Selasar
Di Selasar kita bisa berdiskusi. Ramai-ramai atau sendiri. Boleh. Sambil minum kopi, merenung atau hanya sekedar berimajinasi, juga boleh. Atau sambil bermimpi dan masturbasi. Pun boleh-boleh saja. Terserah! Silakan saja. Suka-suka.
Senin, 13 Januari 2025
Hilangnya Budaya Saling Support
Hilangnya Budaya Saling Support
Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat hidup terasa ringan: budaya saling support. Di kampung itu, ketika seseorang menanam padi, tetangga datang membawa cangkul untuk membantu. Jika ada yang membuat hajatan, tetangga lainnya datang dengan panci besar berisi makanan. Semua terasa seperti keluarga besar yang tak pernah kehabisan cerita.
Namun, budaya itu perlahan hilang, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat dirasakan penuh. Sekarang, saat ada yang kesusahan, sering kali kita hanya mengirimkan emotikon sedih di grup WhatsApp, seakan itu cukup menggantikan tangan yang seharusnya terulur.
Mengapa ini terjadi? Mungkin kita terlalu sibuk mengurusi diri sendiri. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, ironisnya, kita justru makin terisolasi secara emosional. Kita lebih sibuk scrolling media sosial ketimbang menanyakan kabar teman yang jarang terlihat online. Kita lebih sering memikirkan "bagaimana aku terlihat" ketimbang "apa yang bisa aku lakukan untuk membantu orang lain."
Bayangkan ini, ada seorang teman yang baru membuka usaha kecil menjual kue. Dulu, tetangga akan datang mencicipi, memberi masukan, bahkan membawa pulang beberapa untuk dijualkan lagi. Sekarang? Mereka hanya menekan tombol “Like” di Instagram, tanpa benar-benar membeli atau mempromosikan usaha itu. Padahal, kue teman itu enak – tapi sayang, algoritma lebih menentukan nasibnya daripada dukungan nyata kita.
Kehilangan budaya saling support ini tidak hanya menyedihkan, tapi juga berbahaya. Kita menjadi masyarakat yang terfragmentasi, masing-masing sibuk membangun "menara gading" sendiri. Kita lupa bahwa manusia, pada dasarnya, adalah makhluk sosial. Tanpa dukungan satu sama lain, kita seperti jaring laba-laba yang kehilangan kekuatannya.
Namun, ini bukan berarti semua harapan hilang. Kita masih bisa memulihkan budaya ini, dimulai dari hal kecil. Mulai dengan menanyakan kabar teman tanpa motif lain. Jika ada yang membuka usaha, cobalah beli atau promosikan. Ketika tetangga butuh bantuan, angkat tangan sebelum mereka sempat memintanya. Dan yang paling penting, lakukan semua itu tanpa berharap imbalan. Kadang, melihat seseorang tersenyum tulus karena bantuan kita sudah lebih dari cukup.
Dalam satu kisah, ada seorang nenek tua yang tinggal sendirian di ujung gang. Setiap hari, ia menjahit pakaian untuk orang-orang di kampung, meski matanya mulai rabun. Suatu hari, ia jatuh sakit. Tetangganya, yang biasanya hanya berlalu-lalang, mulai berdatangan membawakan makanan, mengurus cucian, bahkan menggantikan pekerjaan menjahitnya sementara waktu. Nenek itu berkata, “Aku tidak punya banyak, tapi cinta dan perhatian yang kalian beri membuat hidupku jauh lebih kaya.”
Kisah itu mengingatkan kita bahwa saling support bukan soal besar kecilnya bantuan, melainkan niat tulus di baliknya. Kita tak harus jadi pahlawan untuk membantu orang lain. Cukup menjadi manusia yang peduli.
Jadi, mari berhenti sejenak dari kesibukan kita. Lihatlah sekitar. Siapa tahu, ada seseorang yang butuh uluran tangan atau sekadar pelukan hangat. Karena pada akhirnya, hidup ini terlalu singkat untuk dilewatkan tanpa rasa saling support. Dan siapa tahu, saat kita butuh, tangan-tangan itu juga akan kembali terulur untuk kita. Bukankah itu yang membuat hidup terasa lebih manusiawi
*
Kalau Kaya Begitu Gua Juga Bisa
Pengantar
Kang Juhi, pedagang gorengan. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran Jakarta. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng.
*
Kalau Kaya Begitu Gua Juga Bisa
Yoss Prabu
Di suatu pagi yang mendung, Kang Juhi duduk di tikar rombeng, di rumah kontrakannya. Sambil menyeruput kopi hitam. Di tangannya ada ponsel yang hampir pensiun, layarnya penuh retakan seperti pola batik tak disengaja. Ia sedang asyik scrolling media sosial ketika sebuah unggahan viral menyita perhatiannya. Seorang influencer muda sedang menjelaskan rahasia kesuksesannya: hanya minum air putih delapan gelas sehari dan tidur cukup.
Kang Juhi tertawa kecil. "Apa-apaan ini? Minum air doang bisa sukses? Kalau kaya begitu, gua juga bisa!" ujarnya dengan nada setengah kagum setengah heran.
Fenomena seperti ini sering kali membuat Kang Juhi merasa hidup ini tidak adil. Baru dua hari lalu, ia menonton video tentang seseorang makan gorengan tahu isi dengan sepiring nasi. Video itu mendapatkan jutaan views. Kang Juhi memiringkan kepala sambil bergumam, "Lah, kalau cuma makan gorengan pakai nasi, itu mah makanan wajib. Setiap hari juga begitu. Tapi kenapa dia yang jadi terkenal?"
Rasa penasaran Kang Juhi kian bertambah ketika ia melihat seseorang dengan santai membongkar paket belanjaan online yang isinya terdiri dari barang-barang elektronik mahal. Sepertinya tidak ada yang istimewa, tapi entah bagaimana, video itu hujan komentar.
"Orang cuma buka bungkus doang, penonton segitu banyak. Kalau kaya begitu, gua juga bisa!" pikir Kang Juhi, kali ini lebih serius.
Namun, kehidupan punya cara unik untuk mengajarkan sesuatu. Suatu sore, saat Kang Juhi sedang duduk di warung kopi, ia melihat anak-anak kecil bermain sulap sederhana. Mereka menghilangkan koin di balik daun, lalu memperlihatkan kembali koin yang sama dengan penuh gaya. Semua orang di warung tertawa, bahkan ada yang memberi uang receh pada si bocah sulap.
Kang Juhi langsung mendapat ide brilian. Ia segera menghubungi temannya, Udin, yang punya kamera ponsel sedikit lebih baik dari miliknya. Bersama Udin, Kang Juhi merancang rencana besar. Membuat konten viral yang sederhana tapi dalam benaknya pasti berhasil.
Dua malam berikutnya, mereka mulai syuting. Kang Juhi mencoba berbagai aksi, mulai dari sulap menghilangkan sendok (yang sebenarnya dilempar ke bawah meja) hingga aksi pura-pura terpeleset sambil membawa es teh manis. "Ini pasti bikin orang ngakak!" katanya pada Udin dengan penuh semangat.
Setelah selesai, ia mengunggah video itu ke media sosial. Judulnya pun tidak kalah heboh: "JANGAN COBA DI RUMAH! AKSI KONYOL YANG BIKIN NGAKAK!"
Hasilnya? Sepi. Tidak ada yang menonton kecuali Udin, itu pun karena ia ingin memastikan hasil rekamannya.
Kang Juhi kecewa, tapi tidak menyerah. Ia terus mencoba mengunggah ulang videonya dengan editan baru dan musik lucu. Tak disangka, seminggu kemudian salah satu videonya viral. Namun bukan karena aksi yang ia rencanakan, melainkan karena ekspresi wajah Kang Juhi ketika benar-benar terpeleset di tengah syuting: spontan, jujur, dan kocak.
"Kang, muka lu asli kayak meme!" tulis seorang komentator.
"Ini baru konten ngakak natural, nggak dibuat-buat!" komentar lainnya.
Kang Juhi terdiam, lalu tertawa. Ia baru menyadari bahwa kadang hal yang sederhana memang bisa sukses besar, tapi hanya jika dilakukan dengan tulus.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kalau Kaya Begitu, Gua Juga Bisa", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/yossprabu/677f9a0534777c3a9a7c77c4/kalau-kaya-begitu-gua-juga-bisa?page=all#section1
Kreator: Yoss Prabu
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com
Sabtu, 04 Januari 2025
Antara Harapan dan Realitas
Pengantar
Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng.
*
Kang Juhi Bermonolog
Antara Harapan dan Realitas
Yoss Prabu
(Lampu redup di kamar kontrakan, Kang Juhi duduk bersila di lantai dengan secangkir teh manis yang masih mengepul. Di hadapannya, baskom penuh noda minyak terlihat seperti penonton setia).
Kang Juhi:
"Hari ini habis lagi, ya. Kaya gorengan yang ludes sebelum malam datang. Cepat benar waktu berlalu, tapi rasa capeknya selalu tinggal lebih lama.
Harapan? Harapan itu mirip adonan gorengan, Baskom. Kita campur ini-itu, kasih bumbu, terus kita bentuk sebaik-baiknya. Tapi begitu masuk minyak panas? Mana bisa kita atur bakal matang sempurna atau gosong di pinggirannya. Kadang, malah yang niatnya bikin tahu isi, jadinya cuma tahu kosong. Tapi anehnya, aku nggak pernah berhenti bikin adonan itu. Harapan itu ngotot, ya?
Tapi realitas, dia beda cerita. Dia itu seperti minyak jelantah. Lengket, bau, penuh ampas. Bukan malah tidak berguna, tapi membuat kita susah bernapas. Realitas adalah saat ibu-ibu menawar gorengan sampai harga modal, tapi pulangnya naik mobil bagus. Realitas adalah saat aku diusir dari trotoar oleh mereka yang pakai dasi, padahal mereka sendiri nggak tahu rasanya makan nasi tanpa lauk karena duit habis buat bayar sewa.
(Ada jeda. Kang Juhi menghela napas, menyesap teh, matanya menatap ke langit-langit yang kusam).
Kadang aku berpikir, Baskom, kenapa aku tidak lari saja? Balik ke kampung. Tapi di sana aku cuma bakal jadi buruh tani, kerja di ladang orang yang juga tidak pernah cukup untuk makan sendiri. Apalagi keluarga. Di sini, aku punya gerobak. Atau, ya, aku dulu punya gerobak. Sekarang cuma sisa tapak rodanya di jalan. Tapi paling tidak, di sini aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri, walaupun cuma buat nyari tepung sama minyak murah.
Apa aku bodoh, Baskom? Menggantung harapan setinggi itu di dunia yang nyata-nyata tidak peduli sama orang kecil macam aku? Tapi, gimana lagi? Kalau aku berhenti berharap, aku cuma jadi tempe kedaluwarsa. Ada, tapi tidak ada gunanya.
(Ada keheningan lagi. Kali ini lebih lama. Kang Juhi menatap cangkir tehnya, seolah mencari jawaban di dalamnya).
Aku tahu, hidup ini tidak adil. Tapi kalau aku tidak adil ke diriku sendiri, kalau aku berhenti mencoba, berhenti berharap, apa yang tersisa dari aku? Cuma nama, Kang Juhi, pedagang gorengan, yang bakal dilupakan lebih cepat dari orang lupa rasa gorengan yang dimakan buru-buru.
Jadi, Baskom, selama aku masih bisa menyalakan kompor besok pagi, selama aku masih punya tangan untuk mengaduk adonan, aku bakal terus membuat harapan itu. Biarkan saja realitas jadi minyak panasnya. Sementara aku bakal terus mencoba memberi rasa pada dunia ini, meskipun cuma dari bakwan goreng.
(Akhirnya, Kang Juhi tersenyum kecil. Matanya berat, tapi dalam senyumnya ada keteguhan yang sederhana. Ia bangkit, mematikan lampu, dan membiarkan malam menelan dirinya).
Esok hari, gorengan baru, harapan baru. Dan realitas? Ah, biar saja dia datang belakangan.
*
Senin, 30 Desember 2024
Refleksi Diri di Akhir Tahun
Refleksi Diri di Akhir Tahun
Yoss Prabu
Mari sejenak kita merenung. Akhir tahun selalu membawa suasana yang khas. Lampu-lampu yang menghias sudut kota, alunan musik yang mengiringi langkah kaki di pusat perbelanjaan, hingga berbagai resolusi yang mulai tersusun dalam pikiran. Pun tidak ketinggalan, akhir tahun juga selalu dimeriahkan banjir dan longsor di mana-mana, gunung yang erupsi di berbagai wilayah. Tentunya bagi sebagian orang, ini adalah waktu yang tepat untuk merayakan pencapaian. Namun bagi yang lainnya lagi, ini adalah momen yang tepat untuk mengevaluasi diri, merangkum, dan merenungkan perjalanan yang telah dilalui.
Refleksi diri di akhir tahun menjadi semacam ritual yang tak terucap. Tanpa perlu banyak upacara, kita mulai menengok ke belakang, menyusuri jejak-jejak yang telah tertinggal selama 12 bulan terakhir. Mungkin ada kenangan manis yang ingin kita ulang, atau justru luka yang ingin kita tutupi dengan perban waktu.
“Sudah sejauh mana aku berjalan?” Barangkali menjadi pertanyaan pertama yang terlintas. Tahun ini mungkin terasa seperti perjalanan panjang yang penuh liku. Ada momen-momen di mana kita merasa berada di puncak dunia – mendapatkan promosi yang diimpikan, menjalin hubungan baru, atau meraih pencapaian akademik yang diusahakan selama bertahun-tahun.
Tapi ada pula saat-saat ketika semuanya terasa runtuh. Mungkin ada kegagalan yang membuat kita meragukan diri sendiri, kehilangan yang meninggalkan lubang dalam hati, atau keputusan yang ternyata salah arah. Semua ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak terpisahkan.
Dalam refleksi diri, kita belajar untuk menerima bahwa hidup bukanlah garis lurus. Ada kalanya kita harus tersesat untuk menemukan jalan baru. Seperti pepatah mengatakan, “Terkadang, kita harus kehilangan sesuatu untuk menemukan hal yang lebih berharga.”
Setiap pengalaman, baik atau buruk, selalu membawa pelajaran. Refleksi diri bukan hanya tentang mengingat apa yang telah terjadi, tetapi juga memahami makna di baliknya.
Kadang pula, kita perlu memberi waktu bagi diri sendiri untuk tumbuh dan berkembang. Ada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Belajar menerima dan berdamai dengan kenyataan adalah bentuk kedewasaan yang sulit, tetapi sangat berarti. Di balik kesibukan dan masalah, selalu ada hal-hal kecil yang patut disyukuri. Seulas senyuman dari orang-orang sekitar, dukungan dari teman dekat, atau bahkan waktu luang untuk diri sendiri.
Setelah mengevaluasi, langkah berikutnya adalah menyusun harapan. Resolusi tahun berikutnya bukanlah sekadar daftar target yang harus dicapai, melainkan kompas yang memberikan arah dalam perjalanan hidup kita.
Cobalah bertanya pada diri sendiri. Apa yang ingin aku perbaiki dari diriku? Apa kebiasaan baru yang ingin aku kembangkan? Bagaimana aku bisa lebih berkontribusi bagi orang-orang di sekitarku?
Tidak perlu menargetkan perubahan besar. Terkadang, langkah-langkah kecil justru lebih mudah dijalani dan berdampak besar dalam jangka panjang. Mengganti kebiasaan malas dengan membaca buku, lebih sering berbicara dari hati ke hati dengan keluarga, atau menyisihkan waktu untuk meditasi atau lebih mendekatkan diri pada Tuhan, bisa menjadi awal yang sangat baik.
Refleksi diri di akhir tahun bukan tentang melihat ke belakang dengan penyesalan, melainkan dengan rasa syukur. Setiap momen – baik ataupun buruk – adalah potongan puzzle yang menyusun siapa kita hari ini.
Maka, di penghujung tahun ini, luangkan waktu sejenak. Duduklah dengan tenang, tarik napas dalam-dalam, dan biarkan pikiran kita menyusuri kenangan yang telah berlalu. Karena dalam refleksi, kita bukan hanya melihat kembali, tetapi juga menemukan versi diri yang lebih baik untuk melangkah ke tahun berikutnya.
Selamat menyusun kembali potongan-potongan puzzle kehidupan, dan kita songsong tahun berikutnya dengan penuh harapan.
*
Minggu, 22 Desember 2024
Wanita Hebat di Balik Semua Kesuksesan
Menghormati Ibu, Wanita Hebat di Balik Semua Kesuksesan
Hari Ibu adalah momen khusus yang dirayakan di berbagai negara di seluruh dunia untuk menghormati dan menghargai peran seorang ibu dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Di Indonesia, Hari Ibu diperingati setiap tanggal 22 Desember, sementara di banyak negara lain, Hari Ibu dirayakan pada tanggal yang berbeda, biasanya di bulan Mei. Perayaan ini menjadi waktu yang istimewa untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada para ibu atas segala pengorbanan, cinta, dan dukungan yang telah mereka berikan sepanjang hidup.
Hari Ibu di Indonesia memiliki sejarah yang unik dan berbeda dibandingkan perayaan di negara lain. Hari Ibu pertama kali diperingati pada 1938, untuk memperingati Kongres Perempuan Indonesia yang diadakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres tersebut merupakan tonggak sejarah penting bagi gerakan perempuan Indonesia yang berjuang untuk kesetaraan, pendidikan, dan hak-hak perempuan dalam kehidupan sosial dan politik. Oleh karena itu, Hari Ibu di Indonesia bukan hanya tentang penghargaan kepada ibu secara individu, tetapi juga mencerminkan semangat perjuangan perempuan untuk membangun masyarakat yang lebih baik.
Pada 1953, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1953. Sejak saat itu, Hari Ibu diperingati setiap tahun sebagai penghormatan terhadap peran ibu dalam keluarga dan perjuangan perempuan di Indonesia.
Hari Ibu memiliki makna yang mendalam, baik secara personal maupun sosial. Di dalam keluarga, seorang ibu adalah pilar utama yang tidak hanya membesarkan anak-anak, tetapi juga menjadi penggerak keharmonisan dan kebahagiaan keluarga. Mereka menjalankan berbagai peran, mulai dari pendidik, pengasuh, hingga motivator bagi setiap anggota keluarga.
Secara sosial, Hari Ibu adalah momen untuk merefleksikan pentingnya pemberdayaan perempuan. Peringatan ini mengingatkan masyarakat akan kontribusi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam keluarga, lingkungan kerja, maupun di ranah publik. Dalam konteks modern, Hari Ibu juga sering dijadikan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak perempuan, kesetaraan gender, dan perlunya memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan untuk berkontribusi secara aktif dalam pembangunan bangsa.
Di Indonesia, Hari Ibu dirayakan dengan berbagai cara, baik secara tradisional maupun modern. Banyak orang menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan rasa cinta kepada ibu mereka, misalnya dengan memberikan hadiah, bunga, kartu ucapan, atau sekadar meluangkan waktu bersama. Di beberapa daerah, Hari Ibu juga dirayakan dengan lomba memasak, seminar tentang peran perempuan, atau acara komunitas yang mengangkat tema pemberdayaan perempuan.
Di tingkat nasional, Hari Ibu sering dijadikan momentum untuk memberikan penghargaan kepada para perempuan yang telah berjasa di bidangnya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa peran ibu dan perempuan tidak hanya penting di dalam keluarga, tetapi juga dalam pembangunan bangsa.
Hari Ibu adalah peringatan yang sarat makna, bukan hanya sebagai ungkapan kasih sayang kepada ibu, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Momen ini menjadi pengingat betapa besar peran seorang ibu dalam membangun generasi penerus yang berkualitas, sekaligus mempertegas pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Melalui Hari Ibu, kita diajak untuk tidak hanya mengenang jasa ibu, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang mendukung peran perempuan secara keseluruhan. Mari jadikan Hari Ibu sebagai waktu untuk mengapresiasi, mencintai, dan memberikan dukungan lebih kepada para ibu yang telah berperan besar dalam kehidupan kita.
*
Selasa, 10 Desember 2024
Kang Juhi dan Gorengan Multiverse
Kang Juhi dan Gorengan Multiverse
Di sebuah kamar kontrakan pengap di pinggiran Jakarta, Kang Juhi memulai hari dengan ritual sakral, meramu gorengan. Tepung dicampur air, ditaburi garam, dan adonan itu menjadi medium eksistensinya. Di penggorengan kecil yang sudah penuh kerak, adonan itu menggelembung, menjadi tahu isi, tempe goreng, dan bakwan yang siap menjelajah kantong pelanggan. Di balik wajah lelahnya, Kang Juhi menyimpan dimensi lain, pengamat kehidupan yang tajam, dengan batin yang kerap berkelana ke realitas alternatif.
Kang Juhi bukan sekadar pedagang gorengan keliling, ia adalah seorang cosmic wanderer – sejenis entitas pinggiran yang bisa hadir di mana saja, menyelinap ke sela-sela percakapan serius para pejabat, mimpi buruk para aktivis, hingga meeting daring kaum elite dengan koneksi internet super stabil. Namun, alih-alih membawa dampak dramatis, ia hanya menyimpan semua pengamatan dalam senyap. Sebab, siapa yang mau mendengar ocehan seorang pedagang gorengan?
Suatu hari, Kang Juhi berdiri di dekat halte bus. Udara pagi itu menyatu dengan bau amis got dan asap knalpot – ramuan otentik metropolitan. Ia memerhatikan sekelompok pekerja kantoran berdasi, sibuk dengan kopi-to-go (kopi yang dipesan dan dibawa pulang untuk dinikmati di tempat lain) dan ponsel pintar mereka.
"Lucu juga," gumamnya dalam hati, "mereka kerja mati-matian demi bisa beli barang yang bikin mereka lupa kenapa hidup." Batinnya menggelitik, mencoba menyimpulkan bahwa produktivitas hanyalah dongeng kapitalisme modern.
Di sore lainnya, Kang Juhi muncul di trotoar sebuah perumahan mewah. Pelanggannya, seorang ibu muda dengan tas bermerek, menawar gorengannya setengah mati.
"Rp1.000 aja, Kang. Masih bisa kan?" Kang Juhi tersenyum tipis, lalu memberikan tahu isi yang harganya nyaris setara modal.
"Mungkin tasnya berat, jadi tak kuat bayar penuh," pikirnya sinis. Ia melanjutkan perjalanan tanpa protes, hanya menertawakan absurditas dunia yang memberinya peran sebagai pengisi perut darurat.
Namun, ada kalanya Kang Juhi tenggelam dalam refleksi mendalam. Dalam sepi kamar kontrakan yang hanya berisi kasur tipis, ia bertanya pada dirinya sendiri, “Apa aku ini nyata? Atau cuma metafora?” Ia merasa menjadi cermin dari sebuah kelompok, kaum yang ada tetapi tak dianggap, penting tetapi tak dihargai. Ia sering bertanya-tanya apakah pandangan kritisnya pada dunia ini benar-benar masuk akal atau sekadar pembenaran batin seorang pedagang gorengan.
Di dunia yang makin bising oleh narasi-narasi besar, Kang Juhi memilih tetap berjalan dengan pikiran-pikiran kecilnya. Ia menertawakan dunia, bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia sadar bahwa hanya dengan tawa ia bisa bertahan. Ia adalah pengingat bahwa logika sederhana sering kali lebih relevan daripada teori-teori muluk para intelektual.
Jadi, apakah Kang Juhi nyata? Entahlah. Yang jelas, ia hadir dalam kehidupan kita. Saat kita menawar gorengan di pinggir jalan, saat kita merasa dunia terlalu rumit, atau saat kita butuh pengingat bahwa kebahagiaan tak harus mahal. Kang Juhi ada, bahkan ketika kita tak lagi melihatnya. Ia mungkin sedang mengamati kita sekarang, sambil tertawa kecil, memikirkan betapa anehnya hidup ini.
Tatkala gorengan terakhir di malam itu ludes, ia kembali ke kontrakan, merebus segelas teh manis murahan. Di sana, di bawah cahaya lampu redup, Kang Juhi bersiap untuk mimpi baru, dunia lain yang menunggunya untuk dikritisi.
Apakah penalarannya bisa dipertanggungjawabkan? Mungkin tidak. Tapi siapa peduli, selama gorengannya renyah.
***
Senin, 09 Desember 2024
Fufufafa
Fufufafa
Yoss Prabu
Akun Fufufafa menjadi kontroversial karena dikaitkan dengan Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden terpilih Indonesia 2024-2029. Akun ini awalnya aktif di platform Kaskus dan diduga sering mengunggah komentar negatif terhadap tokoh politik seperti Prabowo Subianto. Kontroversi memuncak setelah publik mengaitkan nomor telepon terkait akun ini dengan data pribadi Gibran, termasuk nama yang muncul dalam layanan e-wallet seperti GoPay dan OVO. Meski nama akun di GoPay diubah menjadi "Slamet," jejak digitalnya tetap memunculkan nama asli Gibran dalam beberapa kasus.
Gibran sendiri membantah keterkaitan dengan akun tersebut, meminta publik untuk langsung menanyakan kepada pemilik akun. Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, juga menyatakan bahwa belum ada bukti jelas mengenai keterlibatan Gibran.
Isu ini dinilai memiliki potensi merusak citra Gibran secara politik, terutama karena waktu kemunculannya berdekatan dengan masa pemilihannya sebagai Wakil Presiden. Selain itu, diskusi di media sosial menunjukkan kemungkinan adanya dinamika politik yang lebih besar di balik kontroversi ini.
Dunia media sosial tak pernah lepas dari cerita-cerita unik, termasuk munculnya akun-akun anonim yang menjadi pusat perhatian publik. Salah satu yang belakangan ini menarik perhatian adalah akun bernama “Fufufafa” di platform X (sebelumnya Twitter). Akun ini, meski tampak sederhana dengan profil yang tidak menonjol, memiliki daya tarik luar biasa karena konten-konten yang menggoda rasa penasaran netizen. Uniknya, nama Gibran Rakabuming Raka – Wali Kota Solo sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo – ikut terseret dalam obrolan seputar akun tersebut.
Fufufafa pertama kali mencuri perhatian karena gaya postingannya yang lugas, penuh teka-teki, dan kerap memberikan "kode-kode" tertentu. Banyak pengguna media sosial mulai berspekulasi bahwa akun ini dikelola oleh seseorang yang memiliki akses ke informasi orang dalam atau lingkaran elit tertentu. Tulisannya seringkali membahas isu-isu politik dan sosial, namun dengan pendekatan yang ringan dan cenderung menghibur.
Spekulasi menjadi semakin liar ketika beberapa pengguna menghubung-hubungkan Fufufafa dengan Gibran Rakabuming Raka. Sebagian menduga bahwa akun ini dikelola oleh orang dekat Gibran, atau bahkan oleh Gibran sendiri. Meski demikian, hingga kini tidak ada bukti konkret yang dapat mengonfirmasi keterkaitan langsung antara keduanya.
Gibran Rakabuming Raka dikenal sebagai figur publik yang aktif di media sosial. Ia kerap berinteraksi dengan warga melalui berbagai platform, mulai dari menjawab pertanyaan hingga melontarkan humor yang menggelitik. Gibran juga terkenal dengan gaya komunikasinya yang santai dan sering kali “receh”, jauh dari kesan formal yang biasanya melekat pada pejabat pemerintahan.
Namun, keterkaitan Gibran dengan akun-akun anonim seperti Fufufafa justru menjadi teka-teki yang menghibur netizen. Gibran sendiri, saat ditanya mengenai spekulasi ini, menanggapinya dengan nada bercanda. Dalam salah satu kesempatan, ia mengatakan, “Saya juga penasaran siapa itu Fufufafa,” sambil tertawa. Jawaban ini semakin memancing tawa publik sekaligus memperkuat citra Gibran sebagai pemimpin muda yang dekat dengan masyarakat.
Kehadiran akun-akun anonim seperti Fufufafa sebenarnya bukan hal baru di dunia maya Indonesia. Banyak dari akun ini menggunakan anonimitas sebagai cara untuk berbicara lebih bebas, terutama soal isu-isu politik dan sosial yang sensitif. Namun, kehadiran Fufufafa terasa berbeda karena pendekatannya yang tidak melulu serius. Akun ini justru menggunakan humor dan sindiran ringan untuk menyampaikan pesan, membuatnya lebih mudah diterima oleh khalayak luas.
Bagi sebagian orang, keterkaitan nama Gibran dengan Fufufafa hanyalah sebuah hiburan semata. Tetapi bagi yang lain, hal ini menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi medium penting dalam politik modern. Dengan gaya komunikasi yang santai dan penuh humor, sosok seperti Gibran dan akun-akun seperti Fufufafa menjadi bukti bahwa era politik formal yang kaku mulai bergeser ke arah yang lebih cair dan inklusif.
Fenomena Fufufafa menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin melek terhadap isu-isu yang terjadi di sekitarnya, tetapi tetap menginginkan hiburan di tengah arus informasi yang berat. Keterkaitan nama Gibran dalam tulisan ini, meski belum terbukti benar, menunjukkan betapa kuatnya daya tarik seorang figur publik dalam membangun narasi di media sosial.
Dalam era di mana batas antara serius dan santai semakin tipis, fenomena seperti Fufufafa menjadi pengingat bahwa media sosial bukan hanya tempat berbagi informasi, tetapi juga ruang untuk berinteraksi, berhumor, dan berbagi keresahan bersama. Dan di tengah semuanya, Gibran Rakabuming Raka hadir sebagai tokoh yang memahami dinamika ini, menjadikannya bagian dari strategi untuk terus dekat dengan masyarakat.
Akun Fufufafa mungkin hanyalah satu dari sekian banyak fenomena internet, tetapi ceritanya adalah cerminan bagaimana media sosial bisa menjadi panggung yang besar, bahkan bagi mereka yang anonim. Dan ketika nama Gibran terhubung, panggung itu terasa semakin menarik.
Sabtu, 07 Desember 2024
Mundurlah, Gus
Mundurlah, Gus.
Yoss Prabu
Gus, nama Anda telah menggaung sebagai tokoh penting dalam dunia dakwah dan agama. Tidak hanya dikenal sebagai seorang kyai kondang, Anda juga memiliki posisi penting yang cukup strategis di negeri ini. Namun, dengan segala hormat, ada baiknya kita bersama-sama merenungkan satu hal. Apakah kehadiran Anda sebagai pejabat publik benar-benar masih membawa manfaat sebesar saat Anda murni berdakwah sebagai ulama?
Sebagai ulama yang disegani, Anda menjadi panutan bagi banyak orang. Tapi, ketika seorang ulama terjun sebagai pejabat, dengan posisi penting, situasinya tidak sesederhana ceramah di atas podium. Ada konsekuensi besar yang menyertai, baik terhadap nama baik Anda maupun pesan yang selama ini Anda sampaikan. Banyak yang mulai mempertanyakan: apakah Anda masih menjadi ulama yang teguh, atau justru mulai terlalu dekat dengan lingkaran kekuasaan?
Sebagai ulama, tugas Anda adalah menuntun umat. Tapi, ketika jabatan publik menjadi bagian dari kehidupan, fokus itu pun mulai terpecah. Bagaimana mungkin seseorang bisa sepenuh hati mendampingi umat jika waktu dan perhatian terpecah antara tanggung jawab agama dan urusan jabatan? Bukankah tugas Anda lebih mulia ketika sepenuhnya berdakwah?
Jabatan, sering kali penuh godaan. Banyak tokoh besar sebelum Anda yang akhirnya terseret arus kepentingan politik, hingga melupakan akar perjuangannya. Harapan umat kepada Anda sangat besar, Gus. Mereka ingin melihat yang tulus menyuarakan kebenaran tanpa beban jabatan.
Dulu, Anda dihormati sebagai ulama yang tegas, sederhana, dan membumi. Namun, sejak masuk ke ranah jabatan, banyak yang mulai mempertanyakan apakah semua langkah Anda murni untuk umat atau untuk menjaga hubungan dengan para pejabat lainnya. Ini bukan tuduhan, Gus, melainkan keprihatinan dari mereka yang mencintai Anda sebagai ulama.
Ketika seorang tokoh agama seperti Anda berada di lingkaran kekuasaan, banyak yang akhirnya melihat Anda sebagai bagian dari sistem itu. Sistem yang, celakanya, sering kali dianggap kurang berpihak kepada rakyat kecil. Bukankah lebih baik bagi seorang ulama untuk tetap menjaga jarak dari kekuasaan agar suaranya tetap murni?
Mungkin ini saat yang tepat untuk merenung. Apakah dengan bertahan di jabatan tersebut Anda masih bisa menjalankan peran sebagai ulama yang independen? Ataukah justru Anda akan terjebak dalam rutinitas duniawi yang akhirnya merusak kepercayaan umat?
Mundur dari jabatan bukanlah tanda kelemahan, Gus. Justru itu adalah bentuk keberanian dan kebesaran hati. Anda akan dikenang sebagai seorang ulama yang memilih kehormatan dan pengabdian kepada umat di atas segalanya.
Gus, kami tidak membenci Anda. Justru kami sangat menghormati Anda. Karena itu, kami ingin melihat Anda kembali pada jalan yang selama ini Anda tempuh sebagai seorang ulama yang mencintai umatnya. Lepaskan beban jabatan yang hanya akan membatasi langkah Anda. Kembali ke pangkuan umat yang selalu menunggu pencerahan dari Anda.
Mundurlah, Gus. Bukan karena Anda tidak mampu, tapi karena umat membutuhkan Anda lebih besar sebagai ulama daripada seorang pejabat. Dan bukankah, mengabdi kepada umat adalah jalan terbaik menuju keberkahan?
Namun juga sangat penting untuk diingat, akankah nama besar Anda tetap menggaung di hati dan jiwa para pemuja Anda?
Salam hormat dan harapan, dari mereka yang selalu suka dengan ceramah-ceramah Anda.
Senin, 02 Desember 2024
Refleksi Diri di Akhir Tahun
Refleksi Diri di Akhir Tahun
Mari sejenak kita merenung. Akhir tahun selalu membawa suasana yang khas. Lampu-lampu yang menghias sudut-sudut kota, alunan musik yang mengiringi langkah kaki di pusat perbelanjaan, hingga berbagai resolusi yang mulai tersusun dalam pikiran. Pun tidak ketinggalan, akhir tahun juga selalu dimeriahkan banjir dan longsor di mana-mana, gunung yang erupsi di berbagai wilayah. Tentunya bagi sebagian orang, ini adalah waktu yang tepat untuk merayakan pencapaian. Namun bagi yang lainnya lagi, ini adalah momen yang tepat untuk mengevaluasi diri, merangkum, dan merenungkan perjalanan yang telah dilalui.
Refleksi diri di akhir tahun menjadi semacam ritual yang tak terucap. Tanpa perlu banyak upacara, kita mulai menengok ke belakang, menyusuri jejak-jejak yang telah tertinggal selama 12 bulan terakhir. Mungkin ada kenangan manis yang ingin kita ulang, atau justru luka yang ingin kita tutupi dengan perban waktu.
“Sudah sejauh mana aku berjalan?” Barangkali menjadi pertanyaan pertama yang terlintas. Tahun ini mungkin terasa seperti perjalanan panjang yang penuh liku. Ada momen-momen di mana kita merasa berada di puncak dunia – mendapatkan promosi yang diimpikan, menjalin hubungan baru, atau meraih pencapaian akademik yang diusahakan selama bertahun-tahun.
Tapi ada pula saat-saat ketika semuanya terasa runtuh. Mungkin ada kegagalan yang membuat kita meragukan diri sendiri, kehilangan yang meninggalkan lubang dalam hati, atau keputusan yang ternyata salah arah. Semua ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak terpisahkan.
Dalam refleksi diri, kita belajar untuk menerima bahwa hidup bukanlah garis lurus. Ada kalanya kita harus tersesat untuk menemukan jalan baru. Seperti pepatah mengatakan, “Terkadang, kita harus kehilangan sesuatu untuk menemukan hal yang lebih berharga.”
Setiap pengalaman, baik atau buruk, selalu membawa pelajaran. Refleksi diri bukan hanya tentang mengingat apa yang telah terjadi, tetapi juga memahami makna di baliknya.
Kadang pula, kita perlu memberi waktu bagi diri sendiri untuk tumbuh dan berkembang. Ada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Belajar menerima dan berdamai dengan kenyataan adalah bentuk kedewasaan yang sulit, tetapi sangat berarti. Di balik kesibukan dan masalah, selalu ada hal-hal kecil yang patut disyukuri. Seulas senyuman dari orang-orang sekitar, dukungan dari teman dekat, atau bahkan waktu luang untuk diri sendiri.
Setelah mengevaluasi, langkah berikutnya adalah menyusun harapan. Resolusi tahun berikutnya bukanlah sekadar daftar target yang harus dicapai, melainkan kompas yang memberikan arah dalam perjalanan hidup kita.
Cobalah bertanya pada diri sendiri. Apa yang ingin aku perbaiki dari diriku? Apa kebiasaan baru yang ingin aku kembangkan? Bagaimana aku bisa lebih berkontribusi bagi orang-orang di sekitarku?
Tidak perlu menargetkan perubahan besar. Terkadang, langkah-langkah kecil justru lebih mudah dijalani dan berdampak besar dalam jangka panjang. Mengganti kebiasaan malas dengan membaca buku, lebih sering berbicara dari hati ke hati dengan keluarga, atau menyisihkan waktu untuk meditasi atau lebih mendekatkan diri pada Tuhan, bisa menjadi awal yang sangat baik.
Refleksi diri di akhir tahun bukan tentang melihat ke belakang dengan penyesalan, melainkan dengan rasa syukur. Setiap momen – baik ataupun buruk – adalah potongan puzzle yang menyusun siapa kita hari ini.
Maka, di penghujung tahun ini, luangkan waktu sejenak. Duduklah dengan tenang, tarik napas dalam-dalam, dan biarkan pikiran kita menyusuri kenangan yang telah berlalu. Karena dalam refleksi, kita bukan hanya melihat kembali, tetapi juga menemukan versi diri yang lebih baik untuk melangkah ke tahun berikutnya.
Selamat menyusun kembali potongan-potongan puzzle kehidupan, dan kita songsong tahun berikutnya dengan penuh harapan.
Senin, 11 November 2024
Kepahlawanan Telah Mengalami Pergeseran Makna
Di era modern ini, makna kepahlawanan telah mengalami pergeseran yang signifikan. Jika dulu pahlawan identik dengan sosok pejuang kemerdekaan atau tokoh yang mengorbankan jiwa raganya di medan perang, kini definisi tersebut meluas dan mencakup berbagai bentuk keberanian dan pengorbanan untuk orang lain. Kepahlawanan di zaman sekarang mencerminkan sikap dan tindakan yang penuh keikhlasan untuk kepentingan bersama, meskipun mungkin tidak selalu terlihat besar atau heroik.
Pada era ini, pahlawan bisa muncul di lingkungan yang tak terduga, dari kalangan yang mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Orang-orang biasa seperti tenaga medis, guru, relawan, aktivis sosial, hingga tetangga yang peduli sesama kini bisa disebut sebagai pahlawan. Pahlawan adalah mereka yang berani mengambil tindakan nyata untuk membuat perubahan di masyarakat, sekalipun tantangan yang mereka hadapi besar.
Misal, selama pandemi COVID-19, tenaga medis menjadi garda terdepan dalam merawat pasien dan mencegah penyebaran virus, seringkali dengan mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan keselamatan pribadi. Sikap tidak mementingkan diri sendiri dan dedikasi mereka dalam memberikan layanan kesehatan yang baik di tengah risiko yang begitu tinggi adalah contoh nyata dari kepahlawanan di masa kini.
Di tengah berbagai ketidakadilan dan permasalahan sosial yang terjadi, para aktivis sosial dan lingkungan kerap tampil sebagai pahlawan modern. Mereka memperjuangkan hak asasi manusia, kesetaraan, dan keadilan sosial, serta menjaga lingkungan agar tetap lestari bagi generasi mendatang. Berbagai upaya yang mereka lakukan tidak jarang menghadapi rintangan, namun para aktivis ini tetap berjuang dengan penuh keberanian.
Pahlawan-pahlawan seperti ini sering kali bekerja tanpa mengharapkan penghargaan atau sorotan publik. Mereka memberikan suara kepada yang tak bersuara, membantu kelompok rentan, dan menciptakan ruang untuk perubahan positif. Contohnya adalah para aktivis lingkungan yang memperjuangkan pelestarian hutan dan laut, mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga kelestarian alam yang semakin terancam oleh perkembangan industri dan perubahan iklim.
Kemajuan teknologi digital juga menghadirkan tantangan tersendiri, dan di sini pun kita menemukan pahlawan-pahlawan modern. Pekerja dan penggiat yang peduli dengan perlindungan data pribadi, keamanan dunia maya, dan literasi digital bekerja keras untuk menjaga keamanan dan kenyamanan pengguna internet. Selain itu, banyak individu yang secara aktif menggunakan platform digital untuk menyebarkan informasi, menggalang solidaritas, dan melakukan aksi sosial di dunia maya.
Di era di mana informasi sering kali membingungkan dan hoaks mudah tersebar, peran para edukator digital dan aktivis media sangat penting. Mereka membantu masyarakat memilah informasi yang benar dan edukatif, menciptakan lingkungan online yang sehat, serta mendorong orang untuk menggunakan internet secara bijak.
Pada akhirnya, makna kepahlawanan di era sekarang ini berkaitan erat dengan keberanian untuk berbuat baik dan kepedulian terhadap orang lain. Pahlawan modern mungkin tidak selalu berdiri di bawah sorotan atau dikenali oleh banyak orang, namun tindakan mereka memberikan dampak yang mendalam bagi masyarakat. Mereka yang berani keluar dari zona nyaman untuk membantu orang lain, mendukung keadilan, dan mempromosikan kesejahteraan bersama adalah pahlawan sejati di masa kini.
Kepahlawanan tidak lagi hanya tentang pengorbanan fisik, tetapi juga pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran demi tujuan yang lebih besar. Di tengah kehidupan yang semakin sibuk, mereka yang mau meluangkan waktu dan energi untuk kebaikan orang lain adalah inspirasi bagi kita semua. Kepahlawanan, pada dasarnya, tetap berkisar pada keberanian untuk melawan ketidakadilan, menciptakan perubahan, dan menunjukkan cinta kepada sesama dalam berbagai bentuk dan wujud.
Jumat, 08 November 2024
Memetik Pelajaran dari Kegagalan
Memetik Pelajaran dari Kegagalan
Kekalahan bukanlah aib. Dan ketika semua orang bercerita tentang kemenangan, saya malah lebih suka bercerita tentang sebuah kekalahan.
Terkadang kita berpikir, “Kalah. Ya, sudahlah. Berarti tidak bisa.”
Namun kekalahan Kamala Harris, itu tidak sesederhana antara kalah dan menang. Lebih sebagai riwayat tentang perjuangan, representasi, dan mimpi yang dipunyai banyak orang. Terutama mereka yang merasa tidak pernah terlihat atau terdengar. Kamala itu bagai simbol untuk kebanyakan masyarakat Amerika yang betul-betul ingin adanya perubahan. Perempuan berkulit sawo matang yang sebelumnya menduduk posisi wakil Joe Biden ini, itu bukan hal yang biasa.
Kamala Harris ini tidak hanya sebagai orang biasa yang beruntung mendapatkan posisi tinggi. Dia perempuan keturunan India-Jamaika, orang yang mungkin dulunya tidak dianggap, tapi ternyata bisa sampai pada titik tertinggi. Wakil Presiden Amerika Serikat ke-49. Perempuan pertama berkulit hitam itu telah melewati banyak rintangan. Bukan hanya persoalan gender, tapi juga soal ras. Banyak orang melihat, mantan Senator Amerika Serikat dari California (2017-2021) ini, sebagai wujud nyata dari banyak mimpi mereka. Jadi, andai Kamala kalah, hal itu seperti turut menghancurkan mimpi mereka yang selama ini banyak berharap pada dia.
Tapi sebetulnya, kekalahan ini lebih dari sekadar kehilangan posisi. Ini adalah pembuktian kalau perubahan itu tidak bisa instan. Mungkin ya, kita tidak akan langsung dapat semua yang kita inginkan. Namun perjalanan Kamala, meski berakhir kalah, itu memberi pelajaran soal ketabahan dan ketegaran. Kekalahan dia, jadi pengingat untuk semua orang yang punya mimpi besar tapi sering kali jatuh.
Bayangkan, perempuan yang lahir pada 20 Oktober 1964 di Oakland-California ini, sudah berjuang, sudah berdiri di panggung, sudah didukung oleh masyarakat yang ingin Amerika berubah. Dan meskipun akhirnya kalah, perjalanan Kamala tetap punya banyak arti. Bukan berarti karena kalah, akhirnya tidak ada perubahan. Malah, dia telah membuat setiap orang jadi sadar kalau ada yang masih perlu diperjuangkan di politik. Kesetaraan gender, representasi kulit berwarna, isu-isu sosial – itu semua tetap relevan dan layak untuk diperjuangkan, meski pun mungkin jalannya masih panjang.
Apabila dilihat dari sudut pandang humanis, kekalahan Kamala Harris ini mengajarkan pada kita. Apabila gagal, itu bukan akhir segalanya. Ini hanya salah satu bagian dari hidup yang, mau tidak mau, pasti pernah kita lewatkan. Gagal itu cuma bagian kecil. Kecil. Tapi cara kita menghadapi kegagalan itulah yang membuat hidup ini lebih punya arti. Kamala memang kalah, tapi inspirasi yang dia tebarkan, tidak akan pernah hilang. Dia telah membuka pintu sangat lebar, untuk banyak orang seperti dia, yang selama ini tidak memilik suara atau tempat di politik.
Siapa pun akan melihat Kamala sebagai sosok yang pernah berjuang untuk sesuatu yang besar, dan mungkin itu yang membuat kekalahan ini tidak sepahit sebagaimana mestinya. Bahkan, justru menjadi pembuka jalan untuk para perempuan di mana pun yang merasa terpinggirkan untuk berani berani bermimpi.
Intinya, kekalahan mantan Jaksa Agung California periode 2011-2017 itu, telah mengingatkan siapa pun, bila impian tidak bisa diraih dalam sekali jalan. Perjuangan harus terus dijalankan, walau acap kali gagal. Siapa saja yang melihat Kamala dapat belajar kalau mimpi besar, tidak muncul begitu saja tanpa harga. Namun juga sering butuh waktu. Meski kalah, Kamala tetap dapat membuktikan kalau perempuan kulit berwarna, juga punya tempat di dunia yang selama ini didominasi kulit putih.
Kekalahan itu cuma akhir sementara. Besok, atau lusa. Barangkali bakal ada Kamala-Kamala lain, yang dapat meneruskan misi yang dia mulai. Karena dalam dunia yang tidak sempurna ini, perjuangan selalu lebih penting ketimbang hasil akhir.
Yang pasti. Menurut tetangga saya, “Kekalahan Kamala Harris membuktikan bahwa, rakyat Amerika belum sudi dipimpin seorang perempuan. Apa pun warna kulitnya.”
Jakarta, 09 November 2024
Yoss Prabu
Langganan:
Postingan (Atom)
Hilangnya Budaya Saling Support
Hilangnya Budaya Saling Support Dulu, di sebuah kampung kecil yang dipenuhi sawah hijau dan angin sepoi-sepoi, ada budaya unik yang membuat...
-
Romantisme di Balik Hujan November selalu punya keistimewaan. Bagi sebagian orang tentunya. Sebab ketika banyak yang beranggapan, No...