Tampilkan postingan dengan label Wallacea Week. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wallacea Week. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Oktober 2018

Suku Bajau: Para Pengembara Laut

Para Pengembara Laut

Will Millard, berkebangsaan Inggris. Ia mendatangi Suku Bajau untuk membuat film dokumenter di sana. Selama sebulan penuh, ia menetap bersama Kabei dan keluarganya. Di Desa Sampela, Sulawesi Tenggara. Dan ia menuturkan pengalamannya dengan jenaka dari setiap detil yang ia lihat.

Lelaki muda berkebangsaan Inggris itu, ditempatkan pada satu keluarga. Dengan Kabei sebagai kepala keluarganya. Satu keluarga yang sejak awal tinggal dan tidak pernah berpindah lagi. Will menetap di sana bersama seluruh keluarga Kabei, dalam satu rumah panggung di atas laut. Dengan lantai dan beberapa pijakan yang renggang dan bolong-bolong.

“Rumah yang penuh ranjau,” demikian Will berkomentar.

Keluarga Kabei, hidup dengan menyantap ikan setiap harinya. Kabei, seperti juga penduduk desa lainnya, menangkap ikan dengan cara menyelam hingga beberapa menit tanpa alat bantu. Ia menahan napas lalu dengan semacam alat panah berbentuk tombak, melakukan perburuan hingga mencapai dasar laut. Will Millard menggambarkan, gerakan mereka seperti tarian balet bawah laut.

Indah sekali, bagi Will Millard. Tapi bagi orang-orang Suku Bajau, itu merupakan perjuangan demi menyambung hidup.

Suku Bajau menetap di atas laut, di kawasan Segitiga Terumbu Karang, di perairan Wakatobi-Sulawesi Tenggara. Bagian dari The Coral Triangle, yang menjadi rumah bagi 750 spesies karang dari total 850 spesies di dunia. Mereka menetap di atas terumbu karang karena di sanalah persembunyian para ikan.

Suku Bajau, ada pula yang menyebutnya Suku Sama. Mereka berasal dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku nomaden yang hidup di atas laut. Suku itu sejak ratusan tahun lalu sudah menyebar ke banyak wilayah termasuk Indonesia. Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia Timur, bahkan hingga ke Madagaskar. Mereka menyebar, menetap dan berbaur dengan suku-suku lainnya. Di Indonesia, Suku Bajau terdapat di daerah Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan di Nusatenggara.

Akan halnya Will, ia melihat dan mengagumi. Dan nyaris tidak memercayai, bahwa keluarga Kabei berburu ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka selama satu atau dua hari. Dan baru akan berburu kembali ketika persediaan telah menipis. Untuk satu atau dua hari ke depan. Mereka tidak neko-neko untuk melakukan perburuan lebih banyak. Karena mereka percaya, laut akan selalu menyediakan mereka makanan setiap harinya. Mereka lapar dan langsung berburu. Lalu mereka makan sambil bercengkerama bersama keluarga. Karena semuanya memercayai, bahwa penangkapan ikan secara berlebihan hanya akan membuat orang-orang Suku Bajau dipaksa untuk mencari mata pencaharian lain, di kemudian hari.

Pernah sekali waktu, ketika Will bersama Kabei tengah berburu ikan. Ia melihat sebuah perahu besar bermotor, berawak banyak yang acap mengeruk ikan dengan jumlah banyak pula lalu membawanya entah ke mana. Hal itu merupakan bagian dari yang pernah dikeluhkan Kabei, atas semakin berkurang dan sulitnya mereka menangkap ikan. Akibat ulah para pendatang yang mengeruh isi laut dengan perlengkapan yang lebih modern. Belum lagi banyaknya terumbu-terumbu karang yang rusak karena dibom para nelayan pendatang. Tapi Kabei dan para warga Desa Sampela, hanya dapat berbuat hingga sebatas mengeluh saja. Karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk berbuat lebih dari itu. Mereka para nelayan yang miskin finansial dan ilmu pengetahuan. Yang sering terjerat rentenir akibat tidak dapat membayar utang. Will merasa miris dan marah melihat itu.

