Dan konstituen tetap bertahan.
oOo
Tiba hari “H”-nya. Sementara
matahari masih belekan, Kang Juhi beserta anaknya dengan gagah sudah berangkat menuju
selter busway. Anaknya terus
berceloteh banyak tanya sementara Bapaknya banyak senyum karena ingin
menyenangkan anak keempatnya itu. Sebelum tiba di selter, mereka terlebih
dahulu melewati kantor kelurahan. Maka sambil tetap menuntun anaknya, kang Juhi
berkata, “Itu kantor kelurahan, kalau di kampung namanya balai desa. Di sanalah
tempat membuat atau memperpanjang kartu tanda penduduk. Atau apa pun yang
berhubungan dengan perizinan. Tapi jangan kaget kalau untuk membuat apalagi
memperpanjang, kau tetap harus keluar biaya. Meski aturan gratis. Minimal
sebungkus rokok untuk petugas yang cengengesan dan berwajah distel manis. Bila
tak memberi, esok atau lusa kau datang lagi, mereka tak akan menggubris.
Tiba di selter, bapak-anak
itu terpaksa antre. Karena antrean panjang meliuk mirip ular. Maklum sedang ada
gratisan. Bagi Kang Juhi, naik busway
gratisan tak perlu tahu tujuan hendak kemana. Yang penting naik saja dulu. Toh maksud
utamanya juga berjalan-jalan keliling ibukota.
Dalam busway mereka tak kebagian tempat duduk. Tapi tak jadi soal, mereka
berdiri gelayutan. Ketika melewati sebuah gedung mirip jamur beratap hijau,
Kang Juhi berbisik pada anaknya. “Itu gedung DPR. Tempat wakil rakyat
bermufakat meski terkadang diselingi adu jotos. Mereka sengaja melakukan itu
karena banyak kamera wartawan yang merekam. Dan sebuah tontotan akan semakin
menarik bila ada adegan action-nya.
Seperti dikebanyakan tayangan sinetron.
“Tapi biarkan saja, toh
tujuan anggota dewan terhormat hingga berbuat seperti itu juga untuk membela kepentingan
rakyat. Membela kita ini. Yang terus berebut saat ada yang gratisan. Kelihatannya,
mau mereka begitu. Tapi sebenarnya rakyat sekarang ini sudah tidak bego lagi. Rakyat
juga tahu, mereka tarik urat sebenarnya hanya untuk membela kepentingan kelompoknya
masing-masing. Jauh dari kepentingan rakyat. Konstituen yang dulu memilih
mereka,” ujar Kang Juhi. Yang membuat anak Kang Juhi yang tadinya banyak tanya
dan bercerita, sekarang malah kembali melongo. Berani taruhan, karena ia tidak mengerti
apa yang dikatakan bapaknya yang belegug.
Ketika melewati kantor
pajak, tadinya Kang Juhi hendak mengajak anaknya turun. Tapi karena di situ tak
ada selter, jadinya urung. Maka cukup dengan bisikan lembut di telinganya, guide dadakan itu kembali bercerita. “Inilah
bangunan, dimana jin sedemikian mudahnya mengeruk duit. Duit rakyat yang
sebenarnya untuk membiayai pembangunan yang dikelola pemerintah. Agar pemerintah
terlihat kuat, gagah dan berwibawa tentunya. Tapi karena uang rakyat itu banyak
yang masuk ke perut pribadi para jin, malahan membuat pemerintah jadi sering
mengalami defisit anggaran. Akhirnya menjadi loyo dan peragu.” Padahal, untuk
menjadi gagah juga bukan berarti harus galak sama rakyat. Main tangkap lalu dihilangkan
dan akhirnya pulang nama. Kang Juhi menambahkan. Anaknya semakin melongo.
Konon, ada orang yang
kegatelan kepingin jadi presiden padahal dulunya tukang menghilangkan orang.
“Ini aneh apa ajaib, Bapak juga gak ngerti,” Kang Juhi mendengus. Anaknya
semakin bergeming. Semakin tak mengerti. Sementara busway pun terus melaju.
Rumahsakit, seharusnya
untuk merawat orang sakit. Kang Juhi melanjutkan ketika melewati sebuah
rumahsakit mewah.
“Kamu lihat itu? Bangunan
itu seharusnya untuk merawat orang sakit,” Kang Juhi memegangi kepala anaknya
agar mengikuti arah yang dimaksudkannya. Lalu ia melanjutkan, apa pun status
sosialnya orang sakit ya harus diobati tanpa harus melihat menggunakan apa ia
datang ke rumahsakit. Tapi di negeri ini, termasuk Jakarta, orang sakit bisa
mati di pintu rumahsakit akibat ditolak untuk berobat. Hanya karena ia rakyat
jelata yang sudah pasti menggunakan KJS. Alias kartu Jakarta sehat. Di Jakarta
ini, banyak rumahsakit yang menelantarkan pasiennya dengan berbagai alasan yang
sulit dimengerti rakyat jelata. Karena mereka hanya bicara dengan nalar, tidak
dengan nurani. Bila mereka mau sejenak saja mengenyampingkan logika lalu bicara
melalui nurani. Tentu mereka tak akan melakukan itu. Tapi sudahlah.
Kang Juhi betul-betul ingin
membahagiakan anaknya. Ia mengajaknya berkeliling Jakarta. Dan anaknya memang
bahagia sehingga tak harus bertanya, “Apakah sebenarnya makna ulang tahun itu
bagi sebuah kehidupan manusia?” Sebab ada yang mengatakan, ulang tahun itu
hanya sebagai tradisi saja. Ya…, sudahlah. Tak perlu dibesar-besarkan.
Yoss
Prabu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.