Rabu, 25 Mei 2022

Debu-Debu Metropolitan


Jalanan sebagai orangtua haramnya juga telah mengendapkan ampas-ampas kerinduan untuk sebuah impian masa depan. Itong nyaris tidak memiliki itu walau hanya sekedar beberapa lembar gambaran. Bagi Itong, masa depan hanyalah sekedar omong kosong belaka. Masa depan, hanya semboyan tanpa makna. Sebab masa depan yang ia tahu adalah menggelandang di jalanan. Dengan menggelandang di tengah kehiruk-pikukan Jakarta sebagai pengamen bus kota, ia bisa mendapat sebungkus sarapan untuk hari ini. Bukan harapan. Bukan harapan yang menggumpal, yang muluk-muluk, yang setinggi langit atau sebagai dongeng pengantar tidur. Tidak. Karena Itong memang tidak pernah tahu tentang arti sebuah harapan. Harapan senyatanya, yang bukan hanya sekedar hiasan dan kiasan. Tapi harapan yang muncul di tengah keabu-abuan situasi dan keadaan. Bocah Itong melakoni hidup apa adanya, sesuai kodratnya sebagai anak-anak. Anak-anak yang terbina oleh kerasnya hidup di jalanan.

Lalu siapakah Itong? Baca saja novel ini. 

Sabtu, 06 Maret 2021

Selamat Pagi

Selamat Pagi

 

Kusibak kabut yang menggantung.

Kutatap pagi yang redup.

 

Lembapnya terasa segar di sela rintik yang malu-malu. Seperti wajahmu, yang selalu menunduk saat kutatap.

 

Ada apa?

 

Tegakan wajahmu. Tebar senyum manismu.

Biarkan dunia terpesona. 

 

Agar pagi tak lagi redup. Supaya kabut menjadi sirna, ditepis rasa bahagia memandangmu.

 

Dan dunia memang tercengang. Ketika engkau tersipu.

 

Kilau kekuningan di ufuk barat adalah bukti, senyummu milik semesta.

 

Tersenyumlah. Tegakan wajahmu. Tatap mataku.

Dan ucapkan, “Kau memang bajingan yang romantis.”

 

Jakarta, 25 Februari 2021

Selasa, 16 Februari 2021

Cygnus Atratus


Telah terbit buku antologi cerpen: Cygnus Atratus. Kumpulan cerpen seputar pandemi covid-19. Ada cerpen Yoss Prabu di antara dua sutradara film dan sinetron, FX Purnomo dan Dimas Jayadinekat. Buku keren. Jangan sampai gak punya.

Info pemesanan: Ibu Melly Waty di nomor WA: +62 821-1186-5575


Minggu, 19 April 2020

CARA MENULIS NOVEL BAGI PEMULA

Tulisan ini saya buat ketika saya menjadi anggota dari sebuah grup WA yang admin-nya secara kurang ajar mendaulat saya untuk menjadi narasumber. Mereka meminta saya untuk membuat makalah tentang: Bagaimana Menulis Novel Bagi Pemula. Namun saya pun merasa tidak enak hati untuk menolak. Jadi, saya kabulkan permohonan itu dan inilah tulisannya.  

CARA MENULIS NOVEL BAGI PEMULA

Sebelum kita mulai, terlebih dahulu saya ingin bernarsis ria tentang saya. Perkenalkan nama saya Yoss Prabu. Aktivis teater (tadinya). Pernah mempunyai grup teater dan melatih hingga beberapa tahun. Tidak ada perkembangan positif lalu beralih kegiatan. Menjadi jurnalis pada 2 (dua) majalah yang nggak ngetop. Yaitu majalah Detektif Romantika (majalah hukum dan kriminal) dan majalah Lengsuir (majalah tentang hal-hal gaib dan berbau klenik). Seputar dunia perdukunan, begitu kira-kira. Namun akibat pengelolaannya yang buruk, kedua majalah itu pun gulung tikar. Nah, dari situlah bakat menulis saya terpupuk. 

Saya tidak pernah belajar bahasa Indonesia secara formal, seluruhnya autodidak. Itu karena saya senang membaca. Berawal dari majalah anak-anak, berlanjut ke majalah remaja. Majalah-majalah itu hingga sekarang masih eksis. Lalu, ketika meningkat memasuki usia dewasa, saya pun memulai membaca secara serius. Artinya, mulai selektif. Tidak asal sekedar membaca. Sebuah majalah politik yang pernah dibredel pemerintah namun berhasil terbit kembali, menjadi bacaan utama saya ketika itu. Lalu ditambah dengan membaca koran harian berskala nasional, yang saya anggap nyaris sempurna dalam hal penyajian bahasanya. Nah, dari kedua media cetak itulah saya belajar, belajar tentang bahasa. Dari majalah - enak dibaca dan perlu - itu saya belajar tentang jurnalisme sastra, dari koran harian saya belajar tentang: menulis yang baik dan benar. Saya yakin, semuanya paham tentang kedua media cetak itu. Selebihnya, saya belajar dari internet. 

Begitulah, saya terus membaca. Pun membaca novel-novel best seller karya pengarang ternama. Kebanyakan pengarang luar yang karya-karyanya meledak dipasaran dan banyak difilmkan. Sehingga membuat keinginan lain untuk menjadi pengarang kian menggebu. Dengan asumsi, toh, saya pernah menjadi jurnalis merangkap anggota redaktur. Di luar negeri, redaktur disebut editor. Manusia yang berhak menentukan, apakah sebuah tulisan dapat dimuat di media atau tidak. Malah saya lebih sering berbuat "gila", dengan menerima sebuah tulisan berita yang sedemikian amburadulnya dari seorang reporter muda, hanya atas dasar kasihan. Lalu meraciknya menjadi sebuah tulisan yang layak dibaca. 

Dari semua aktivitas itu, saya menganggap diri saya bisa menulis. Di situlah letak narsismenya saya. Maka saya pun terus menulis. Dan saya memilih, menulis novel. 

Lalu ketika ada pertanyaan, bagaimana menulis novel, khususnya bagi pemula? 
Bagi saya itu hal mudah, awali saja dahulu dengan keinginan menulis. Keinginan yang kuat. Sebab menulis tanpa bekal itu semua - terutama menulis novel - kamu hanya akan kelelahan di tengah jalan. Dan akhirnya menyerah. 
Sekarang, kita telaah dulu, "Apa itu novel?" 

Baik. Saya kutip pernyataan Tante Wiki (Wikipedia). Novel adalah karangan prosa yang panjang. Mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya, dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Penulis novel disebut novelis. 

Novel, digambarkan memiliki "sejarah yang berkelanjutan dan komprehensif selama sekitar dua ribu tahun". Pandangan ini melihat novel berawal dari Yunani dan Romawi Klasik, abad pertengahan, awal roman modern. 
Dalam novel, "peristiwa-peristiwanya adalah rentetan peristiwa biasa dalam kehidupan manusia dan keadaan masyarakat saat itu". 

Tetapi, banyak roman, termasuk roman-roman historis karya Scott, Wuthering Heights karya Emily Brontë dan Moby-Dick karya Herman Melville, sering juga disebut novel. 

Atau dengan kata lain, novel adalah narasi fiksi yang panjang. Yang menceritakan pengalaman manusia secara lebih dekat. Dan novel di era modern biasanya menggunakan gaya prosa sastra dan pengembangan novel bentuk prosa tersebut saat ini telah didukung dengan inovasi-inovasi dalam dunia percetakan dan diperkenalkannya kertas murah pada abad ke-15. 

Sementara panjang sebuah novel masih menjadi perdebatan, menjadi hal penting karena kebanyakan penghargaan sastra menggunakan panjang, sebagai kriteria dalam sistem penilaian. Namun bagi kebanyakan penerbit, apalagi di Indonesia, naskah novel harus di atas 150 halaman. Format A4, dengan besar huruf 12%, Time New Roman, jenis hurufnya. Sudah menjadi ketentuan baku. Kalau kurang, belum layak disebut novel. Kalau lebih? Bikin saja 2 (dua) jilid. Beres. 
Jadi bagi kamu yang ingin menulis novel, apa yang harus dilakukan? Jawabannya, mulailah menulis. Akan tetapi tentunya, kamu juga harus menentukan temanya terlebih dahulu. Baru setelah itu membuat sinopsis. 

Nah, satu-satu dulu. Apa itu tema? Juga menurut Tante Wiki, tema merupakan suatu gagasan pokok atau ide pikiran tentang suatu hal. Tema sangat dianjurkan karena merupakan fondasi dari sebuah tulisan. Tema merupakan hal paling utama yang akan dilirik oleh para pembaca. Jika temanya menarik, maka akan memberikan nilai lebih pada tulisan tersebut. Baru setelah itu membuat sinopsis. 

Lalu apa itu sinopsis. Ini saya kutip dari sebuah situs: Sinopsis merupakan ringkasan cerita dari sebuah novel atau gambaran isi dari suatu cerita secara garis besarnya. Jadi, buatlah sinopsis. 
Setelah sinopsis jadi, simpanlah untuk dijadikan pegangan. Karena membuat novel merupakan sebuah perjalanan panjang yang melelahkan. Membutuhkan kekuatan, ketelitian, ketabahan dan kesabaran. Butuh daya tahan luar biasa. Kalau tidak, akan berisiko menjadi jomblo awet. Lho? Naskahnya, maksudnya. 
Baik kita lanjutkan. 

Setelah bayangan cerita terkumpul di benak, pertama-tama buatlah alur cerita. Atau biasa disebut outline atau kerangka cerita. Outline adalah struktur dari cerita yang akan ditulis. Bisa pula dikatakan skema, atau draft atau konsep. 
Namun ada baiknya kita buat dulu para tokohnya. Siapa saja yang akan berperan dalam cerita yang akan kamu buat. Kalau saya membuatnya seperti ini. Misal. 
- Nuniek (misal): tokoh utama. Seorang anak dari keluarga kelas menengah. Beruntung bisa kuliah. Lalu tambahkan tokoh lain. Ayahnya, Mamahnya, adik atau kakaknya. Terserah, sesuaikan saja menurut cerita. 

Lalu kemungkinan ada tetangga, teman, dosen, sopir angkot atau lain-lainnya. Terserah pengarang. 
Baru setelah itu buat susunan kerangka cerita. Pertama-tama, bagi alur cerita dalam tiga bagian. Dapat pula disebut bab. Mulai dari yang termudah. Gunakan tiga bab saja. Itu standarnya. Berisi: pembukaan, isi cerita dan terakhir penutup. Yang paling baik, 30% untuk pembukaan, 40% isi dan 30% penutup. Itu sekedar acuan. Pada praktiknya, terserah kepada pengarang itu sendiri. 

Sekarang kita buat per adegan. Ini untuk memudahkan perbaikan apabila ada yang harus direnovasi atau direhabilitasi. Diperbaiki maksudnya. Misal seperti ini. 
1. Nuniek (sang tokoh utama) baru bangun tidur. Dan ia langsung membuat rencana hari ini. Kemudian ceritakan bagaimana Nuniek membuat rencana (entah itu melalui imajinasi) atau tindakan langsung. Misalnya, dengan masih telentang di tempat tidur, ia menyusun rencana. Bisa dalam imajinasi, bisa pula melalui gumaman. 

"Oh, ya. Hari ini aku harus ke toko buku. Ada buku yang harus kubeli. Materi buku itu sangat cocok untuk membuat naskah novel. Yang telah lama kususun dan kurencanakan." Begitu, misalnya. 
Atau melalui tindakan langsung. 
Nuniek terkejut ketika ia membuka matanya dan langsung tersadar bahwa ia harus ke toko buku secepatnya. Tak ada waktu untuk mandi pagi, demikian gumamnya. Maka dengan hanya menggosok gigi dan membasuh tubuh ala kadarnya, Nuniek segera mengganti pakaian dan langsung bergegas menuju halaman rumah. Melupakan sarapan paginya yang telah tersedia di meja makan, dan berlagak tidak mendengar ketika mamahnya berteriak-teriak memanggil. Nuniek melesat dengan motor bebeknya membelah kepadatan lalu lintas yang memusingkan. Begitu kira-kira. 

Buat itu satu setengah halaman. (Saya melakukan seperti itu. Karena terbiasa membuat naskah berita. Padat, ringkas dan langsung ke tujuan. Ketika saya menjadi redaktur). 

Adegan ke-2, misalnya. Nuniek sedang berada di toko buku. Atau Nuniek kesal karena diajak ngobrol sama mamahnya. Atau, ia baru tersadar kalau terlalu lama membuat rencana di tempat tidur. Dan empat jam ia belum melakukan apa pun. 
Yang ke-3 dan seterusnya. Apabila satu adegan butuh satu setengah halaman, berapa adegan yang diperlukan untuk 150 halaman. Ya tinggal dibagi saja. 150 dibagi 1,5 = 100. Jadi kamu harus membuat 100 adegan untuk memenuhi kuota standar halaman naskah novel. Itu kalkulasi kasar. Pada perjalanannya semuanya akan berubah. Artinya, adegan satu hingga 10 misalnya, kamu bisa konsisten 1,5 halaman dalam menulis. Namun, bisa pula terjadi, ini kalau mood sedang gencar, kamu bisa membuat satu adegan 2 hingga tiga halaman. Kemungkinan yang terjadi, kamu akan menulis lebih dari 150 halaman. Keren, kan? Tidak apa-apa. Menulis saja dulu. Tambahan lain, apabila kamu telah berhasil menyelesaikan satu bab dengan 30 adegan misalnya, maka pada bab ke-2 nomor adegan tinggal lanjutkan menjadi 31. Dan seterusnya. 
Lalu susun hingga cerita berakhir. Dan berhentilah ketika halaman naskah telah melebihi 150. 

Setelah itu? Endap naskah 2 atau tiga hari. Ketika naskah dibuka 3 hari kemudian maka kamu akan melihat naskah secara obyektif. Akan melihat dari sudut pandang orang lain. Kurang lebihnya akan terlihat jelas. Jadi, jangan ragu untuk memperbaiki. 
Mudah, kan?! 