Will pernah mengikuti dua lelaki muda dari daratan, yang mengenakan helm sebagai penutup kepala. Mereka berkeliling desa untuk menagih dan memberi pinjaman. Ternyata banyak para penduduk yang tidak atau belum dapat melunasi utang-utang mereka. Padahal pinjaman hanya berkisar sekitar puluhan ribu saja. Kalau pun sudah ada yang bisa membayar, tapi kemudian dari jumlah yang dihasilkan kemudian dipinjamkan kembali kepada pengutang baru.

“Hanya beberapa menit saja uang-uang itu berada di tangan mereka. Lalu uang itu akan berpindah kembali dengan cepat,” demikian komentar Will.

Will juga melihat, ada sebuah sekolah dasar di sana. Sekolah untuk anak-anak Suku Bajau. Ia malah sempat didaulat, diberi seragam cokelat lalu mengajar seperti layaknya seorang guru. Lalu ia bercanda bersama para siswa. Yang terbahak-bahak menyaksikan cara Will mengajar.

Dari pengamatan Will, ia melihat bahwa hampir seluruh anak-anak Suku Bajau dapat berenang karena terbiasa sejak usia dini. Setiap hari mereka berenang dan bergelut dengan laut. Karena sekeliling mereka adalah laut yang membentang, sejauh mata memandang. Daratan hanya sebuah kisah. Tapi mereka tidak ingin menetap di darat. Karena mereka anak-anak laut, yang terlahir dan berkembang di atas laut. Hidup dari laut, dan hanya dari laut.

Ironisnya, Kabei memiliki anak sulung. Lobo namanya. Usianya baru belasan. Ia tidak bisa berenang apalagi memancing. Karena Lobo menderita cacat fisik, ia tidak bisa berjalan dengan baik. Tidak mengherankan apabila masyarakat bereaksi, itu dikarenakan akibat dari sebuah kutukan. Dan Lobo selalu menghindar dari pergaulan. Sungguh memilukan.

Ketika pernah terjadi hujan deras turun terus menerus, mereka tidak dapat melaut. Seperti juga keluarga Kabei dan keluarganya yang di tempati Will. Selama hujan deras itu, Kabei dan seluruh keluarga besarnya hanya berdiam diri dalam rumah. Menunggu hujan reda. Hingga berhari-hari. Hingga persediaan makanan menipis, tidak ada lagi yang bisa disantap. Yang di wilayah lain dapat dilakukan dengan hanya menelepon lalu beberapa menit kemudian akan muncul pengantar makanan yang dipesan. Lalu membayar dan setelah itu selesai. Yang semua itu sangat mustahil dapat dilakukan orang-orang Suku Bajau. Jangankan pesawat telepon, untuk membayar pun tak ada.

Will melihat, menghadapi kenyataan itu, Kabei hanya tersenyum. Dan seluruh keluarga ikut tersenyum. Malam harinya ketika perut menagih, Kabei langsung menuju perahu. Dia bilang tunggu satu jam. Tapi Will menjadi khawatir ketika setelah dua jam lebih dari yang dijanjikan, Kabei belum muncul juga. Beruntung, setelah itu Kabei muncul sambil membawa beberapa ekor ikan. Will tersenyum senang.

Meski akhirnya Will harus menangis ketika perpisahan tiba. Dan semua menangis.

Sebuah film dokumenter yang bagus, yang dibuat oleh orang bule. Yang tentunya akan melihat dari sudut pandang yang objektif.

Menjadi menarik karena sajian ini bagian dari rangkaian acara Wallacea Week 2018, yang diselenggarakan British Council. (Yoss Prabu). 


Debu-Debu Metropolitan

Jalanan sebagai orangtua haramnya juga telah mengendapkan ampas-ampas kerinduan untuk sebuah impian masa depan. Itong nyaris t...