Rabu, 03 Juli 2013

Hari Ulang Tahun

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Hari Ulang Tahun

Tiga hari menjelang ulang tahun kota Jakarta, anak Kang Juhi yang keempat - baru duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar - muncul di ambang pintu kamar kontrakan. Bocah lelaki itu diantar seorang tetangga sekampung yang bekerja sebagai kuli panggul di stasiun kereta, di Jakarta. Kang Juhi kaget, tapi juga gembira karena dapat bertemu dengan anak keempatnya yang paling dirindukan selama merantau di Jakarta ini.

Dari cerita si pengantar, anak Kang Juhi kangen sama bapaknya. Dan bukan hanya itu, anaknya datang ke Jakarta karena ingin merayakan ulang tahunnya yang ke-10. Penjual gorengan itu ternganga tapi tak lupa mengucap terima kasih karena tetangganya itu berkenan mengantar anaknya ke ibukota ini.

Karena kedatangan anak terkecilnya itu, otomatis Kang Juhi libur dulu berjualan. Paling tidak, satu hari-lah. Dengan sedikit uang simpanannya, penjual gorengan keliling itu berencana akan mengajak anaknya jalan-jalan. Mungkin ke Monas (monumen nasional), naik ke puncaknya lalu memandangi Jakarta dari ketinggian 132 meter.


Maka akan terlihat betapa mencolok perbedaan yang terpampang dari sana. Gedung-gedung bertingkat bagai di tancap pada ruang kosong di antara perkampungan kumuh dengan warna genting merah buram berserakan. Bagai cermin, perbedaan memang sebuah keharusan. Namun bila perbedaan terlalu mencolok antara miskin dan kaya. Maka perbedaan yang ini perlu dikupas lebih jauh lagi.

Atau bisa juga ke kebun binatang Ragunan. Beranjangsana pada owa – famili jauh menurut Eyang Darwin – yang dipastikan sedang rindu karena jarang ditengok. Di kebun binatang, kembali akan terlihat suatu perbedaan mencolok. Yang berkunjung akan terlihat keluyuran sambil sesekali melempar makanan ke dalam kandang. Sementara yang di kandang memandang dingin pada yang lalu-lalang di luar kandang.

Itu di ragunan. Tapi di tempat lain, ada juga yang bermewah-mewah padahal sedang dikandangi. Sesekali tertangkap kamera wartawan seolah tak peduli dan tak tahu malu. Atau ada juga yang bakal dikandangi, tapi tetap cengengesan sambil melambaikan tangan. Padahal kalau sudah dikandangi, dia akan terpisah dari para gundiknya yang rata-rata lumayan bahenol. Tapi siapa yang peduli.

Taman Impian Jaya Ancol. Boleh juga menjadi pilihan lain, sebab anaknya belum pernah melihat laut. Maklum kampung halaman mereka di daerah pegunungan. “Memandangi laut, maka akan terasa bahwa kita ini bagai debu yang menempel di permukaan kulit bola yang bundar. Yang akan berterbangan dengan hanya sekali kibas saja,” kata Kang Juhi sok tahu pada anaknya. Anaknya tak bereaksi karena masih lelah akibat menempuh perjalanan jauh. 

Tapi rencana seringkali berubah, karena perencanaan memang untuk dirubah. Anggaran yang dibobok dari celengan plastik, ternyata tidak mencukupi untuk jalan-jalan. Kalau dipaksakan akan mengalami defisit. Menaikan harga gorengan memang harus, tapi tidak bisa sesegera mungkin karena kebutuhan untuk jalan-jalan harus didahulukan.

Kang Juhi sempat mumet juga. Tapi akhirnya merasa bersyukur karena saat hari H-nya, busway digratiskan. Dalam rangka ulang tahun Kota Jakarta. Artinya, siapa pun yang mau menunggangi busway dan keliling Jakarta dijamin tak perlu menggunakan karcis. Kang Juhi gembira meski tidak sampai tertawa. Karena baru saja mendapat pengumuman pemerintah kalau harga BBM telah naik. Dan kemungkinan yang sangat mungkin, sebentar lagi ongkos angkot akan naik menyusul harga bahan pokok yang telah duluan gila-gilaan melambung.

