Jumat, 28 Juni 2013

Nenek Berburu BLSM

Akibat tak mendapat kartu perlindungan sosial (KPS), seorang nenek berkelana ke berbagai instansi untuk mendapatkan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Untuk modal dagang.

Nenek Saani di Balaikota DKI-foto: Kompas.com
Menggunakan daster coklat dan berjibab hitam, Saani (65) yang hidup sendirian jauh dari anak-anaknya, “blusukan” ke berbagai instansi untuk mendapat dana BLSM. Hingga akhirnya ia terdampar di Balaikota (27/6/2013) dan harus rela pulang dengan tangan hampa.


Awalnya, Saani menanyakan kepada seseorang di Kelurahan Angke-Jakarta Barat, dan diarahkan ke Kantor Walikota Jakarta Barat. Namun dari sana, Saani dianjurkan oleh petugas satpam untuk mendatangi Kantor BNP2P di Kebun Sirih-Jakpus.

Namun karena tak tahu Kantor BNP2P itu apa hingga akhirnya ia terdampar di Balaikota DKI Jakarta.
"Saya nyampe di sini, istilah kasarnya pengen itu, pengen duit BLSM, buat modal dagang," imbuh Saani di Balaikota DKI Jakarta, seperti dikutip sebuah situs online.  

Namun, usahannya mendapat BLSM gagal. Karena Saani tidak memiliki kartu perlindungan sosial (KPS) sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan BLSM. Saani juga tidak tahu apa itu KPS.


Untuk modal dagang

Meski tidak memiliki KPS, ia tetap berkeinginan bisa mendapatkan uang BLSM untuk modal membuka usaha dagang kecil-kecilan. Namun, ia tidak tahu kapan bisa mewujudkannya. "Sayapengen jual daging sosis panggang. (Tapi) kudu mesti beli alatnya dulu, nyari modalnya pake duit itu (BLSM)," ujarnya. 

Selama ini, untuk menyambung hidup, Saani mengaku "menyambi" menjadi tukang pijat di kontrakannya. Pekerjaannya dahulu sebagai pedagang kue cucur dan pastel sudah dia tinggalkan. "Dulu bangunnya (buat jualan cucur dan pastel) jam lima pagi, tapi sekarang udah enggak kuat," paparnya. 

Dari lima anaknya, empat di antaranya terpencar di luar Jakarta. Ada yang di Bengkulu, Jawa, Cirebon, dan Purwokerto. Hanya satu anaknya yang kini berada di Muara Angke, Jakarta Utara. Namun, Saani memilih untuk hidup sendiri tanpa kehadiran anak-anaknya di dekatnya. 

"Takut ribut (sama anak), saya tinggal sendiri aja. Biar begini, saya mah masih bisa nyari duit sendiri," ujar Saani lirih. Dari mimik wajahnya saat bercerita soal anaknya, ada ekspresi kesedihan di setiap ucapannya. Mulutnya pun sesekali gemetar. 

KPS
Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah kartu yang diterbitkan oleh Pemerintah sebagai penanda Rumah Tangga Miskin. KPS memuat informasi Nama Kepala Rumah Tangga, Nama Pasangan Kepala Rumah Tangga, Nama Anggota Rumah Tangga Lain, Alamat Rumah Tangga, Nomor Kartu Keluarga, dilengkapi dengan kode batang (barcode) beserta nomor identitas KPS yang unik. Bagian depan bertuliskan Kartu Perlindungan Sosial dengan logo Garuda, dan masa berlaku kartu.

Sebagai penanda Rumah Tangga Miskin, Kartu Perlindungan Sosial ini berguna untuk mendapatkan manfaat dari Program Subsidi Beras untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah atau dikenal dengan Program RASKIN.

Pemerintah mengeluarkan Kartu Perlindungan Sosial ini kepada 15,5 juta Rumah Tangga Miskin dan rentan yang merupakan 25% Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah di Indonesia. Kartu Perlindungan Sosial dikirimkan langsung ke alamat Rumah Tangga Sasaran (RTS) oleh PT Pos Indonesia.

Namun bila melihat apa yang terjadi dengan Nenek Saani, banyak KPS mau pun BLSM  mengalami tidak tepat sasaran. Sehingga banyak rakyat miskin tidak kebagian. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu bisa terjadi. Kemungkinannya, pemerintah menggunakan data penerima BLT (bantuan langsung tunai) yang merupakan saudara tua dari BLSM, yang telah berjalan terlebih dahulu.

Jangka waktu antara BLT ke BLSM yang cukup lama, memungkinkan banyak perubahan terjadi. Salah satunya, Saani itu tadi. Saat BLT dikucurkan, ia tidak mendapatkannya karena kemungkinan waktu itu ia dianggap mampu dan mendapat penghasilan tetap setiap bulannya. Namun seiring perkembangan waktu, perubahan pun terjadi pada Saani. Ia kini hidup sendiri, tak berpenghasilan, berbeda dengan beberapa waktu lalu.

Dari berbagai kasus, peristiwa sebaliknya juga terjadi di berbagai wilayah di negeri ini. Kita ambil contoh, Suhono (50) satu kepala keluarga yang bermukim di wilayah Duri Kosambi, Cengkareng-Jakarta Barat. Ketika BLT digulir, keluarga itu dalam keadaan ekonomi morat-marit. Hingga layak mendapatkan BLT. Namun seiring perkembangan, kini keluarga Suhono telah mengalami perubahan signifikan ke arah yang lebih baik. Hingga tak pantas lagi mendapat BLSM. Namun kenyataannya keluarga itu masih mendapat jatah BLSM.
Apakah pemerintah malas mendata ulang keluarga miskin. Bisa jadi.


Yoss Prabu          


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.

Hilangnya Budaya Saling Support

Hilangnya Budaya Saling Support Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat...