# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal
seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa
berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam
simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah
sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi
mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali
menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya
bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual
gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng. # -admin-
Bahaya Laten Orde Baru
Pada sebuah lapak kakilima dekat terminal
bus, Nampak banyak koran, tabloid dan majalah dijejerkan. Yang
menarik - karena terlihat konyol - pada beberapa cover media
tersebut ada terpampang gambar seseorang. Ia sedang tersenyum, yang konon
kedahsyatan senyumannya itu sempat mendapat julukan Smiling Jenderal.
Kang Juhi menghela napas. Merasa prihatin
terhadap sekelompok manusia yang masih mengidolakan orang itu. Sebab, orang itu
terpuruk nyaris sama dengan pemimpin negara sebelumnya yang pernah ia hinakan.
Yang lebih memprihatinkan lagi, status hukumnya tidak jelas hingga sekarang
ini.
Iseng, Kang Juhi membuka satu media.
Terbaca berita tentang banyaknya spanduk dan kaos yang memasang foto
"smiling jenderal". Ada asumsi tertulis, bahwa fenomena tersebut
menunjukan bahwa para kroni Orde Baru telah merampungkan konsolidasi. Dan
mereka sekarang berani muncul dan tampil sebagai pengagum Soeharto, si Smiling
Jenderal itu tadi. Demikian
tertulis di sana. Tulisan itu juga menjelaskan, para kroni Orde Baru mencoba
memengaruhi masyarakat untuk ikut menjadi pengagum mantan presiden itu.
Bila melihat kondisi
saat ini, dimana masyarakat kecewa dengan kinerja pemerintah dalam menjalankan
amanat reformasi, memungkinkan masyarakat terjebak dalam kebohongan masa lalu.
Dengan iming-iming, "Piye kabare, luwih penak jamanku tho?" Diperkuat
dengan terpampangnya foto salah satu ketua partai yang mendampingi sang foto
sang jenderal bintang lima di sebuah kota, di Jawa Tengah. Kemungkinan
masyarakat dapat terpengaruh, bisa menjadi kenyataan.
Kang Juhi merinding. Ia mendengus dan
bergumam dalam hati, "Apanya yang enak. Reformasi tak akan lahir bila
zaman kegelapan itu dapat benderang bila para pengelolanya tak beronani dalam
rekayasa membabi-buta." Sebab, menurut imajinasi Kang Juhi. Masalah
korupsi saja, bukan marak terjadi hanya sekarang. Kebiasaan rancu itu justru
lahir dan berkembang-biak akibat pemberangusan informasi yang tak boleh
disebarluaskan. Semuanya serba ditutupi melalui jargon, "Emang tak ada
berita lain lagi apa? Pers kan bisa memberitakan tentang hasil pembangunan yang
dapat dinikmati masyarakat. Beritakan saja yang bagus-bagus."
"Mbahmu!" Kang Juhi membatin.
Jengkel. Sebab,
seperti yang yang dia tahu melalui sebuah situs. Bahwa salah satu – dari sekian
banyak hal – penyebab ambruknya rezim Orde Baru, yaitu telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM.
Masalah pelanggaran HAM, wakil gubernur DKI, Basuki Cahaya “Ahok” Purnama
saja telah berani bilang kalau Komnas HAM kurang kerjaan karena telah berani
mengobok-obok kebijakan pemda yang akan menggusur warga di bantaran danau
pluit. Tapi masalah korupsi, siapa pun akan berani berkoar bahwa memberantas
korupsi butuh waktu lama. Karena telah terbina dan menjadi rancu sekian
lamanya.
Kang Juhi juga berani bertaruh dengan jaminan pikulan gorengannya, bahwa
korupsi adalah bagian dari sistem. Sistem yang telah mengakar dan melilit
kehidupan bangsa. Sebab, para birokrat yang masih betah bercokol sekarang ini,
adalah warisan dari sebuah rezim. Yang beranggapan dan berani menjadikannya
sebagai sebuah acuan. Bahwa apa yang dilakukannya adalah benar. Semisal sebuah contoh
ungkapan, “Dari dulu memang sudah begitu.”
“Lah….! Kalau memang salah ya rubah. Bukan dilanjutkan”. Kang Juhi kembali
jengkel. Entah pada siapa.
Kang Juhi juga sempat bertanya. Pada polisi tidur yang berbaring dekat ia
biasa mangkal. “Apakah korupsi akan dapat diatasi bila generasi peninggalan
masa lalu telah tergantikan oleh generasi yang lebih muda. Yang notabene belum
terkontaminasi sistem lama?” Polisi tidur itu cuma diam.
Maka Kang Juhi yang menjawab sendiri, “Tidak. Karena generasi yang lebih
muda pun telah menjadi bagian dari generasi gaek. Sistem menular tanpa perlu
dipaksakan. Ia akan mengalir dengan sendirinya karena begitu mudahnya ditiru
melalui pandangan mata dan mulut bungkam. Yang rewel tak akan kebagian. Bila
perlu diasingkan saja. Pengasingan tak butuh pengusiran. Di-cuekin dalam
setiap permusyawarahan pun, sudah merupakan pembunuhan karakter yang lebih
kejam ketimbang pembuangan ke Pulau Elba atau Boven Digul. Ah…., Juhi!
Contohnya banyak dan terpampang di depan mata. “Kalau Anda kena masalah dan
terseret ke Polsek, maka hal pertama yang ditanyakan adalah, ‘Bagaimana Pak,
uangnya sudah disiapkan?’” Atau contoh lain, bila Anda mengurus surat-surat ke
berbagai instansi pemerintahan – dari mulai tingkat kelurahan hingga kementerian
– tanpa sesuatu sebagai pelicin. Maka bersiaplah menjadi orang culun yang
ditenismejakan (baca: ping-pong) oleh personil birokrat. Yang rata-rata masih
muda.
Jadi, mana sebenarnya yang lebih enak. Zamannya Pak Smiling
Jenderal atau zaman reformasi yang kebablasan? Tidak keduanya. Dengan
kata lain, zaman ini hanya melanjutkan metode yang telah mengakar dari sebuah
zaman “jahiliah” Orde Baru.
Namun dalam hati kecil Kang Juhi juga masih terselip rasa optimisme yang
kuat, semua kebrengsekan itu pada akhirnya akan lenyap dengan sendirinya. Walau
entah kapan. Mungkin ketika anak cucunya kelak beranjak dewasa. Mudah-mudahan.
Yang perlu diwaspadai oleh semua pihak, yang menginginkan bangsa ini
menjadi lebih baik – Kang Juhi melihat tulisan di sebuah media – kembalinya
para kroni yang masih kegatelan ingin berkuasa.
Kang Juhi menyelesaikan lamunannya karena beberapa gorengannya terlihat
hangus.
Yoss Prabu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.