Untuk meredakan hati rakyat dengan dalih bahwa rakyat miskin menjadi tanggungan negara, pemerintah akan mengalihkan subsidi langsung pada rakyat dalam bentuk bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Rakyat jelata termasuk Kang Juhi, memang selalu gembira bila menyangkut duit. Dengan BLSM - yang disebut gubernur Jakarta sebagai "balsem" – tubuh masyarakat akan menjadi sedikit hangat sehingga menjadi lupa kalau sebentar lagi mereka akan kepusingan akibat peningkatan pengeluaran. Tapi masyarakat bawah sudah terlalu apatis untuk bereaksi. Keinginan untuk protes telah dikubur dalam-dalam bersama dengan lumpur lapindo. Kalau pun ada yang protes dan demo, diduga mereka pendemo bayaran. Mereka dibiayai untuk tawuran melawan polisi. Biar seru. Sebab kalau demo tak sampai tawuran, itu bukan demo namanya. Tapi pawai.

Sementara masyarakat sekelas kang Juhi, tak bisa berbuat lain. Selain menerima dengan lugu program balsem. Walau ada juga yang jengkel karena merasa pantas menerima namun malah tak kebagian. Ada juga yang pada saat BLT (bantuan langsung tunai) kebagian, namun karena sekarang sudah bekerja hingga sudah mendapatkan gaji tetap. Tapi masih menerima juga itu yang namanya BLSM. Sebaliknya, ada yang dulu mempunyai penghasilan tetap tapi sekarang pengangguran. Malahan tak kebagian balsem.

Kang Juhi sempat menggerundel, karena tak memiliki KTP Jakarta maka ia termasuk yang tak mendapat balsem. “Terlalu banyak memakai balsem juga bisa jadi mummi,” gerutu Kang Juhi. Anaknya cuma bengong.

Tapi sudahlah. Masalah memang akan selalu muncul pada setiap persoalan, entah baru mau pun lama. Apalagi pemerintah memang malas untuk belajar dari pengalaman. Sebab masih menganggap, pembelajaran yang baik selalu melalui sistem formal. Padahal pengalaman itulah guru yang sesungguhnya. Yang pastinya, dalam situasi seperti sekarang ini pemerintah memang cerdas. Rakyat jelata langsung bungkam ketika di depan matanya berkibar tiga lembar “soekarno-hatta” untuk jangka waktu 2 bulan. Yang sebenarnya bagi mereka hanya cukup untuk seminggu saja.

Dan situasi semakin menggemaskan pula ketika partai koalisi yang menentang kenaikan BBM malah menyetujui pembagian BLSM. Biar dialem rakyat. Dan konstituen tetap bertahan.

oOo

Tiba hari “H”-nya. Sementara matahari masih belekan, Kang Juhi beserta anaknya dengan gagah sudah berangkat menuju selter busway. Anaknya terus berceloteh banyak tanya sementara Bapaknya banyak senyum karena ingin menyenangkan anak keempatnya itu. Sebelum tiba di selter, mereka terlebih dahulu melewati kantor kelurahan. Maka sambil tetap menuntun anaknya, kang Juhi berkata, “Itu kantor kelurahan, kalau di kampung namanya balai desa. Di sanalah tempat membuat atau memperpanjang kartu tanda penduduk. Atau apa pun yang berhubungan dengan perizinan. Tapi jangan kaget kalau untuk membuat apalagi memperpanjang, kau tetap harus keluar biaya. Meski aturan gratis. Minimal sebungkus rokok untuk petugas yang cengengesan dan berwajah distel manis. Bila tak memberi, esok atau lusa kau datang lagi, mereka tak akan menggubris.

Tiba di selter, bapak-anak itu terpaksa antre. Karena antrean panjang meliuk mirip ular. Maklum sedang ada gratisan. Bagi Kang Juhi, naik busway gratisan tak perlu tahu tujuan hendak kemana. Yang penting naik saja dulu. Toh maksud utamanya juga berjalan-jalan keliling ibukota.

