Jumat, 14 Juni 2013

Imah............

Ini cerpen. Silahkan dicicipi.

Imah..........
Oleh: Yoss Prabu

Puncak, Bogor. Tengah malam. Dingin menusuk tulang. Halimun mengambang membatasi jarak pandang.

Jalan raya hanya dilewati satu dua kendaraan bermotor. Sepi. Malam ini bukan malam di mana orang-orang menghabiskan liburan akhir pekannya. Akan berbeda sekali dengan apa yang terjadi bila pada malam-malam akhir pekan. Andai saja tak ada kendaraan lewat, maka kesunyian kian terasa melingkupi daerah itu. Warung-warung kaki lima yang berjejer di tepian jalan raya, sepi pengunjung. Hanya beberapa saja yang dikunjungi pasangan muda-mudi, berbisik-bisik diantara pemilik warung yang menungguinya dengan terkantuk-kantuk.

Har menaikkan krah jaketnya dan menarik resluiting rapat-rapat untuk mengurangi sengatan dingin. Pikirannya sedang gundah. Sore tadi, ia baru saja mendamprat habis-habisan anak gadis tunggalnya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Pasalnya, anak bungsu yang selama ini selalu ia perlakukan bagai bayi kecil nan rapuh itu kedapatan pulang dalam keadaan mabuk. Masuk rumah sambil cekikikan dengan seorang pemuda sebayanya.

Sebagai seorang eksekutif sebuah bank swasta dengan segala macam kesibukannya, Har jarang pulang ke rumah. Ia selalu menginap di hotel. Hanya tadi ada sesuatu yang harus dia ambil maka ia pulang sebentar. Dan anak gadisnya tak menyangka itu. Baru setengah jam Har mengaduk-aduk ruang kerja untuk mencari arsip-arsip yang dia perlukan, anak gadisnya pulang dengan mulut semerbak alkohol. Akibatnya, Har berang bukan main. Ia memarahi bayi kesayangannya, menempeleng sekali, menyuruhnya naik ke kamar atas. Lalu mengusir kasar si pemuda krempeng yang terbirit-birit melarikan diri. Terjatuh sekali di pintu gerbang, selanjutnya ngacir dengan motor bebeknya.

Semenjak isterinya meninggal lima tahun lalu, Har merasa seluruh tanggung jawab keluarga berada di tangannya. Sementara posisi eksekutifnya di kantor menuntut sebuah tanggung jawab besar, terkadang membawa pengaruh buruk pada egonya. Persoalan di kantor menjadi campur-aduk dengan di rumah. Semua penghuni rumah lebih sering dianggap bawahannya termasuk anak-anaknya sendiri. Jangan tanya soal pembantu, paling lama bertahan hanya dua atau tiga bulan saja. Bahkan para isteri kedua anak lelakinya, yang semula menetap seatap, memilih ngacir lalu mengontrak rumah sepetak di pinggiran kota.

Fikri dan Bagas memang telah berkeluarga, mereka telah menamatkan studinya masing-masing di luar negeri sebelum ibunya meninggal. Lalu menikahi gadis pilihannya masing-masing dan menetap bersama di perumahan “Mertua Indah”. Namun menghadapi sikap Har yang lebih sering otoriter, para menantu itupun satu persatu undur diri dan memilih ngontrak rumah di perkampungan kumuh.

“Terserah apa mau kalian, saya hanya ingin yang terbaik bagi keluarga ini,” demikian Har pada suatu ketika. Namun yang terbaik bagi Har, ternyata perlu direnungkan ulang bagi para menantunya. Di rumah besar milik Har, mereka tak usah lagi berpikir tentang uang belanja. Har sudah mengaturnya. Uang hasil kerja anak-anaknya dianjurkan untuk ditabung. Soal keperluan makan dan biaya sekolah anak-anak tinggal lapor mertua, dijamin beres. Tetapi Har lupa, sebagai manusia mereka juga merasa punya hak privacy. Dimana, ada hal-hal tertentu yang Har tidak boleh tahu. Tidak perlu mencampuri. Dan celakanya Har selalu ingin mencampuri segala macam hal, akibatnya ya, itu tadi. Pemberontakan kecil-kecilan pun mulai meletup. Pertama Bagas memboyong anak isterinya untuk hidup terpisah dengan alasan ingin mandiri. Hanya berselang dua bulan, Fikri pun menyusul. Alasannya, hanya mengamini sikap kakaknya. Tinggal Har dan Novi, anak bungsunya yang perempuan. 

Mungkin karena waktu itu masih SMP, ia tak banyak ulah. Nunut saja apa kata ayahnya.
Namun seiring perjalanan waktu, sikap si bungsu pun mulai berubah. Yang Har tak sadari, ternyata Novi memiliki watak yang sama dengan dirinya. Sama-sama kepala batu. Sikap menurutnya selama ini hanya mengendapkan rasa perlawanan yang semakin lama semakin membesar. Di depan Har, Novi terlihat bagai gadis rapuh yang selalu butuh perlindungan. Akibatnya, apapun yang diinginkan Novi selalu dikabulkan tanpa harus diminta dua kali.
Dan Har baru tadi menyadari kekeliruannya selama ini. Bayi kecil yang selama ini selalu manja di pangkuannya, ternyata bisa juga mabuk berat hingga harus menggelendoti pundak seorang pemuda ceking yang diakui Novi sebagai pacarnya.

Har menatap jauh menembus kabut, menerobos rimbunan daun teh, melingkar di lereng bukit lalu menukik menghujam jurang nan curam. Ia tarik napas dalam-dalam, dijejali paru-parunya dengan oksigen lembab pegunungan. Kepalanya terasa agak ringan, pikiran pun mulai jernih. Sejernih sayup alunan irama jaipongan dari radio pemilik warung.    
“Sendirian Oom?” tiba-tiba ada alunan jernih lain yang menyelusup ke telinganya. Har tersentak. Menoleh. Seorang perempuan manis sebaya Novi menegurnya dengan genit. Kegenitan yang terlihat agak dipaksakan.

Har terhenyak dari lamunannya. Gelagapan, hingga belum tahu harus menjawab apa. Setengah kesadarannya masih mengambang di antara halimun. Dari dua jam lalu ia memang mematung sendirian di tepian jurang yang dipenuhi tumbuhan teh.

“Boleh ditemani? Sepertinya Oom perlu teman,” serasa ada nada paksaan agar Har tak menolak tawarannya. Asap rokok filter bercampur kabut terhembus dari bibirnya manakala ia berkata-kata. Har masih terpaku, berpikir menentukan sikap. Melayani perempuan yang belum dikenalnya atau biarkan semua mengalir, lalu biarkan waktu yang akan menentukan. Perempuan itu kembali menghisap rokoknya. Dari caranya menghisap lalu menjepit rokok di sela-sela jari nan lentik, Har sadar kalau perempuan ini tidak pernah merokok sepanjang hidupnya. Rokok yang terselip di bibir merekah itu lebih mirip benda asing yang tiba-tiba muncul begitu saja.

“Oh….., tentu,” meluncur juga perkataan dari bibir Har.
Perempuan itu melangkah ke tepian jurang, memandangi perkebunan teh lalu kembali menoleh ke arah Har.

“Apa yang sejak tadi Oom perhatikan,” ia tersenyum. Har diam. Perempuan itu akhirnya tersadar bahwa pertanyaan barusan tak semestinya ia dilontarkan. Seseorang yang mematung hingga ratusan menit dengan tak peduli pada lingkungan sekitar, tentunya tengah dilanda gejolak batin.

Walau berpenampilan sederhana gadis itu cukup manis di mata Har. Berhidung bangir dengan rambut terurai hingga ke bahu. Posturnya sedikit pendek dibanding Novi, mungkin sekitar seratus enam puluh duaan meter. Kulitnya agak gelap, hitam manis. Har menduga pastinya wanita ini sejenis wanita malam yang tengah mencari mangsa. Namun bila menilik dari parasnya, Har tak menolak untuk dimangsa. Ditelan hidup-hidup pun dia mau.

“Di sini dingin sekali ya Oom, bagaimana kalau kita ngobrol-ngobrol di mobil. Mobil Oom yang itu kan?” Suaranya lembut, selembut angin yang mengibas rambut nan terurai itu. Namun di kuping Har terasa ada getaran aneh saat gadis itu berkata-kata, yang memang baru terdengar beberapa patah saja. Andai wanita ini berprofesi seperti yang dipikirkan Har, tentunya wanita ini belum profesional. Atau hanya sekedar iseng saja untuk menjauhi kepenatan keluarga. Sama seperti Har. 

“Boleh. Ya, yang itu,” Har menunjuk pada BMW keluaran terakhir.

“Oom gak bawa supir kan, nyetir sendiri.”

Har kembali memperhatikan wajah manis itu. Dalam hatinya ia menggerutu, sejak kapan gadis ini memperhatikannya hingga tahu kalau ia memang sendirian. Namun yang keluar dari mulutnya malahan, “Supirku sedang pulang kampung menjenguk isterinya yang baru melahirkan anak pertamanya, katanya sih kembar.”

Si Gadis tersenyum, ia tahu kalau si Oom ini agak kikuk, sekikuk dirinya. Tetapi ia sendiri tak perlu jawaban seperti itu. Apa pedulinya. Baginya uang si Oom lebih bernilai ketimbang basa-basi membosankan.

Har yang tengah dilanda gundah namun kesepian itu, rupanya memang sangat perlu teman untuk curhat. Dan perempuan sederhana ini langsung memikat hatinya tanpa ada keinginan untuk menolak. Sudah lama ia nyaris tak pernah ngobrol-ngobrol dengan seorang perempuan dalam suasana santai. Kalaupun ada banyak wanita yang terus mengalir untuk diajak bicara setiap harinya, itu hanya untuk kebutuhan bisnis kantor semata. Formil dan serba tergesa-gesa.

“Saya ada vila di sekitar sini, mau kau kuajak ke sana?” ajak Har sopan dengan keyakinan kuat bahwa wanita ini akan jauh sekali untuk menolak.

“Kenapa tidak, Oom,” gadis itu menyahut sambil tersenyum. Sebaris senyum dingin yang tak pernah tuntas. Har merasa aneh, setiap kali ia menawarkan keramahan setiap kali pula ia disambut dengan keramahan yang dibuat-buat. Serasa ada ganjalan.

Perempuan itu ngintil di belakang Har lalu naik ke mobil saat Har membukakan pintu. Ia duduk di jok empuk dengan kikuk. Sesaat mobil bergerak perlahan, perempuan itu kemudian menoleh ke arah kaca mobil memandangi warung-warung pinggir jalan yang semakin menjauh. Dan semakin jauh pula tatapan perempuan cantik itu merambah ke kekosongan. Ke hamparan kebun-kebun teh, ke arah kelap-kelip lampu-lampu vila di puncak hingga lereng-lereng gunung. Bagai ribuan kunang-kunang kuning di kegelapan malam.

Sejenak Har lupa pada pekerjaannya yang menumpuk, lupa pada Novi yang habis ditempelengnya. Lupa pada pacar Novi yang tadi ngacir terbirit-birit. Juga lupa karena belum bertanya nama perempuan yang duduk di sebelahnya. Har menoleh. Perempuan itu masih memandang keluar, menembus kaca jendela, menunggangi kabut di puncak pegunungan.

“Oh ya, siapa namamu. Saya Har, Haryanto,” Har memperkenalkan diri. Terasa aneh juga bagi Har, soalnya tadi perempuan ini yang mendatangi Har. Sekarang malah ia yang mendahului.

Perempuan itu agak terkejut lalu cepat-cepat menutupinya dengan seulas senyum. “Saya Imah, Oom.”

Nama yang sederhana, sesederhana dandanan dan sikapnya. Tidak berusaha untuk menutupinya dengan merobah menjadi Ina, misalnya. Atau Sherly, atau Melly, atau…. ah, pokoknya banyak lagi ribuan nama yang bisa dia pinjam hanya untuk sekedar gagah-gagahan. Biar dibilang gadis modern, seperti kebanyakan gadis-gadis perkotaan. Nama kota, namun tingkah lakunya terkadang lebih kampungan daripada gadis kampung itu sendiri.

Har yakin perempuan ini bukan berasal dari kota, terdengar dari perbendaharaan bahasa Indonesia yang pas-pasan bercampur dengan dialek sunda yang mendayu-dayu. Yang menunjukkan bahwa perempuan ini hanyalah perempuan pribumi biasa. Apakah perempuan ini penduduk sekitar sini, atau datang dari jauh bersama teman-teman seprofesi, yang telah lebih dahulu dapat “sewa”.

Belum terjawab uneg-uneg Har, mobil keburu sampai di vila yang di tuju. Har memanggil penjaga vila melalui hp-nya. Hanya butuh waktu lima menit, si Mamang – begitu Har memanggilnya – penjaga vila setengah tua itu muncul dengan terseok-seok membukakan gerbang vila. Ia rupanya sedang pulas saat bunyi telepon mengusiknya. Kesadarannya belum pulih benar ketika tangannya membuka gembok dicampur dengan perasaan heran karena bosnya datang dengan mendadak untuk menginap. Kini lebih heran lagi karena bosnya turun dengan seorang perempuan sepantaran Novi. Tadi dia kira itu Novi.

Tapi sebagai penjaga vila yang baik, yang telah mengabdi hampir dua puluh tahun, si Mamang tahu diri untuk tidak bertanya panjang lebar termasuk tentang perempuan yang berjalan gontai di sisi bosnya.

“Saya rapikan dulu kamarnya, Gan. Agak berantakan, habis Agan jarang menginap ke sini,” tutur si Mamang tersipu-sipu tak berani menatap langsung, tapi sedikit melirik pada Imah. Har hanya mengangguk acuh tak acuh.

Har mengajak Imah ke ruang tengah vila. Di sana ada satu set bangku sofa untuk bersantai juga terlihat semacam bar dengan beberapa botol minuman asing berjejer pada rak di dinding belakang bar.

“Tentunya kamu kedinginan sekali bukan, minum ini untuk menghangatkan badan,” ujar Har sambil menyodorkan setengah gelas minuman. Imah inginnya menolak. Meski perempuan kampung ia toh tahu kalau itu memabukkan. Tapi ia lalu menyodorkan tangannya sambil meringis, tetap berusaha bersikap sewajar mungkin.

Perasaan gundah yang tengah melanda Har ditambah beban pekerjaan kantor yang tiada habisnya, membuat Har menumpahkan semua itu ke hadapan Imah yang mendengarkannya dengan tekun. Hanya sesekali Imah berkomentar, selebihnya berupa ribuan anggukan. Dan entah berapa puluh tegukan pula minuman beralkohol itu masuk ke perut Har dan Imah.

Di ujung cerita panjang Har dan diambang kesadaran mereka berdua yang semakin menipis, Imah pun ngomong dengan tanpa ragu.

“Saya sedang kesulitan uang, Oom. Mak saya sedang sakit dan perlu banyak biaya.”

“Ha…ha…ha, tidak usah khawatir. Berapa biaya yang kamu butuhkan.” Har tertawa terbahak-bahak. Jelas, Har telah mabuk. Bablas semua persoalan dari isi kepalanya. Tak meleset jauh dugaan Har sejak semula, kalau perempuan ini memang tengah butuh duit. Mana ada perempuan yang mau mendekati seorang lelaki di tengah hawa dinginnya puncak lalu bersedia diajak ke dalam vila, kalau bukan demi uang.

Dan malam itu, kelaki-lakian Har yang sempat membeku sejak lima tahun lampau, kembali mencair, mendidih dan menggelora. Meski lima tahun tak pernah menyentuh perempuan ditambah lagi dalam keadaan mabuk, tetap tidak membuat Har lupa bagaimana ia harus menjadi laki-laki kembali. Kamar yang tadi telah dirapikan si Mamang sekejap berubah berantakan lalu menjadi saksi bisu bagaimana Har yang mabuk dan bernapsu menelusuri seluruh lekukan tubuh Imah.

Namun yang terlupakan oleh Har adalah bagaimana Imah agak menjerit ketika memulai dan merintih sepanjang permainan gila yang disuguhkan Har. Ada genangan bening pada mata Imah yang terus tercurah hingga menjelang ayam berkokok. Har memang tidak lupa, di sela-sela mabuk dan kepuasannya, ia menumpahkan seluruh isi dompet dan menyerahkannya pada Imah. Berlanjut dengan dengkuran penuh kenikmatan.

Har terbangun saat menjelang matahari berada di atas kepala. Masih terasa pusing, ia turun dari tempat tidur. Imah sudah tak ada di sisinya. Sebagai penggantinya, ada bercakan merah di atas kain sprei. Langsung hilang pusing Har. Ia memeriksa isi dompet, kosong. Hanya berisi kartu tanda pengenal dan beberapa kartu kredit yang tak beringsut dari tempatnya. Ia ingat, dompet itu hanya berisi uang tiga ratus ribu dan telah diserahkannya semalam pada Imah.

Har meraba bercakan merah, menggosok-gosokan dengan kedua jarinya. Ia tersentak.
“Astaga, perempuan itu masih perawan.”

Har merenung, “Imah, perempuan desa yang lugu, ia jual keperawanannya demi orangtuanya yang tengah sakit. Hanya tiga ratus ribu. Begitu nistanya aku, begitu egoisnya aku.” Ada sesal yang menggayut di pundak Har.

Tapi apa mau dikata, perempuan itu telah terbang jauh, kembali ke habitatnya di sebuah dusun yang entah dimana letaknya. Ingin sekali Har menyusul Imah, menemui orangtuanya, meminangnya untuk dia peristeri, sebagai bentuk pertanggungjawaban dari seorang laki-laki.
Perempuan desa nan lugu itu telah berhasil memporak-porandakan keteguhan yang selama ini dipertahankan Har untuk tidak menikah lagi hingga akhir hayat. Tapi dimana Imah, di mana dusunnya?

Sekian.

Jakarta, 2012

                                               
                            
                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar. Berupa saran, kesan dan kritik membangun.

Hilangnya Budaya Saling Support

Hilangnya Budaya Saling Support Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat...