Akibat tak mendapat kartu perlindungan sosial
(KPS), seorang nenek berkelana ke berbagai instansi untuk mendapatkan bantuan
langsung sementara masyarakat (BLSM). Untuk modal dagang.
Nenek Saani di Balaikota DKI-foto: Kompas.com |
Menggunakan daster coklat dan berjibab
hitam, Saani (65) yang hidup sendirian jauh dari anak-anaknya, “blusukan” ke
berbagai instansi untuk mendapat dana BLSM. Hingga akhirnya ia terdampar di
Balaikota (27/6/2013) dan harus rela pulang dengan tangan hampa.
Awalnya, Saani menanyakan kepada seseorang di Kelurahan Angke-Jakarta Barat, dan diarahkan ke Kantor Walikota Jakarta
Barat. Namun dari sana, Saani dianjurkan oleh petugas satpam untuk mendatangi
Kantor BNP2P di Kebun Sirih-Jakpus.
Namun karena tak tahu Kantor BNP2P itu apa
hingga akhirnya ia terdampar di Balaikota DKI Jakarta.
"Saya nyampe di sini, istilah kasarnya pengen itu, pengen duit BLSM, buat modal dagang," imbuh Saani di Balaikota DKI
Jakarta, seperti dikutip sebuah situs online.
Namun, usahannya mendapat BLSM gagal. Karena Saani tidak memiliki
kartu perlindungan sosial (KPS) sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan BLSM. Saani juga tidak tahu apa itu
KPS.
Untuk modal dagang
Meski tidak memiliki KPS, ia tetap berkeinginan bisa mendapatkan
uang BLSM untuk modal membuka usaha dagang kecil-kecilan. Namun, ia tidak tahu
kapan bisa mewujudkannya. "Sayapengen jual
daging sosis panggang. (Tapi) kudu mesti beli alatnya dulu, nyari modalnya pake duit itu (BLSM)," ujarnya.
Selama ini, untuk menyambung hidup, Saani mengaku
"menyambi" menjadi tukang pijat di kontrakannya. Pekerjaannya dahulu
sebagai pedagang kue cucur dan pastel sudah dia tinggalkan. "Dulu
bangunnya (buat jualan cucur dan pastel) jam lima pagi, tapi sekarang udah enggak
kuat," paparnya.
Dari lima anaknya, empat di antaranya terpencar di luar Jakarta.
Ada yang di Bengkulu, Jawa, Cirebon, dan Purwokerto. Hanya satu anaknya yang
kini berada di Muara Angke, Jakarta Utara. Namun, Saani memilih untuk hidup
sendiri tanpa kehadiran anak-anaknya di dekatnya.
"Takut ribut (sama anak), saya tinggal sendiri aja. Biar
begini, saya mah masih bisa nyari duit sendiri," ujar Saani
lirih. Dari mimik wajahnya saat bercerita soal anaknya, ada ekspresi kesedihan
di setiap ucapannya. Mulutnya pun sesekali gemetar.
KPS
Kartu
Perlindungan Sosial (KPS) adalah kartu yang diterbitkan oleh Pemerintah sebagai
penanda Rumah Tangga Miskin. KPS memuat informasi Nama Kepala Rumah Tangga,
Nama Pasangan Kepala Rumah Tangga, Nama Anggota Rumah Tangga Lain, Alamat Rumah
Tangga, Nomor Kartu Keluarga, dilengkapi dengan kode batang (barcode) beserta
nomor identitas KPS yang unik. Bagian depan bertuliskan Kartu Perlindungan
Sosial dengan logo Garuda, dan masa berlaku kartu.
Sebagai penanda Rumah Tangga Miskin, Kartu Perlindungan Sosial ini berguna
untuk mendapatkan manfaat dari Program Subsidi Beras untuk masyarakat yang
berpenghasilan rendah atau dikenal dengan Program RASKIN.
Pemerintah mengeluarkan Kartu Perlindungan Sosial ini kepada 15,5 juta
Rumah Tangga Miskin dan rentan yang merupakan 25% Rumah Tangga dengan status
sosial ekonomi terendah di Indonesia. Kartu Perlindungan Sosial
dikirimkan langsung ke alamat Rumah Tangga Sasaran (RTS) oleh PT Pos Indonesia.
Namun bila melihat apa yang
terjadi dengan Nenek Saani, banyak KPS mau pun BLSM mengalami tidak tepat sasaran. Sehingga banyak
rakyat miskin tidak kebagian. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu bisa
terjadi. Kemungkinannya, pemerintah menggunakan data penerima BLT (bantuan
langsung tunai) yang merupakan saudara tua dari BLSM, yang telah berjalan
terlebih dahulu.
Jangka waktu antara BLT ke
BLSM yang cukup lama, memungkinkan banyak perubahan terjadi. Salah satunya,
Saani itu tadi. Saat BLT dikucurkan, ia tidak mendapatkannya karena kemungkinan
waktu itu ia dianggap mampu dan mendapat penghasilan tetap setiap bulannya.
Namun seiring perkembangan waktu, perubahan pun terjadi pada Saani. Ia kini
hidup sendiri, tak berpenghasilan, berbeda dengan beberapa waktu lalu.
Dari berbagai kasus,
peristiwa sebaliknya juga terjadi di berbagai wilayah di negeri ini. Kita ambil
contoh, Suhono (50) satu kepala keluarga yang bermukim di wilayah Duri Kosambi,
Cengkareng-Jakarta Barat. Ketika BLT digulir, keluarga itu dalam keadaan
ekonomi morat-marit. Hingga layak mendapatkan BLT. Namun seiring perkembangan,
kini keluarga Suhono telah mengalami perubahan signifikan ke arah yang lebih
baik. Hingga tak pantas lagi mendapat BLSM. Namun kenyataannya keluarga itu
masih mendapat jatah BLSM.
Apakah pemerintah malas
mendata ulang keluarga miskin. Bisa jadi.
Yoss
Prabu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.