Sabtu, 04 Januari 2025

Antara Harapan dan Realitas

Pengantar Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. * Kang Juhi Bermonolog Antara Harapan dan Realitas Yoss Prabu (Lampu redup di kamar kontrakan, Kang Juhi duduk bersila di lantai dengan secangkir teh manis yang masih mengepul. Di hadapannya, baskom penuh noda minyak terlihat seperti penonton setia). Kang Juhi: "Hari ini habis lagi, ya. Kaya gorengan yang ludes sebelum malam datang. Cepat benar waktu berlalu, tapi rasa capeknya selalu tinggal lebih lama. Harapan? Harapan itu mirip adonan gorengan, Baskom. Kita campur ini-itu, kasih bumbu, terus kita bentuk sebaik-baiknya. Tapi begitu masuk minyak panas? Mana bisa kita atur bakal matang sempurna atau gosong di pinggirannya. Kadang, malah yang niatnya bikin tahu isi, jadinya cuma tahu kosong. Tapi anehnya, aku nggak pernah berhenti bikin adonan itu. Harapan itu ngotot, ya? Tapi realitas, dia beda cerita. Dia itu seperti minyak jelantah. Lengket, bau, penuh ampas. Bukan malah tidak berguna, tapi membuat kita susah bernapas. Realitas adalah saat ibu-ibu menawar gorengan sampai harga modal, tapi pulangnya naik mobil bagus. Realitas adalah saat aku diusir dari trotoar oleh mereka yang pakai dasi, padahal mereka sendiri nggak tahu rasanya makan nasi tanpa lauk karena duit habis buat bayar sewa. (Ada jeda. Kang Juhi menghela napas, menyesap teh, matanya menatap ke langit-langit yang kusam). Kadang aku berpikir, Baskom, kenapa aku tidak lari saja? Balik ke kampung. Tapi di sana aku cuma bakal jadi buruh tani, kerja di ladang orang yang juga tidak pernah cukup untuk makan sendiri. Apalagi keluarga. Di sini, aku punya gerobak. Atau, ya, aku dulu punya gerobak. Sekarang cuma sisa tapak rodanya di jalan. Tapi paling tidak, di sini aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri, walaupun cuma buat nyari tepung sama minyak murah. Apa aku bodoh, Baskom? Menggantung harapan setinggi itu di dunia yang nyata-nyata tidak peduli sama orang kecil macam aku? Tapi, gimana lagi? Kalau aku berhenti berharap, aku cuma jadi tempe kedaluwarsa. Ada, tapi tidak ada gunanya. (Ada keheningan lagi. Kali ini lebih lama. Kang Juhi menatap cangkir tehnya, seolah mencari jawaban di dalamnya). Aku tahu, hidup ini tidak adil. Tapi kalau aku tidak adil ke diriku sendiri, kalau aku berhenti mencoba, berhenti berharap, apa yang tersisa dari aku? Cuma nama, Kang Juhi, pedagang gorengan, yang bakal dilupakan lebih cepat dari orang lupa rasa gorengan yang dimakan buru-buru. Jadi, Baskom, selama aku masih bisa menyalakan kompor besok pagi, selama aku masih punya tangan untuk mengaduk adonan, aku bakal terus membuat harapan itu. Biarkan saja realitas jadi minyak panasnya. Sementara aku bakal terus mencoba memberi rasa pada dunia ini, meskipun cuma dari bakwan goreng. (Akhirnya, Kang Juhi tersenyum kecil. Matanya berat, tapi dalam senyumnya ada keteguhan yang sederhana. Ia bangkit, mematikan lampu, dan membiarkan malam menelan dirinya). Esok hari, gorengan baru, harapan baru. Dan realitas? Ah, biar saja dia datang belakangan. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.

Hilangnya Budaya Saling Support

Hilangnya Budaya Saling Support Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat...