Langkah Panjang The Smiling Jenderal
Soeharto lahir di Kemusuk,
Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL.
Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan peleton, kemudian kompi di dalam
militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA (Pembela
Tanah Air).
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok dengan Belanda yang
sedang berupaya mendirikan kembali kolonialisme di Indonesia. Soeharto dikenal
luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya yang menguasai Yogyakarta pada
1 Maret 1949, hanya dalam waktu enam jam.
Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai simbol perjuangan rakyat
Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas sebenarnya serangan ini adalah
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja Yogyakarta, Gubernur Militer serta
Menteri Pertahanan.
Tahun berikutnya dia bekerja
sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat
kasus penyelundupan dan kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh
Kolonel Ahmad Yani. Namun atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia
dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD)
di Bandung, Jawa Barat. Sebelumnya Letkol.
Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di Makassar, di bawah
komando Kolonel Alex Kawilarang.
Mencapai pangkat Brigadir
Jendral pada 1961, Soeharto memimpin Komando Mandala yang bertugas merebut Irian Barat (sekarang Papua). Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik
pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI (sekarang TNI) oleh Jenderal A.H. Nasution. Pertengahan 1962,
Soeharto lalu diangkat sebagai Panglima
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Pada 1965, Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat mengalami konflik
internal, terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan Sukarno pada saat
itu, sehingga pecah menjadi dua faksi, sayap kiri dan sayap kanan. Soeharto berada
di pihak sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh Soeharto dari operasi
militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut Sudomo, Mayor Ali Murtopo,
Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat sebagai orang-orang terpenting dan
strategis di tubuh pemerintahannya kelak.
Pagi hari 1 Oktober 1965,
beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel
Untung Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral.
Pada peristiwa itu Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri
Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos.
Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah
Mayor Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini
terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa
sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa
mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang
direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada “Hari
ABRI”, 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan
Jenderal.
Peristiwa ini segera
ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi
resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa
Letjen Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat tidak diketahui
keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di
Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka
Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan
turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat
kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai
Komunis Indonesia (PKI) sekali pun sempat ditentang Presiden Soekarno,
penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30
September).
Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai
langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan
pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di
mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar
Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno
untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur
komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di
Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu “tersangka
komunis”, kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa
Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan komunis.
Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah menulis
daftar “operasi komunis” Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama
kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di
Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: “Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi
Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan
memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di
mana anda harus memukul keras pada saat yang tepat.” Howard Fenderspiel, ahli
Indonesia di State Department’s Bureau of Intelligence and Research di 1965:
“Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai.
Tidak ada yang bekerja tentangnya.”
Jendral Soeharto akhirnya
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia setelah pertanggungjawaban
Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada tahun 1967, kemudian mendirikan
apa yang disebut Orde Baru.
Beberapa pengamat politik
baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan
parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia
juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok dan
menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua
keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan
meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen –
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi
Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan
massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam
kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut “musuh negara”
dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka
komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak
nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang
tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto
tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir
1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar,
Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga
pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto
mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New
York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah “orang seperti kita” atau “orang
golongan kita”.
Pada 12 Maret 1967 Soeharto
diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun
kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa
jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR.
Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh
pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia
benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian meminta
nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai “mafia
Berkeley”. Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan
inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta
mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka
tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar
artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik,
Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk
masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan
partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian. Soeharto
membangun dan memperluas konsep “Jalan Tengah”-nya Jenderal Nasution menjadi
konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk
memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan
alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran
dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo
dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali
Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun
segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh
Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa
Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk
mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk
mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras
oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak
kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme
kontrol dekanat dan rektorat. Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok
Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan
mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus
memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan
pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari
wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun
1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan
tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50,
mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde
Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta
menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal
mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai
kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.
Pada masa pemerintahannya,
Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan
pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya
bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis.
Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika
Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di
dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan
Keuangan Indonesia.
Pada masanya, Indonesia
mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor
(negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah
Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia
karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya
dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh
lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat
bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada di bawah PBB seperti
UNICEF, UNESCO dan WHO.
Namun sayangnya, kegagalan
manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect
(menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada
segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan
keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor
Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat
Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu
ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian
kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga
Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri
Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Taiwan
dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden
Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu
dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan
Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya
menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik
masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada
jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian
dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan
politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam
kehidupan politik di mana muncullah istilah “mayoritas tunggal” di mana GOLKAR
dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap
penyelenggaraan PEMILU.
Berbagai ketidakpuasan
muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya
taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi,
muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam
pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang
tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat
muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan
politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Presiden Soeharto dinilai
memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa
tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena
tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat
persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri
Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang
protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi
menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan
kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik. Dia
memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada
saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi
berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok
nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan
jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan “electoral college”. dan juga
terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU
Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan,
termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada
diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara
partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis
digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan
persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan
pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah
Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan
di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas
tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian
pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut
berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi
Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999
Soeharto dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen pada tahun
1998.
Korupsi menjadi beban berat
pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini
terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media
Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah
pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai,
beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia
Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB
membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap
pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS
Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha
menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung
Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan
menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa
Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai “Peristiwa Kudatuli” (Kerusuhan Dua Tujuh
Juli).
Pada 1997, menurut Bank
Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama
bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun yang sama tidak membawa hal
bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta
pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan
untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003,
terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih
kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa
demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada
pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei
1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang
berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan
termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor
berakhirnya era Soeharto.
Pada 1997, menurut Bank Dunia,
20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama
bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun yang sama tidak membawa hal
bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta
pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan
untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003,
terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih
kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa
demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada
pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei
1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini
merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Pada 1997, menurut Bank
Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan
selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun yang sama tidak membawa hal
bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta
pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan
untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama
pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh
parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi,
kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung
DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk
menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang
berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan
termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor
berakhirnya era Soeharto.
Soeharto memiliki dan
mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan
Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya
Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong
Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk
menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Soeharto |
Hasil penyidikan kasus
tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini
berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung,
sejak tahun 1999.
Menurut Transparency
International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan
pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35
miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.
Pada 12 Mei 2006,
bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman
Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan
Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya
menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh
yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang
tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia
selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak mempengaruhi sejarah
Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan
dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang
pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27
(saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin
(Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente/partai yang berhaluan
sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka. Hal ini telah
mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah
penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang
menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini
dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan
berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan
hidup.
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah
penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan
setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk
menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai
masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.
Soeharto Wafat
Presiden RI Kedua HM
Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar
yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu
meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27
Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto
pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di
Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan
menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB
Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Kemudian sekitar pukul
14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman
di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak
Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah
wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju
Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung
dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang
membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan
Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang
tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan
mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta,
Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya
mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00
WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih
dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden
Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28
Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya
jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00
WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1).
oOo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.