Namun. Adakalanya, kita sebagai pengarang yang notabene juga manusia, sesekali suka mengalami apa yang namanya kebuntuan imajinasi. Istilah kerennya, writer’s block. 
Molly Cochran, penulis trilogi novel The Forever King, mengatakan bahwa writer’s block bisa muncul karena 5 (lima) sebab. 
Antara lain: 
-    Tidak ada inspirasi. Dengan kata lain kamu tidak tahu apa yang harus kamu tulis. 
-    Keragu-raguan. Kamu tahu apa yang ingin kamu tulis, tapi bingung bagaimana cara menyampaikannya.
-    Perfeksionisme. Kamu terlalu khawatir akan kualitas tulisanmu, sehingga terus-menerus merevisi tanpa menulis hal baru.
-    Opini orang. Kamu takut para pembaca akan mengkritisi karyamu, atau tidak menyukainya.
-    Performa. Meski kamu merasa ide tulisanmu bagus, kamu takut ide tersebut tidak bisa menghasilkan uang. 
Jadi bila sudah demikian, apa yang harus dilakukan. 
Masih menurut Molly Cochran, lakukanlah hal di bawah ini. 
 
Freewriting (menulis bebas)
Ini cara yang cukup banyak direkomendasikan oleh sesama penulis, juga merupakan cara yang saya sendiri sukai. Bila kamu merasa kesulitan menulis sebuah cerita, tinggalkan cerita itu dan pergilah menulis hal lain untuk sementara. 

Lupakan kualitas. Lupakan tanda baca, EYD atau PUEBI, dan segala aturan lainnya. Tulis apa saja yang kamu pikirkan, agar imajinasimu kembali segar. Dengan menulis sebebas-bebasnya, kamu akan kembali merasakan kesenangan dalam menulis. 
 
Membuat kerangka (outline)
Memikul sebuah ide besar bisa membuat otakmu lelah. Lebih baik kamu memecahnya menjadi potongan-potongan kecil, dan mengembangkannya dari sana. Selain membuat topik itu lebih mudah diproses, kamu sekaligus juga membuat referensi agar isi tulisanmu konsisten.
 
Membaca Buku
Ya, tulisan orang lain adalah sumber inspirasi yang berharga. Bila kamu bingung tentang apa yang harus kamu tulis, kamu bisa membaca buku dengan topik serupa. Tapi ingat, mengambil inspirasi tidak sama dengan menyontek.
Membaca buku akan memancing aliran imajinasimu 
 
Hilangkan Gangguan
Tutup browser internetmu. Matikan smartphone. Pergi ke tempat yang jauh dari keramaian. Meski kecil, gangguan-gangguan yang menumpuk dalam jumlah banyak dapat mengganggu konsentrasimu.
 
Masih banyak lagi cara-cara yang bisa kamu gunakan untuk melawan writer’s block, tapi semua cara ini akhirnya akan berujung pada satu hal: tetap menulis.
Writer’s block tidak akan hilang bila kamu hanya diam dan menunggu inspirasi. Kamu harus terus menulis, meski itu sesuatu yang tidak nyambung, tidak bagus, dan tidak layak jual.
 
Cara mengalahkan writer’s block adalah dengan menulis.
Barangkali apabila terus menulis, ketika idemu mampat akan membuatmu merasa kurang percaya diri. Tapi sesungguhnya, menulis sesuatu yang jelek itu jauh lebih baik daripada tidak menulis sama sekali. Lagi pula bila tulisanmu jelek, kamu tinggal melakukan revisi nantinya. Jadi jangan takut menulis.
Writer’s block bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Setiap penulis, mulai dari yang sudah best seller sampai yang baru belajar, bisa mengalaminya. Perbedaannya, penulis profesional akan berjuang mengalahkannya, sementara penulis amatir hanya bisa diam tak berdaya. 
Di atas itu menurut para penulis profesional. Kalau menurut saya - satu dua nyaris sama dengan para penulis kampiun itu. Pertama cobalah jalan-jalan. Cari tempat yang membuat pikiran kamu terbuka dan kembali segar. Jalan-jalan nemuin mantan, lalu mengenang masa lalu. Lho? Bukan. Nggak. Jangan! Nanti malah jadi kacau. Ujung-ujungnya malah gak nulis-nulis. 
Jalan-jalan, cari udara segar dan suasana baru. Ke mal, bisa. Ke bioskop, mungkin. Coba saja. Kalau saya, menonton film yang saya sukai bisa membuat adrenalin kembali menggelegak dan kepinginnya buru-buru kembali ke laptop. 

Membaca buku. Salah satu pilihan, yang dapat membuat inspirasi kembali hinggap di kepala. Kalau kamu sedang membuat novel, cobalah membeli satu novel best seller dari pengarang ternama, yang genrenya sama dengan cerita yang sedang kamu tulis. Saya yakin, sebelum isi novel itu habis kamu lalap, inspirasi sudah keburu muncul. 

Atau hal lain yang tidak kalah mujarab sebagai obat, cobalah berolah raga. Lari pagi, jalan cepat atau latihan silat, misalnya, kenapa tidak lakukan saja. Oke? 
Bagaimana denganmu? Apakah kamu siap menjadi penulis profesional? Maka mulailah menulis. 
 
Jakarta, 19 April 2020
Yoss Prabu 

Jumat, 09 Agustus 2019

SUARA-SUARA MATI

                    SUARA-SUARA MATI

                    Karya Manuel van Loggem


                    DEKOR RUANGAN INI MERUPAKAN KAMAR YANG
                    BERNUANSAKAN KEMURAMAN, DENGAN KURSI-KURSI YANG
                    BERAT. RUANGAN INI RUANGAN BACA ‘BIBILIOTEK’ UNTUK
                    AKSEN PRIBADI YANG LEBIH NYATA PADA TOKOH SUAMI.
                    DAN LEBIH PENTING DAPAT MENGGUGAH KENANGAN MASA
                    SILAM DIMANA SAHABAT SERING KALI MENGUNJUNGI
                    TEMPAT ITU. PINTU CUMA SATU DIBAGIAN BELAKANG,
                    SEBAB KELUAR MASUKNYA ORANG-ORANG DALAM DRAMA INI
                    PENTING SEKALI. RUANGAN SANGAT TERATUR DAN PENUH
                    SELERA.

          ISTRI
               Jadi keluar sendiri lagi kau, Pak?

          SUAMI
               Ya, manis! Dan seperti yang kau lihat, dapat juga. Yah,
               ingin aku sekali-sekali tak perlu dipapah orang lain
               kalau berjalan. Ingin sekali-sekali aku tinggal
               sendirian.

          ISTRI
               Tidakkah kau merasa sakit?

          SUAMI
               Bukan main! Sekarang pun masih terasa.

          ISTRI
               Baiklah. Aku tolong kau.

                                 

                                   ISTRI MENUNTUN SUAMINYA. PERLAHAN
                                   MENUJU KURSI. SUAMI MELETAKKAN
                                   TONGKATNYA

       

          SUAMI
               Ambilkan surat-surat yang mesti aku kerjakan sekarang.
               Ingin aku selesaikan sekali.

          ISTRI
               Tidakkah lebih baik kau tangguhkan saja?

          SUAMI
               Tidak! Aku masih punya sisa semangat yang aku kumpulkan
               untuk berjalan-jalan tadi. Sekarang ingin kuhabiskan.

          ISTRI
               Banyak yang dikerjakan?

          SUAMI
               Hanya beberapa surat yang masih harus kutandatangani.
               Lainnya sudah kuselesaikan.

       

                                   ISTRI MENGAMBIL PULPEN DARI DALAM
                                   SAKU BAJU SUAMINYA DAN
                                   MEMBERIKANNYA PADA TANGAN KIRI,
                                   KEMUDIAN DIKELUARKAN SURAT-SURAT
                                   DARI DALAM MAP.

       

          ISTRI
               Pak, mengapa tak kau kuasakan saja padaku, untuk
               menandatangani surat-surat itu. Kau sakit dan lelah.

          SUAMI
               Kalau aku yang menuliskan sendiri namaku, bagaimana
               susah dan jeleknya, maka seolah-olah aku telah
               memindahkan sebagian dari diriku ke dunia lain. Jelas
               Tampak dikhayalku sendiri, sama-sama rusak dan
               lumpuhnya. Tapi setidak-tidaknya di luar aku sendiri,
               Tampak olehku bahwa aku masih dapat menulis, sekalipun
               dengan tangan kiri. Sekalipun hanya dua kata
               berturut-turut, lebih tidak.
                         (terdiam sejenak)
               Maukah kau membukakan pulpenku?

       

                                   ISTRI MEMBUKA PULPEN. SUAMINYA
                                   MENANDATANGANI SURAT-SURAT DENGAN
                                   TANGAN KIRI. SETELAH ITU DIAMATI
                                   TULISANNYA DENGAN TERSENYUM.

                                 

          SUAMI
                         (tersenyum)
               Aku sendiri tidak dapat membaca apa yang aku tulis.

          ISTRI
               Tidak perlu! Kau hanya tanda tangan saja.

          SUAMI
               Setiap kali aku melihat namaku, sepertinya aku melihat
               diriku sendiri.

          ISTRI
               Nama tak lain dari suatu janji.

          SUAMI
               Janji yang harus ditepati!
                         (nyata kecewa dengan kekerasannya,
                         kemudian menjadi lembut)
               Maaf. Ini tentu merupakan siksaan yang berat bagimu,
               bahwa kau harus memelihara aku seperti anak kecil.

          ISTRI
               Anak kecil!? Pak, jangan katakan itu!

          SUAMI
               Ya, anak kecil memang harus dipelihara baik-baik. Tapi
               ini sungguh tidak adil, bahwa kau mendapat kebobrokan
               tua bangka ini.
                         (seraya menunjuk dirinya)
               Untuk kau pelihara.

          ISTRI
                         (keras)
               Tidak! Tidak! Itu sudah kewajibanku!

          SUAMI
                         (Tersenyum mengejek campur iba)
               Kewajiban!? Seperti kita sudah kawin lama saja. Padahal
               baru dua tahun.
                         (diam sejenak)
               Dulu aku sehat. Cuma agak terlampau matang barangkali,
               di samping keremajaan yang masih hijau. Tapi dulu aku
               mempunyai anggapan, bahwa orang membutuhkan dua umur
               perempuan untuk mengisi umur satu laki-laki. Kiranya
               bagiku tidak sampai memerlukan perempuan kedua, sebab
               yang pertama saja sudah kugunakan seluruh jiwanya.

          ISTRI
               Waktu kita kawin, aku tidak menganggap kau tua.

          SUAMI
               Persis dua kali umurmu. Perkawinan kita ini sudah
               menjadi rumusan ilmu pasti dengan hasil yang salah.
               Yaitu dua kali satu sama dengan nol.

          ISTRI
               Kau pasti akan sembuh lagi, Pak. Waktu kita kawin kau
               masih sehat.

          SUAMI
               Akan sembuh dan bertambah tua. Kita perlahan-lahan
               tumbuh saling mendekati, akhirnya mencapai titik
               pertemuan kalau sudah tidak mempunyai arti lagi. Hari
               tua tak mengenal perbedaan umur lagi.

          ISTRI
                         (berdiri)
               Ada orang mengetuk pintu.

                                   KETUKAN INI SEBENARNYA TIDAK ADA

          SUAMI
                         (melihat jam tangan)
               Kau salah dengar. Ia tentunya belum datang. Biasanya ia
               selalu tepat dengan waktu yang dijanjikannya.

          ISTRI
               Tapi aku serasa mendengar sesuatu.

          SUAMI
               Mendengar sesuatu? Seperti pekan lalu?

          ISTRI
                         (terkejut, gelisah)
               Tidak! Tidak! Bukan itu! Maksudku, ketukan pintu!

          SUAMI
               Tidak ada ketukan pintu. Badanku lumpuh tetapi
               pendengaranku masih baik.

          ISTRI
                         (gelisah)
               Mungkin aku keliru, sangkaku bunyi pintu. Tapi aku
               salah dengar?

          SUAMI
               Orang yang mengalami sesuatu mungkin bisa keliru. Di
               dalam dan di luar manusia itu ada suara. Persoalannya,
               apakah orang lain juga mengalami hal yang sama?

          ISTRI
               Sudah! Sudah! Jangan mulai lagi!

          SUAMI
               Apa yang kau dengar?

          ISTRI
               Pintu. Tapi aku keliru! Sudahlah.

          SUAMI
               Aku hanya ingin menolongmu. Namun untuk itu perlu
               berterus terang, yang disembunyikan akan menjadi busuk.
               Aku ingin menyembuhkan.

          ISTRI
               Aku tidak sakit pak…

          SUAMI
                         (perlahan, tetapi dengan tekanan)
               Kau mendengar lagi tangisan anak-anak?

          ISTRI
               Tidak! Tidak!

          SUAMI
               Jangan disembunyikan, aku ingin menolongmu. Waktu
               berjalan terus tanpa kata. Apa yang sudah lalu kau
               dengar sekarang. Kau ketinggalan sendiri di masa silam.
               Kau harus mengejar kami. Jangan tinggal di sana. Anak
               itu sudah mati, sudah lebih dari satu tahun.

          ISTRI
               Jangan usik soal itu lagi!

          SUAMI
               Kau sudah ketinggalan waktu lebih dari satu tahun

          ISTRI
               Aku mendengar tangisan anak itu. Aku bersumpah! Aku
               mendengar!

          SUAMI
               Yang baru-baru ini, kau pungkiri juga. Setelah lama
               barulah kau mengaku. Itu bagus sekali. Tandanya kau
               sadar akan kesendirianmu. Sendirian dalam waktu, dengan
               kenangan sebagai dunia sekitarmu. Kau harus lekas-lekas
               kembali, sebab kami terus maju. Jarak waktu antara kau
               dan kami semakin jauh.

          ISTRI
                         (kehabisan tenaga)
               Sudahlah! Sudah! Aku tidak mendengar.

                                   SUNYI BEBERAPA SAAT, SUAMI BERDIRI
                                   DAN BERJALAN DENGAN SUSAH PAYAH
                                   MENDEKATI POTRET KECIL, POTRET
                                   SEORANG ANAK BAYI, YANG BERADA DI
                                   ATAS LEMARI BUKU.

          SUAMI
               Untunglah aku sudah membuat potret ini. Sekarang aku
               tidak dapat membuatnya lagi. Tanganku tidak kuasa lagi
               memegang alatnya. Tapi potret ini kubuat, dulu ketika
               anak ini baru lahir, belum dapat dikenali wajahnya,
               belum dapat dikenal mirip siapa wajahnya. Sayang tak
               lama kemudian meninggal.
                         (Tiba-tiba berpaling pada istrinya
                         dengan pandangan tajam)
               Ingatanku mulai tumpul. Bukankah kata dokter, anak itu
               mati lemas karena mukanya telungkup ke bantal?

          ISTRI
               Aku harap jangan bicarakan itu lagi!

          SUAMI
               Begitu kata dokter, bukan!?

          ISTRI
               Ya!

          SUAMI
               Tidak seorang pun dapat berbuat apa-apa. Tak seorang
               pun bersalah!

          ISTRI
                         (Tak bernada)
               Tidak seorang pun!

                                   SUAMI KEMBALI MENEKUNI POTRET
                                   SERAYA TERMENUNG

          SUAMI
               Dengan membuat potret ini, seolah-olah aku telah
               merampas hidupnya. Aku bangga sekali dengan anak ini.
               Masih ingatkah kau?
                         (Istri diam membuang muka)
               Bangga bercampur takjub. Bangga karena kenyataan,
               sekalipun keadaanku begini, aku masih dapat punya anak.
               Boleh dikata suatu keajaiban. Kelahiran dari cipta.
               Seperti dalam dunia wayang saja. Indrajid lahir karena
               kekuatan cipta.

                                   PINTU DIKETUK ORANG, ISTRI
                                   TERKEJUT. SUAMI MELIHAT JAM
                                   TANGANNYA
               Pintu diketuk orang?

          ISTRI
               Aku tidak mendengar!

          SUAMI
               Itu salah! Mestinya kau dengar apa-apa. Tapi pintu
               diketuk orang. Ia datang terlalu pagi, tapi tak
               mengapa. Kita boleh bergembira, bahwa satu-satunya
               sahabat kita masih tinggal mengukur waktunya dengan
               hasrat dan bukan dengan jamnya. Suruh dia masuk. Tentu
               kau senang melihat dia kembali.

                                   ISTRI BERDIRI LURUS SAJA TAK
                                   BERGERAK

          ISTRI
               Aku…. tidak senang!

          SUAMI
                         (tajam)
               Suruh dia masuk!

                                   ISTRI PERGI, SUAMI KEMBALIKAN
                                   POTRET, TETAPI LANTAS DIKEMBALIKAN
                                   PADA TEMPAT SEMULA. LALU ISTRI DAN
                                   SAHABAT MASUK. SUAMI MENYAMBUT
                                   DENGAN SUSAH PAYAH DENGAN ULURAN
                                   TANGAN KIRINYA, KEMUDIAN KEMBALI
                                   DUDUK KE KURSINYA

       

          SAHABAT
               Bagaimana keadaan tubuhmu?

          SUAMI
               Semakin buruk, kepala tinggal menunggu apa yang
               dilakukan oleh badan. Pikiranku masih terang, itu yang
               malah membuat aku susah. Serasa badanku dibelit ular
               sampai remuk, tapi kepalaku tidak apa-apa, hingga aku
               dapat menyaksikan semuanya dengan terang.

          SAHABAT
               Apa kata dokter?

          SUAMI
               Dokter, aku sudah tidak pakai lagi. Sudah sering
               berganti, tetapi mereka tidak dapat menyembuhkan. Kata
               mereka, penyakitku ini akan hilang dengan sendirinya.
               Sekarang aku tidak mau melihat mereka lagi. Dengan
               begitu mereka pun tak akan dapat memberikan aku
               harapan-harapan palsu lagi. Sekarang aku bersikap tak
               peduli.
                         (sahabat berpaling pada istri)

          SAHABAT
                         (dengan lembut)
               Dan kau, apa kabarmu?

          ISTRI
               Baik! Cuma kepalaku agak pening!

          SUAMI
                         (kepada Sahabat)
               Aku ingin bicara dengan kau tentang dia. Barangkali kau
               dapat memberi pertimbangan. Sayang akhir-akhir ini kau
               jarang sekali datang.

                                   SAHABAT MENJAWAB SUAMI, TAPI DENGAN
                                   DENGAN PANDANGAN KE ISTRI

          SAHABAT
               Akhir-akhir ini aku mendapat kesan, bahwa kedatanganku
               tidak begitu mendapat sambutan seperti dulu.

                                   ISTRI MEMANDANG KE ARAH LAIN

          SUAMI
               Itu cuma perasaanmu saja. Tapi aku yakin, pasti bukan
               aku yang menimbulkan kesan itu, aku senang kalau kau
               datang.
                         (Diam sejenak)
               Aku tahu, bahwa antara kita terjalin suatu ikatan,
               ikatan yang melebihi persahabatan semata.

          SAHABAT
               Begitu memang!

          ISTRI
                         (terkejut)
               Tidak!

          SAHABAT
               Bukankah sudah waktunya sekarang berterus terang?

          SUAMI
               Selamanya memang lebih terang, kalau berterus terang.

          SAHABAT
               Nah, mulailah! Mengapa kau menelepon, menyuruh aku
               datang kemari? Mengapa kau meminta aku datang tepat
               pada waktu yang kau tentukan?

          ISTRI
               Dia menelepon?
                         (kepada suami)
               Aku tidak tahu, Pak. Mengapa tidak kau katakan padaku.
               Katamu dia akan datang seperti dulu-dulu. Tapi kau
               tidak meminta dia datang, kan!?

          SUAMI
               Aku ingin memulihkan kembali persahabatan kita. Yang
               dulu alami bersama-sama. Saat-saat yang menyenangkan,
               kita bertiga dekat sehabis perkawinan kita.
               Persahabatan yang jarang terjadi, sudah merupakan tri
               tunggal.
                         (kepada sahabat)
               Dan ketika kau tidak datang-datang lagi, entah apa
               sebabnya aku tidak tahu, maka rumah ini lalu menjadi
               sepi. Dapat kau pahami, bukan? Seorang yang lumpuh,
               seorang istri cantik yang muda ini, membawa kekakuan,
               membawa kesepian. Dan dalam kesepian lantas tumbuh
               suara-suara aneh yang mengacaukan alam pikiran. Sebab
               itu kuminta kau datang, sahabat. Kau sebagai
               satu-satunya suara hidup untuk melawan suara-suara mati
               dalam kesepian kami.

          SAHABAT
               Apa maksudmu? Suara-suara mati? Aku menjadi curiga
               padamu!

          SUAMI
               Orang cacat selamanya dicurigai. Ya, mereka adalah
               musuh-musuh yang dijelmakan dari perasaan takut
               orang-orang waras.

          SAHABAT
                         (mengancam)
               Apa suara-suara mati itu?

                                   SUNYI SEKETIKA, SUAMI MEMASANG
                                   TELINGA, SUARA PINTU DIKETUK ORANG.

          ISTRI
                         (memekik)
               Tidak! Aku tidak mendengar apa-apa!

          SUAMI
               Ssttt! Pintu diketuk orang?

          ISTRI
               Aku tidak mendengar apa-apa!

          SUAMI
                         (melihat jam)
               Pengantar pos. Datangnya mesti saat-saat seperti ini.
               Tadi kuminta bujang segera membawa surat-suratnya
               kemari.

          BUJANG MASUK DENGAN MEMBAWA SURAT-SURAT YANG DIULURKAN
          KEPADA ISTRI

          BUJANG
               Ada surat untuk nyonya.

                                   ISTRI TAK BERGERAK. BUJANG MASIH
                                   BERDIRI DENGAN TANGAN TERJULUR

          SUAMI
               Itu… ada surat untukmu!

                                   ISTRI MENDEKATI BUJANG,
                                   PERLAHAN-LAHAN SEPERTI DALAM MIMPI
                                   DAN DENGAN ACUH TAK ACUH MENGAMBIL
                                   SURAT. BUJANG LANTAS KELUAR LAGI.
                                   ISTRI TINGGAL BERDIRI SAJA.
                                   TANGANNYA LURUS KE BAWAH. SURAT ITU
                                   DIPEGANGNYA TANPA DIBACA.

          SUAMI
               Mengapa kau berdiri saja?

          SAHABAT
               Ada apa? Dari siapa surat itu?

          ISTRI
                         (tak bernada)
               Dari kau!

          SAHABAT
                         (tersentak)
               Apa maksudmu?

          ISTRI
                         (masih tak bernada)
               Setahun lamanya kau tulis surat padaku. Aku tak berani
               membicarakan soal itu dengan kau. Cuma aku memberikan
               isyarat agar kau dapat merasa. Itulah sebabnya kau
               merasa di sini tak lagi mendapat sambutan baik seperti
               dulu-dulu. Kini sudah waktunya berterus terang seperti
               katamu tadi. Baiklah aku senang sekarang, tak perlu
               lagi harus bersembunyi. Cuma aku tak mengerti, mengapa
               kau siksa aku dengan surat-surat itu.

          SAHABAT
                         (pada suami)
               Apa artinya semua ini?

          SUAMI
               Suara-suara mati! Ia mendengar suara-suara itu. Dan
               kini ia melihat isyarat-isyarat kematian.

          ISTRI
                         (seraya memperlihatkan surat)
               Tapi toh surat ini ada padaku. Aku kenal tulisan ini
               seperti aku kenal tulisanku sendiri. Setahun lamanya
               aku menerima surat-surat dengan tulisan ini. Mula-mula
               sesaat setelah matinya anak itu.

          SAHABAT
               Tapi mengapa kau mengira aku yang menulis?

          ISTRI
               Sebab hanya kau yang tahu apa yang tertulis di
               dalamnya!

                                   SAHABAT MEREBUT SURAT DARI TANGAN
                                   ISTRI

          SAHABAT
               Berikan surat itu
                         (melihat suami)
               aku tidak menulis surat itu!

          ISTRI
               Namamu memang tidak kau tuliskan, tapi hanya kau yang
               tahu apa isinya.

          SAHABAT
               Aku berani bersumpah, bukan aku yang menulis surat ini!

          ISTRI
               Surat-surat yang lain pun tak pernah kau tanda tangani.

          SAHABAT
               Aku tidak pernah menyuratimu! Aku tidak akan berani!
               Aku takut… Ya, aku takut akan membuka rahasiaku sendiri
               kalau aku menulis surat, betapa pun aku sudah
               berhati-hati.

          ISTRI
               Dalam hati aku pun bertanya-tanya, mengapa begitu
               sampai hati kau melakukannya. Semula aku menangis
               karenanya, karena kekejamanmu. Tapi kemudian ketika aku
               mulai berpikir, bahwa aku mungkin benar maka
               mengertilah aku, bahwa kau harus membenciku.

          SAHABAT
                         (memegang bahu Istri)
               Apa yang kau katakan itu? Demi Tuhan, katakan apa yang
               telah terjadi?

                                   ISTRI MELEPASKAN DIRI DARI PEGANGAN
                                   SAHABAT LALU PERLAHAN MENUJU KE
                                   DEPAN SERAYA MENGUCAPKAN YANG
                                   BERIKUT, SEPERTI BICARA PADA DIRI
                                   SENDIRI

          ISTRI
               Mula-mula ada perlawanan, perlawanan karena tidak
               percaya, karena keyakinan dalam dirimu. Kau mulai tahu
               bahwa tuduhan-tuduhan itu bohong oleh kepastian
               pengalaman. Tapi apa yang terjadi sebenarnya, tidak
               dapat diikuti lagi. Kebenaran itu terletak di masa
               silam dalam dirimu. Cuma kenangan padanya. Lalu
               kenangan itu perlahan disinggung. Lama kelamaan kau
               terlepas dari masa silam, sampai pada saat kenangan itu
               membentuk kehidupannya sendiri dan runtuhlah
               kepercayaan pada apa yang kau ketahui. Mula-mula kau
               lawan kesadaran ini. Tapi sudah tidak ada lagi
               sisa-sisa kepastian yang tinggal. Dan kekuatan dalam
               dirimu pun menjadi liar.

                                   SERAYA MENATAP DENGAN PANDANGAN
                                   REDUP KE SEKITAR. SEAKAN-AKAN
                                   HENDAK MENGUJI KEJADIAN-KEJADIAN DI
                                   MASA SILAM PADA BENDA-BENDA DI
                                   DALAM KAMAR

               Benda-benda di sekitarmu mulai kehilangan kemesraannya,
               persoalan yang paling remeh sekali pun menjadi bersaing
               dan memuakkan lalu mendorong kau menjauhinya. Meja dan
               kursi di dalam kamar, pohon-pohon di jalan, mega-mega
               di langit. Semuanya menarik diri darimu, mereka jadi
               samar-samar mengandung rahasia. Itulah yang memberi
               kesepian yang tidak tertangguhkan lagi. Dan
               bayang-bayang yang timbul dalam dirimu penuh dengan
               dendam dan benci.

                                   PADA KALIMAT BERIKUTNYA, SEJENAK
                                   ISTRI MELIHAT PADA SAHABAT YANG
                                   MEMERHATIKAN DIA DENGAN TERHARU DAN
                                   PENUH KASIH. SUAMI MENGIKUTI
                                   PANDANGAN MEREKA BERDUA. PADA
                                   MUKANYA TERBACA PERASAAN SAKIT
                                   HATI, PUTUS ASA DAN DENDAM YANG
                                   BERKOBAR-KOBAR KARENA KESEPIAN YANG
                                   DILONTARKAN OLEH ISTRINYA.
               Yang menjadi teka-teki bagiku ialah, mengapa manusia
               itu mesti menjadi memusuhi dirinya sendiri? Mengapa
               dalam satu tubuh bersarang harapan kedamaian bersamaan
               dengan kekuatan yang membawa kebinasaan. Dan lambat
               laun kau tenggelam dalam kesangsian, dalam ketakutan,
               dalam kesamaran dan keterasingan!!
               Kadang-kadang, serasa ada dinding yang membelah badanku
               menjadi dua, di sisi kanan aku dapat berpikir,
               mengetahui, melihat keadaanku, mengikuti masa silam
               dengan keyakinan yang pasti. Tetapi di sisi kiri segala
               tumbuh dalam diriku, kecemasan, bayang-bayang yang
               serba samar. Sedang akalku tidak kuasa menembus dinding
               itu.
                         (seolah-olah sudah kehabisan napas)
               Kadang-kadang, serasa akal memukul-mukul seperti hendak
               melepaskan diri, tetapi dindingnya terlalu kuat. Aku
               tahu aku hidup dalam kebohongan, tapi kebohongan itu
               sangat kuat menguasaiku. Ada sebuah dinding yang
               membatasi antara aku dan suara anak itu menangis. Aku
               tidak dapat meneliti dari sisi dinding sebelah mana
               datangnya suara itu.

          SAHABAT
               Kau mendengar anak menangis?

          ISTRI
               Ya. Tangis anakku, anakku yang telah mati
                         (seraya menunjuk suaminya)
               dia, dialah yang memperingatkan aku terhadap suara itu.
               Dialah yang mula-mula mendengar tangisan itu, kemudian
               disampaikan kepadaku.
                         (Diam sejenak)
               kemudian datanglah kesangsian itu, kemudian suara itu.

                                   SESAAT SEPI MENCEKAM

          SUAMI
               Kasihan.....
                         (pada sahabat)
               Tidak benar! Tidak benar, bahwa aku yang mulai
               mendengar suara itu. Itu hanya angan-angannya saja.
               Yang tidak dapat disesalinya.

          ISTRI
               Bersamaan waktunya dengan itu datanglah surat-surat
               itu, surat-surat yang berisi tuduhan. Surat dari
               satu-satunya orang yang sebenarnya dapat menolong aku.
               Surat dari kau! Oh, alangkah kejamnya. Kejam! Bahwa
               datangnya dari kau. Bahwa kau menuduhku!

          SAHABAT
               Apa yang telah aku tuduhkan padamu?

          ISTRI
               Bahwa aku telah membunuh anakku
                         (sunyi senyap)

          SAHABAT
               Itu tidak benar!

          ISTRI
               Di sisi kanan kebenaran, di sisi kiri dosa dan di
               tengah-tengah dinding. Tiap-tiap manusia selalu ada
               perasaan dosa yang masih samar-samar, masih mencari
               dasar. Kaulah yang memberi dasar itu dengan
               surat-suratmu!

          SAHABAT
                         (seraya menunjuk surat)
               Jadi kau anggap aku yang menulis surat itu?

          ISTRI
               Ya!

          SAHABAT
               Boleh aku membacanya?

          ISTRI
               Boleh, nanti kau akan melihat dirimu sendiri seperti di
               dalam cermin.

                                   SAHABAT MEROBEK SAMPUL SURAT, SURAT
                                   DIKELUARKAN LALU DIBACA

          SUAMI
               Apa isinya?
                         (Sahabat, lama memerhatikan suami dengan
                         pandangan curiga).

          SAHABAT
                         (geram)
               Kau pembunuh!

          SUAMI
                         (menyindir tajam)
               Aku? Aneh sekali! Boleh aku melihat?

                                   SAHABAT MELEMPARKAN SURAT KEPADA
                                   SUAMI. SUAMI DENGAN SUSAH PAYAH
                                   MEMUNGUTNYA DI LANTAI.

          SUAMI
               Kau salah baca. Sudah kusangka. Di sini tertulis: “Ibu
               pembunuh”.

          ISTRI
               Aku? Oh, lain tidak?

          SUAMI
               Tidak.

          SAHABAT
                         (kepada Istri)
               Mesti ada yang mengetahui tentang anak kita. Ya, aku
               tidak mau membisu lebih lama lagi. Kau tahu, bahwa aku
               cinta padamu. Jadi tidak mungkin aku yang menulis
               surat-surat itu. Surat ini pun tidak! Aku tidak
               berubah. Aku tidak menulis surat-surat itu, percayalah!
               Percayalah!

          ISTRI
               Aku mau percaya padamu. Aku juga tidak menginginkan
               bukti apa pun, yang kau katakan itu sudah cukup. Hanya
               karena kau yang mengatakan. Kalau pun aku melihat
               sendiri kau yang menulis, aku pun akan percaya juga.
               Sebab aku mau percaya, dinding dalam diriku yang
               membatasi antara bukti dan harapanku.

          SAHABAT
               Aku berhak atas dirimu. Aku tidak sudi berlama-lama
               lagi dipaksa melepaskan kau karena belas kasihan.

          SUAMI
               Jangan hiraukan aku!

          SAHABAT
                         (kepada Istri)
               Lingkungan ini tidak baik bagimu, kau harus pergi dari
               sini. Kubawa kau dari sini, hawa sekitar sini sudah
               busuk, cahaya di sini sudah beracun. Kau tidak bebas
               bernapas. Ikutilah dengan aku.

                                   SAHABAT MEMEGANG LENGAN ISTRI.
                                   ISTRI TIDAK MELAWAN.

          SUAMI
               Tidakkah kau minta diri dulu dariku?

                                   SAHABAT PUN MENDEKATI SUAMI TANPA
                                   MELEPASKAN LENGAN ISTRI. SUAMI
                                   BANGKIT DARI KURSINYA DENGAN SUSAH
                                   PAYAH DAN BERDIRI DI HADAPAN MEREA.
                                   KETIGA ORANG ITU SEKARANG BERDIRI
                                   DEKAT POTRET BAYI DI ATAS LEMARI
                                   BUKU.

          SUAMI
               Aku harus tinggal di sini. Aku tidak dapat meninggalkan
               dia. Aku tahu betapa berat penanggunganmu. Seorang yang
               tak patut mendapat kasih. Seorang pincang dan lumpuh
               seperti aku tidak sepatutnya berkumpul dengan orang
               yang hidupnya tanpa cacat, sebab ia cuma menghalangi
               kebahagiaan orang lain saja, sering aku berpikir apakah
               tidak lebih baik kalau aku memutuskan untuk melepaskan
               kau dariku. Syukurlah kini sudah ada orang ketiga yang
               mau melakukannya. Pergilah kau bersama dia. Malapetaka
               yang kusebar, kini sudah seperti penyakit, semakin lama
               semakin payah, tidak menjadi berkurang. Dan hidup yang
               kutempuh sekarang ini sudah tidak memberikan bahagia.
               Aku hanya dapat menebusnya dengan kematianku.

          SAHABAT
                         (dengki)
               Sayang!

          ISTRI
               Untung tidak ada lagi anak yang akan mengikat kau!
               Barangkali di luar rumah ini kau pun tak akan mendengar
               tangisnya lagi!

                                   ISTRI MELEPASKAN DIRI DARI PEGANGAN
                                   SAHABAT

          ISTRI
               Aku berterima kasih padamu bahwa selama ini kau telah
               banyak berkorban untukku. Tapi aku mohon jangan coba
               kau bujuk aku. Aku tahu lebih pasti bahwa aku mesti
               tinggal padanya daripada hasratku ikut bersamamu.

                                   SAHABAT MELANGKAH MAJU KEPADA SUAMI
                                   DENGAN MENGANCAM

          SAHABAT
               Aku dapat menghajar kau jahanam! Kau jerat dia di sini!
               Kau bunuh dia!

          SUAMI
                         (tersenyum)
               Aku cuma seseorang yang malang, yang lumpuh. Aku
               maafkan kau!

                                   SUAMI LUPA DISEBABKAN KARENA
                                   KEMENANGANNYA. SUAMI MENGULURKAN
                                   TANGAN KANANNYA. SAHABAT TAK
                                   MENYAMBUT ULURAN TANGAN ITU, IA
                                   MEMBELAKANGI. TERPIKIR SEJENAK,
                                   TIBA-TIBA CEPAT IA MEMBALIKAN
                                   BADANNYA KEMBALI.

          SAHABAT
               Jarimu kena tinta!

                                   SUAMI CEPAT MENARIK TANGANNYA,
                                   ISTRINYA MELIHAT TANGANNYA SENDIRI,
                                   KEMUDIAN MENGHAMPIRI SUAMINYA,
                                   MEMEGANG TANGANNYA

          ISTRI
               Tinta? Aneh sekali! Coba lihat!

          SUAMI
                         (berteriak karena rahasianya terbuka)
               Pergilah bersama dia! Tinggalkan aku sendiri!

                                   SUAMI CEPAT MENARIK TANGANNYA DAN
                                   JATUH. DALAM USAHANYA MENCARI
                                   PEGANGAN PADA LEMARI BUKU.
                                   TANGANNYA MENYINGGUNG POTRET BAYI
                                   HINGGA JATUH PULA KE BAWAH. HENDAK
                                   DITANGKAPNYA POTRET ITU, TAPI
                                   SIA-SIA DAN POTRET ITU BERANTAKAN
                                   DI LANTAI. DALAM PADA SAAT ITU,
                                   ISTRINYA MENJERIT.

          ISTRI
               Ia…. Ia bergerak!

                                   SAHABAT PERLAHAN-LAHAN MENDEKATI
                                   SUAMI DENGAN SIKAP MENGANCAM

          SAHABAT
               Tanganmu dapat bergerak. Tangan kananmu kena tinta! Kau
               apakan dia!
                         (seraya menunjuk istri)
               Kau apakan anaknya!?

                                   SUAMI BERDIRI TEGAK DENGAN
                                   MUDAHNYA. IA TAK LAGI LUMPUH.
                                   KAKINYA MENYAMBAR POTRET. TANGANNYA
                                   MENUDING ISTRINYA

          SUAMI
                         (penuh kebencian dan sombong atas
                         kemenangan)
               Biar dirasakan siksaanku sebelum yang akan kalian
               terima di neraka!

          SAHABAT
                         (Seraya menarik bahu Istri)
               Mari! Ikutlah denganku! Biar dia menghukum perbuatannya
               sendiri.

          ISTRI
               Tunggu dulu
                         (melepaskan bahunya)
               Diam! Diamlah!

                                   KEDUA LAKI-LAKI SALING BERPANDANGAN
                                   PENUH KEHERANAN

          ISTRI
               Ah, tidakkah kalian mendengar? Tidak mendengarkah
               kalian? Anakku menangis! Anakku menangis! Anakku
               menangis!

                                   LAMPU DIPADAMKAN LAMBAT LAUN. PADA
                                   SAAT KESEPIAN MENYUSUL.

          TAMAT

          Jakarta, 07 Agustus 2019

                                 


Minggu, 18 November 2018

Ketika Srikandi Bersepeda

Judul : Ketika Srikandi Bersepeda
Penulis : Denik
Penerbit : Gong Publishing
Tempat Terbit : Serang
Tahun Terbit : 2018
Cetakan : Pertama, April 2018
Ukuran : 14,5 x 20 cm
Jumlah Halaman : xii, 107
ISBN : 978-602-6663-76-4
Harga : Tidak tercantum. Karena dibagi langsung oleh penulisnya.

Asyiknya Bersepeda

Apa pun dapat ditulis dan menjadi inspirasi bagi pembacanya. Seperti yang dilakukan Denik Erni, ia suka jalan-jalan bersepeda. Sebuah sepeda mini berwarna kuning keemasan. Yang ia beri nama Si Mas. Dengan sepedanya itu Denik mengunjungi berbagai wilayah untuk dapat melihat dan memenuhi hasrat keingintahuannya. Meski banyak kendala yang ia hadapi di perjalanan, namun wanita itu terus melaksanakan niatnya. Dan berhasil.

Menilik dari apa yang ia tulis dalam buku berjudul “Ketika Srikandi Bersepeda”, jelas sekali Denik ingin berbagi pengalaman tentang asyiknya bersepeda. Sambil berolahraga, ia juga bisa melaksanakan tujuan utamanya. Mengunjungi berbagai wilayah yang ia agendakan. Dan ternyata berhasil.

Nah, dari pengalaman bersepedanya itu ia tuang dalam tulisan dan dijadikannya sebuah buku. Sebuah buku nonfiksi yang dapat dikategorikan sebagai buku panduan perjalanan. Nyaris. Sekali lagi nyaris untuk dikatakan buku panduan. Karena sayangnya, Denik hanya bercerita tentang perjalanannya bersepeda untuk menuju sebuah tempat. Untuk menuju sebuah wilayah.

Sebab, ini juga sayangnya, Denik tidak mengupas lebih detil tentang wilayah-wilayah yang ia datangi. Ia hanya mengupas bagian “luarnya” saja. Tidak mengorek lebih jauh tentang kedalamannya. Padahal, itu dapat dilakukan dengan mewawancarai penjaga atau pengurus sebuah wilayah atau sebuah bangunan bersejarah. Atau barang kali juga bisa dilakukan dengan meminta pendapat dari para pakar sejarah tentang hal-hal lebih jauhnya tentang wilayah yang ia kunjungi.

Sekali lagi, ini memang buku pengalaman pribadi. Semacam sebuah catatan dalam buku harian yang diterbitkan. Supaya suatu ketika bisa dijadikan semacam kenangan.

Ada pula hal mengganjal yang kemudian bisa dinilai sebagai sebuah ketidaksinkronan, antara judul dan isinya. Sebuah judul, memang menjadi gaya tarik bagi para calon pembaca. Pada beberapa tulisan, terutama tulisan yang berbentuk news, sering kali sebuah judul menipu para pembacanya. Karena ada sebuah ketentuan yang telah menjadi sebuah wewenang. Urusan judul itu urusan penerbit, karena ada wilayah bisnis di dalamnya. Dan karena penerbitnya sedang kebanjiran order sehingga tidak memerhatikan isi buku.

Seperti pada buku “Ketika Srikandi Bersepeda”, penulis terkesan menonjolkan Si Mas sebagai sarana angkutannya. Terlihat dari setiap foto yang dipajang, lebih dominan ketimbang bidadari penulis yang diangkutnya.

Hal yang juga mengganggu dari buku ini, menjadi tidak nikmat ketika membacanya, banyaknya pemenggalan kata yang tidak tepat. Sehingga menjadi aneh ketika dibaca. Seperti satu contoh pada halaman 4 (empat), baris keempat dari bawah. Di sana ada kalimat, sesekali kend (lalu dipenggal dengan tanda -) dan dilanjutkan di bawahnya: -araan. Atau di halaman yang sama pada baris paling bawah. Terlihat, bert-, kemudian dilanjutkan dengan eduh. Dalam kosa kata Bahasa Indonesia tidak ada kata dasar “araan atau eduh”. Dan banyak lagi pada halaman berikutnya.

Hal di atas bisa saja terjadi karena masalah layout, tapi akan lebih elok apabila pemenggalan itu tidak mengubah arti kata. Petugas tata letak tidak hanya memikirkan posisi kalimat, yang apabila tidak dipenggal di sana maka akan ada jarak yang terlalu jauh, terkesan seperti dua atau tiga spasi, hingga membuat isi buku menjadi bolong. Tapi apakah tidak ada cara lain yang bisa digunakan hingga membuat kata menjadi terpenggal tidak semestinya. Pasti ada.

Karena membaca adalah sebuah kenikmatan. Lalu siapa pula yang kenikmatannya ingin terganggu.

Yoss Prabu
Tukang baca buku.

Debu-Debu Metropolitan

Jalanan sebagai orangtua haramnya juga telah mengendapkan ampas-ampas kerinduan untuk sebuah impian masa depan. Itong nyaris t...