Ini cerpen. Silahkan dicicipi.
Imah..........
Oleh: Yoss
Prabu
Puncak, Bogor.
Tengah malam. Dingin menusuk tulang. Halimun mengambang membatasi jarak
pandang.
Jalan raya
hanya dilewati satu dua kendaraan bermotor. Sepi. Malam ini bukan malam di mana
orang-orang menghabiskan liburan akhir pekannya. Akan berbeda sekali dengan apa
yang terjadi bila pada malam-malam akhir pekan. Andai saja tak ada kendaraan
lewat, maka kesunyian kian terasa melingkupi daerah itu. Warung-warung kaki
lima yang berjejer di tepian jalan raya, sepi pengunjung. Hanya beberapa saja
yang dikunjungi pasangan muda-mudi, berbisik-bisik diantara pemilik warung yang
menungguinya dengan terkantuk-kantuk.
Har menaikkan
krah jaketnya dan menarik resluiting rapat-rapat untuk mengurangi sengatan
dingin. Pikirannya sedang gundah. Sore tadi, ia baru saja mendamprat
habis-habisan anak gadis tunggalnya yang masih duduk di bangku sekolah menengah
atas. Pasalnya, anak bungsu yang selama ini selalu ia perlakukan bagai bayi
kecil nan rapuh itu kedapatan pulang dalam keadaan mabuk. Masuk rumah sambil
cekikikan dengan seorang pemuda sebayanya.
Sebagai seorang
eksekutif sebuah bank swasta dengan segala macam kesibukannya, Har jarang
pulang ke rumah. Ia selalu menginap di hotel. Hanya tadi ada sesuatu yang harus
dia ambil maka ia pulang sebentar. Dan anak gadisnya tak menyangka itu. Baru
setengah jam Har mengaduk-aduk ruang kerja untuk mencari arsip-arsip yang dia
perlukan, anak gadisnya pulang dengan mulut semerbak alkohol. Akibatnya, Har
berang bukan main. Ia memarahi bayi kesayangannya, menempeleng sekali,
menyuruhnya naik ke kamar atas. Lalu mengusir kasar si pemuda krempeng yang
terbirit-birit melarikan diri. Terjatuh sekali di pintu gerbang, selanjutnya
ngacir dengan motor bebeknya.
Semenjak
isterinya meninggal lima tahun lalu, Har merasa seluruh tanggung jawab keluarga
berada di tangannya. Sementara posisi eksekutifnya di kantor menuntut sebuah
tanggung jawab besar, terkadang membawa pengaruh buruk pada egonya. Persoalan
di kantor menjadi campur-aduk dengan di rumah. Semua penghuni rumah lebih
sering dianggap bawahannya termasuk anak-anaknya sendiri. Jangan tanya soal
pembantu, paling lama bertahan hanya dua atau tiga bulan saja. Bahkan para
isteri kedua anak lelakinya, yang semula menetap seatap, memilih ngacir lalu
mengontrak rumah sepetak di pinggiran kota.
Fikri dan Bagas
memang telah berkeluarga, mereka telah menamatkan studinya masing-masing di
luar negeri sebelum ibunya meninggal. Lalu menikahi gadis pilihannya
masing-masing dan menetap bersama di perumahan “Mertua Indah”. Namun menghadapi
sikap Har yang lebih sering otoriter, para menantu itupun satu persatu undur
diri dan memilih ngontrak rumah di perkampungan kumuh.
“Terserah apa
mau kalian, saya hanya ingin yang terbaik bagi keluarga ini,” demikian Har pada
suatu ketika. Namun yang terbaik bagi Har, ternyata perlu direnungkan ulang
bagi para menantunya. Di rumah besar milik Har, mereka tak usah lagi berpikir
tentang uang belanja. Har sudah mengaturnya. Uang hasil kerja anak-anaknya
dianjurkan untuk ditabung. Soal keperluan makan dan biaya sekolah anak-anak
tinggal lapor mertua, dijamin beres. Tetapi Har lupa, sebagai manusia mereka
juga merasa punya hak privacy. Dimana, ada hal-hal tertentu yang Har tidak
boleh tahu. Tidak perlu mencampuri. Dan celakanya Har selalu ingin mencampuri
segala macam hal, akibatnya ya, itu tadi. Pemberontakan kecil-kecilan pun mulai
meletup. Pertama Bagas memboyong anak isterinya untuk hidup terpisah dengan
alasan ingin mandiri. Hanya berselang dua bulan, Fikri pun menyusul. Alasannya,
hanya mengamini sikap kakaknya. Tinggal Har dan Novi, anak bungsunya yang
perempuan.
Mungkin karena waktu itu masih SMP, ia tak banyak ulah. Nunut saja
apa kata ayahnya.
Namun seiring
perjalanan waktu, sikap si bungsu pun mulai berubah. Yang Har tak sadari,
ternyata Novi memiliki watak yang sama dengan dirinya. Sama-sama kepala batu.
Sikap menurutnya selama ini hanya mengendapkan rasa perlawanan yang semakin
lama semakin membesar. Di depan Har, Novi terlihat bagai gadis rapuh yang
selalu butuh perlindungan. Akibatnya, apapun yang diinginkan Novi selalu
dikabulkan tanpa harus diminta dua kali.
Dan Har baru
tadi menyadari kekeliruannya selama ini. Bayi kecil yang selama ini selalu
manja di pangkuannya, ternyata bisa juga mabuk berat hingga harus menggelendoti
pundak seorang pemuda ceking yang diakui Novi sebagai pacarnya.
Har menatap
jauh menembus kabut, menerobos rimbunan daun teh, melingkar di lereng bukit
lalu menukik menghujam jurang nan curam. Ia tarik napas dalam-dalam, dijejali
paru-parunya dengan oksigen lembab pegunungan. Kepalanya terasa agak ringan,
pikiran pun mulai jernih. Sejernih sayup alunan irama jaipongan dari radio
pemilik warung.
“Sendirian
Oom?” tiba-tiba ada alunan jernih lain yang menyelusup ke telinganya. Har
tersentak. Menoleh. Seorang perempuan manis sebaya Novi menegurnya dengan
genit. Kegenitan yang terlihat agak dipaksakan.
Har terhenyak
dari lamunannya. Gelagapan, hingga belum tahu harus menjawab apa. Setengah
kesadarannya masih mengambang di antara halimun. Dari dua jam lalu ia memang
mematung sendirian di tepian jurang yang dipenuhi tumbuhan teh.
“Boleh
ditemani? Sepertinya Oom perlu teman,” serasa ada nada paksaan agar Har tak
menolak tawarannya. Asap rokok filter bercampur kabut terhembus dari bibirnya
manakala ia berkata-kata. Har masih terpaku, berpikir menentukan sikap.
Melayani perempuan yang belum dikenalnya atau biarkan semua mengalir, lalu
biarkan waktu yang akan menentukan. Perempuan itu kembali menghisap rokoknya.
Dari caranya menghisap lalu menjepit rokok di sela-sela jari nan lentik, Har
sadar kalau perempuan ini tidak pernah merokok sepanjang hidupnya. Rokok yang
terselip di bibir merekah itu lebih mirip benda asing yang tiba-tiba muncul
begitu saja.
“Oh….., tentu,”
meluncur juga perkataan dari bibir Har.
Perempuan itu melangkah
ke tepian jurang, memandangi perkebunan teh lalu kembali menoleh ke arah Har.
“Apa yang sejak
tadi Oom perhatikan,” ia tersenyum. Har diam. Perempuan itu akhirnya tersadar
bahwa pertanyaan barusan tak semestinya ia dilontarkan. Seseorang yang mematung
hingga ratusan menit dengan tak peduli pada lingkungan sekitar, tentunya tengah
dilanda gejolak batin.
Walau
berpenampilan sederhana gadis itu cukup manis di mata Har. Berhidung bangir
dengan rambut terurai hingga ke bahu. Posturnya sedikit pendek dibanding Novi,
mungkin sekitar seratus enam puluh duaan meter. Kulitnya agak gelap, hitam
manis. Har menduga pastinya wanita ini sejenis wanita malam yang tengah mencari
mangsa. Namun bila menilik dari parasnya, Har tak menolak untuk dimangsa.
Ditelan hidup-hidup pun dia mau.
“Di sini dingin
sekali ya Oom, bagaimana kalau kita ngobrol-ngobrol di mobil. Mobil Oom yang
itu kan?” Suaranya lembut, selembut angin yang mengibas rambut nan terurai itu.
Namun di kuping Har terasa ada getaran aneh saat gadis itu berkata-kata, yang
memang baru terdengar beberapa patah saja. Andai wanita ini berprofesi seperti
yang dipikirkan Har, tentunya wanita ini belum profesional. Atau hanya sekedar
iseng saja untuk menjauhi kepenatan keluarga. Sama seperti Har.
“Boleh. Ya,
yang itu,” Har menunjuk pada BMW keluaran terakhir.
“Oom gak bawa
supir kan, nyetir sendiri.”
Har kembali
memperhatikan wajah manis itu. Dalam hatinya ia menggerutu, sejak kapan gadis
ini memperhatikannya hingga tahu kalau ia memang sendirian. Namun yang keluar
dari mulutnya malahan, “Supirku sedang pulang kampung menjenguk isterinya yang
baru melahirkan anak pertamanya, katanya sih kembar.”
Si Gadis
tersenyum, ia tahu kalau si Oom ini agak kikuk, sekikuk dirinya. Tetapi ia
sendiri tak perlu jawaban seperti itu. Apa pedulinya. Baginya uang si Oom lebih
bernilai ketimbang basa-basi membosankan.
Har yang tengah
dilanda gundah namun kesepian itu, rupanya memang sangat perlu teman untuk
curhat. Dan perempuan sederhana ini langsung memikat hatinya tanpa ada keinginan
untuk menolak. Sudah lama ia nyaris tak pernah ngobrol-ngobrol dengan seorang
perempuan dalam suasana santai. Kalaupun ada banyak wanita yang terus mengalir
untuk diajak bicara setiap harinya, itu hanya untuk kebutuhan bisnis kantor
semata. Formil dan serba tergesa-gesa.
“Saya ada vila
di sekitar sini, mau kau kuajak ke sana?” ajak Har sopan dengan keyakinan kuat
bahwa wanita ini akan jauh sekali untuk menolak.
“Kenapa tidak,
Oom,” gadis itu menyahut sambil tersenyum. Sebaris senyum dingin yang tak pernah
tuntas. Har merasa aneh, setiap kali ia menawarkan keramahan setiap kali pula
ia disambut dengan keramahan yang dibuat-buat. Serasa ada ganjalan.
Perempuan itu
ngintil di belakang Har lalu naik ke mobil saat Har membukakan pintu. Ia duduk
di jok empuk dengan kikuk. Sesaat mobil bergerak perlahan, perempuan itu
kemudian menoleh ke arah kaca mobil memandangi warung-warung pinggir jalan yang
semakin menjauh. Dan semakin jauh pula tatapan perempuan cantik itu merambah ke
kekosongan. Ke hamparan kebun-kebun teh, ke arah kelap-kelip lampu-lampu vila
di puncak hingga lereng-lereng gunung. Bagai ribuan kunang-kunang kuning di
kegelapan malam.
Sejenak Har lupa
pada pekerjaannya yang menumpuk, lupa pada Novi yang habis ditempelengnya. Lupa
pada pacar Novi yang tadi ngacir terbirit-birit. Juga lupa karena belum
bertanya nama perempuan yang duduk di sebelahnya. Har menoleh. Perempuan itu
masih memandang keluar, menembus kaca jendela, menunggangi kabut di puncak
pegunungan.
“Oh ya, siapa
namamu. Saya Har, Haryanto,” Har memperkenalkan diri. Terasa aneh juga bagi
Har, soalnya tadi perempuan ini yang mendatangi Har. Sekarang malah ia yang
mendahului.
Perempuan itu
agak terkejut lalu cepat-cepat menutupinya dengan seulas senyum. “Saya Imah,
Oom.”
Nama yang
sederhana, sesederhana dandanan dan sikapnya. Tidak berusaha untuk menutupinya
dengan merobah menjadi Ina, misalnya. Atau Sherly, atau Melly, atau…. ah,
pokoknya banyak lagi ribuan nama yang bisa dia pinjam hanya untuk sekedar
gagah-gagahan. Biar dibilang gadis modern, seperti kebanyakan gadis-gadis
perkotaan. Nama kota, namun tingkah lakunya terkadang lebih kampungan daripada
gadis kampung itu sendiri.
Har yakin
perempuan ini bukan berasal dari kota, terdengar dari perbendaharaan bahasa
Indonesia yang pas-pasan bercampur dengan dialek sunda yang mendayu-dayu. Yang
menunjukkan bahwa perempuan ini hanyalah perempuan pribumi biasa. Apakah
perempuan ini penduduk sekitar sini, atau datang dari jauh bersama teman-teman
seprofesi, yang telah lebih dahulu dapat “sewa”.
Belum terjawab
uneg-uneg Har, mobil keburu sampai di vila yang di tuju. Har memanggil penjaga
vila melalui hp-nya. Hanya butuh waktu lima menit, si Mamang – begitu Har
memanggilnya – penjaga vila setengah tua itu muncul dengan terseok-seok
membukakan gerbang vila. Ia rupanya sedang pulas saat bunyi telepon
mengusiknya. Kesadarannya belum pulih benar ketika tangannya membuka gembok
dicampur dengan perasaan heran karena bosnya datang dengan mendadak untuk
menginap. Kini lebih heran lagi karena bosnya turun dengan seorang perempuan
sepantaran Novi. Tadi dia kira itu Novi.
Tapi sebagai
penjaga vila yang baik, yang telah mengabdi hampir dua puluh tahun, si Mamang
tahu diri untuk tidak bertanya panjang lebar termasuk tentang perempuan yang
berjalan gontai di sisi bosnya.
“Saya rapikan
dulu kamarnya, Gan. Agak berantakan, habis Agan jarang menginap ke sini,” tutur
si Mamang tersipu-sipu tak berani menatap langsung, tapi sedikit melirik pada
Imah. Har hanya mengangguk acuh tak acuh.
Har mengajak
Imah ke ruang tengah vila. Di sana ada satu set bangku sofa untuk bersantai
juga terlihat semacam bar dengan beberapa botol minuman asing berjejer pada rak
di dinding belakang bar.
“Tentunya kamu
kedinginan sekali bukan, minum ini untuk menghangatkan badan,” ujar Har sambil
menyodorkan setengah gelas minuman. Imah inginnya menolak. Meski perempuan
kampung ia toh tahu kalau itu memabukkan. Tapi ia lalu menyodorkan tangannya sambil
meringis, tetap berusaha bersikap sewajar mungkin.
Perasaan gundah
yang tengah melanda Har ditambah beban pekerjaan kantor yang tiada habisnya,
membuat Har menumpahkan semua itu ke hadapan Imah yang mendengarkannya dengan
tekun. Hanya sesekali Imah berkomentar, selebihnya berupa ribuan anggukan. Dan
entah berapa puluh tegukan pula minuman beralkohol itu masuk ke perut Har dan
Imah.
Di ujung cerita
panjang Har dan diambang kesadaran mereka berdua yang semakin menipis, Imah pun
ngomong dengan tanpa ragu.
“Saya sedang
kesulitan uang, Oom. Mak saya sedang sakit dan perlu banyak biaya.”
“Ha…ha…ha,
tidak usah khawatir. Berapa biaya yang kamu butuhkan.” Har tertawa
terbahak-bahak. Jelas, Har telah mabuk. Bablas semua persoalan dari isi
kepalanya. Tak meleset jauh dugaan Har sejak semula, kalau perempuan ini memang
tengah butuh duit. Mana ada perempuan yang mau mendekati seorang lelaki di
tengah hawa dinginnya puncak lalu bersedia diajak ke dalam vila, kalau bukan
demi uang.
Dan malam itu,
kelaki-lakian Har yang sempat membeku sejak lima tahun lampau, kembali mencair,
mendidih dan menggelora. Meski lima tahun tak pernah menyentuh perempuan
ditambah lagi dalam keadaan mabuk, tetap tidak membuat Har lupa bagaimana ia
harus menjadi laki-laki kembali. Kamar yang tadi telah dirapikan si Mamang
sekejap berubah berantakan lalu menjadi saksi bisu bagaimana Har yang mabuk dan
bernapsu menelusuri seluruh lekukan tubuh Imah.
Namun yang
terlupakan oleh Har adalah bagaimana Imah agak menjerit ketika memulai dan
merintih sepanjang permainan gila yang disuguhkan Har. Ada genangan bening pada
mata Imah yang terus tercurah hingga menjelang ayam berkokok. Har memang tidak
lupa, di sela-sela mabuk dan kepuasannya, ia menumpahkan seluruh isi dompet dan
menyerahkannya pada Imah. Berlanjut dengan dengkuran penuh kenikmatan.
Har terbangun
saat menjelang matahari berada di atas kepala. Masih terasa pusing, ia turun
dari tempat tidur. Imah sudah tak ada di sisinya. Sebagai penggantinya, ada
bercakan merah di atas kain sprei. Langsung hilang pusing Har. Ia memeriksa isi
dompet, kosong. Hanya berisi kartu tanda pengenal dan beberapa kartu kredit
yang tak beringsut dari tempatnya. Ia ingat, dompet itu hanya berisi uang tiga
ratus ribu dan telah diserahkannya semalam pada Imah.
Har meraba
bercakan merah, menggosok-gosokan dengan kedua jarinya. Ia tersentak.
“Astaga,
perempuan itu masih perawan.”
Har merenung,
“Imah, perempuan desa yang lugu, ia jual keperawanannya demi orangtuanya yang
tengah sakit. Hanya tiga ratus ribu. Begitu nistanya aku, begitu egoisnya aku.”
Ada sesal yang menggayut di pundak Har.
Tapi apa mau
dikata, perempuan itu telah terbang jauh, kembali ke habitatnya di sebuah dusun
yang entah dimana letaknya. Ingin sekali Har menyusul Imah, menemui
orangtuanya, meminangnya untuk dia peristeri, sebagai bentuk pertanggungjawaban
dari seorang laki-laki.
Perempuan desa
nan lugu itu telah berhasil memporak-porandakan keteguhan yang selama ini
dipertahankan Har untuk tidak menikah lagi hingga akhir hayat. Tapi dimana
Imah, di mana dusunnya?
Sekian.
Jakarta, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.