Dalam busway mereka tak kebagian tempat duduk. Tapi tak jadi soal, mereka berdiri gelayutan. Ketika melewati sebuah gedung mirip jamur beratap hijau, Kang Juhi berbisik pada anaknya. “Itu gedung DPR. Tempat wakil rakyat bermufakat meski terkadang diselingi adu jotos. Mereka sengaja melakukan itu karena banyak kamera wartawan yang merekam. Dan sebuah tontotan akan semakin menarik bila ada adegan action-nya. Seperti dikebanyakan tayangan sinetron.  

“Tapi biarkan saja, toh tujuan anggota dewan terhormat hingga berbuat seperti itu juga untuk membela kepentingan rakyat. Membela kita ini. Yang terus berebut saat ada yang gratisan. Kelihatannya, mau mereka begitu. Tapi sebenarnya rakyat sekarang ini sudah tidak bego lagi. Rakyat juga tahu, mereka tarik urat sebenarnya hanya untuk membela kepentingan kelompoknya masing-masing. Jauh dari kepentingan rakyat. Konstituen yang dulu memilih mereka,” ujar Kang Juhi. Yang membuat anak Kang Juhi yang tadinya banyak tanya dan bercerita, sekarang malah kembali melongo. Berani taruhan, karena ia tidak mengerti apa yang dikatakan bapaknya yang belegug.

Ketika melewati kantor pajak, tadinya Kang Juhi hendak mengajak anaknya turun. Tapi karena di situ tak ada selter, jadinya urung. Maka cukup dengan bisikan lembut di telinganya, guide dadakan itu kembali bercerita. “Inilah bangunan, dimana jin sedemikian mudahnya mengeruk duit. Duit rakyat yang sebenarnya untuk membiayai pembangunan yang dikelola pemerintah. Agar pemerintah terlihat kuat, gagah dan berwibawa tentunya. Tapi karena uang rakyat itu banyak yang masuk ke perut pribadi para jin, malahan membuat pemerintah jadi sering mengalami defisit anggaran. Akhirnya menjadi loyo dan peragu.” Padahal, untuk menjadi gagah juga bukan berarti harus galak sama rakyat. Main tangkap lalu dihilangkan dan akhirnya pulang nama. Kang Juhi menambahkan. Anaknya semakin melongo.

Konon, ada orang yang kegatelan kepingin jadi presiden padahal dulunya tukang menghilangkan orang. “Ini aneh apa ajaib, Bapak juga gak ngerti,” Kang Juhi mendengus. Anaknya semakin bergeming. Semakin tak mengerti. Sementara busway pun terus melaju.
Rumahsakit, seharusnya untuk merawat orang sakit. Kang Juhi melanjutkan ketika melewati sebuah rumahsakit mewah.

“Kamu lihat itu? Bangunan itu seharusnya untuk merawat orang sakit,” Kang Juhi memegangi kepala anaknya agar mengikuti arah yang dimaksudkannya. Lalu ia melanjutkan, apa pun status sosialnya orang sakit ya harus diobati tanpa harus melihat menggunakan apa ia datang ke rumahsakit. Tapi di negeri ini, termasuk Jakarta, orang sakit bisa mati di pintu rumahsakit akibat ditolak untuk berobat. Hanya karena ia rakyat jelata yang sudah pasti menggunakan KJS. Alias kartu Jakarta sehat. Di Jakarta ini, banyak rumahsakit yang menelantarkan pasiennya dengan berbagai alasan yang sulit dimengerti rakyat jelata. Karena mereka hanya bicara dengan nalar, tidak dengan nurani. Bila mereka mau sejenak saja mengenyampingkan logika lalu bicara melalui nurani. Tentu mereka tak akan melakukan itu. Tapi sudahlah.      

Kang Juhi betul-betul ingin membahagiakan anaknya. Ia mengajaknya berkeliling Jakarta. Dan anaknya memang bahagia sehingga tak harus bertanya, “Apakah sebenarnya makna ulang tahun itu bagi sebuah kehidupan manusia?” Sebab ada yang mengatakan, ulang tahun itu hanya sebagai tradisi saja. Ya…, sudahlah. Tak perlu dibesar-besarkan.

Yoss Prabu    
       
  
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.

Hilangnya Budaya Saling Support

Hilangnya Budaya Saling Support Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat...