Tampilkan postingan dengan label Sketsa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sketsa. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Juli 2013

Anak Kang Juhi Kepingin NewKube


Begini. Sehabis keliling ibukota dengan busway gratisan pada saat ulang tahun Jakarta kemarin itu (baca juga kisah Kang Juhi dalam judul Ulang Tahun di blog ini), anak Kang Juhi tidak langsung pulang kembali ke kampung halamannya. Sebab hanya tinggal beberapa hari lagi akan menghadapi liburan panjang setelah semesteran kenaikan kelas. Jadi, anak Kang Juhi bermaksud tinggal dulu bersama bapaknya untuk beberapa hari.

Sebagai orangtua yang sayang anak, Kang Juhi tak merasa keberatan. Toh, ia juga selama di Jakarta ini sering sekali merindukan anak terkecilnya itu. Terutama saat beristirahat malam. Pikirannya sering menerawang ke kampung halaman, merindukan anaknya. Mendampinginya saat belajar, atau barangkali memancing ikan di sungai yang ketika Kang Juhi kecil sungai itu adalah tempat ia bermain bersama teman-teman sebaya. Melompat dari pinggiran sungai yang tinggi lalu mencebur sambil tertawa-tawa.

Namun masalah timbul, justru ketika anaknya itu minta dibelikan mainan untuk menemani saat Kang Juhi berjualan keliling. Kontrakan Kang Juhi memang kosong melompong. Tak ada isi yang berarti selain tikar dan tas punggung yang lebih sering berfungsi sebagai bantal. Pesawat radio atau televisi, cukup hanya sampai diangan-angan saja. Toh kalau hanya untuk menonton tv, bisa numpang di rumah tetangga. Untuk mendengarkan radio, dari kiri-kanan rumah tetangga sudah tembus ke kamar kontrakannya tanpa harus repot mengganti saluran.   

Meski mumet karena tak ada uang untuk menyenangkan anaknya, Kang Juhi tetap berwajah tenang agar anaknya tak kecewa. Mumetnya akan ia gunakan sebagai energi untuk berusaha membelikan mainan. Tapi yang membuat Kang Juhi tak habis mengerti, anaknya minta dibelikan NewKube. Apa itu NewKube? Kang Juhi bingung. Ia berencana, sambil besok berjualan ia akan bertanya-tanya pada siapa saja tentang benda aneh yang memang masih asing di telinganya.

Rabu, 03 Juli 2013

Hari Ulang Tahun

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Hari Ulang Tahun

Tiga hari menjelang ulang tahun kota Jakarta, anak Kang Juhi yang keempat - baru duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar - muncul di ambang pintu kamar kontrakan. Bocah lelaki itu diantar seorang tetangga sekampung yang bekerja sebagai kuli panggul di stasiun kereta, di Jakarta. Kang Juhi kaget, tapi juga gembira karena dapat bertemu dengan anak keempatnya yang paling dirindukan selama merantau di Jakarta ini.

Dari cerita si pengantar, anak Kang Juhi kangen sama bapaknya. Dan bukan hanya itu, anaknya datang ke Jakarta karena ingin merayakan ulang tahunnya yang ke-10. Penjual gorengan itu ternganga tapi tak lupa mengucap terima kasih karena tetangganya itu berkenan mengantar anaknya ke ibukota ini.

Karena kedatangan anak terkecilnya itu, otomatis Kang Juhi libur dulu berjualan. Paling tidak, satu hari-lah. Dengan sedikit uang simpanannya, penjual gorengan keliling itu berencana akan mengajak anaknya jalan-jalan. Mungkin ke Monas (monumen nasional), naik ke puncaknya lalu memandangi Jakarta dari ketinggian 132 meter.

Minggu, 09 Juni 2013

Bahaya Laten Orde Baru

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. # -admin-

Bahaya Laten Orde Baru

Pada sebuah lapak kakilima dekat terminal bus, Nampak banyak koran, tabloid dan majalah dijejerkan. Yang menarik - karena terlihat konyol - pada beberapa cover media tersebut ada terpampang gambar seseorang. Ia sedang tersenyum, yang konon kedahsyatan senyumannya itu sempat mendapat julukan Smiling Jenderal.

Kang Juhi menghela napas. Merasa prihatin terhadap sekelompok manusia yang masih mengidolakan orang itu. Sebab, orang itu terpuruk nyaris sama dengan pemimpin negara sebelumnya yang pernah ia hinakan. Yang lebih memprihatinkan lagi, status hukumnya tidak jelas hingga sekarang ini.

Sabtu, 01 Juni 2013

Prinsip-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #


Prinsip


Suatu ketika Kang Juhi pernah mempunyai prinsip, lebih baik bertarung sendirian melawan harimau ketimbang kumpul dengan sekawanan monyet. Prinsip ngaco dan sangat, sangat ekstrim.

Kamis, 23 Mei 2013

Lapar-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Lapar

Suatu ketika, entah kapan. Kang Juhi - penjual gorengan dari pinggiran ibukota - berjalan-jalan menikmati udara malam, hingga kemudian tersasar ke sebuah mal yang penuh dengan kedai makanan. Udaranya sejuk melebihi kesejukan udara di mana ia menetap. Meski di sana masih banyak ditumbuhi pepohonan rindang. Dilihatnya semua pengunjung mal, termasuk yang tengah menikmati hidangan berbicara perlahan-nyaris saling berbisik satu sama lainnya.

Selasa, 07 Mei 2013

Premanisme di Negeri Preman-Petualangan Kang Juhi


 #Catatan dari Admin: Kang Juhi, penjual gorengan keliling. Tapi batinnya suka mengejawantah jauh berbanding terbalik dengan statusnya. Makanya tak usah diambil hati bila terkadang menyimpang. #

Setelah berkeliling kampung menjual gorengannya, Kang Juhi berhenti di bawah pohon rindang untuk meredakan sejenak kakinya yang pegal. Berjualan menggunakan pikulan dengan beban yang lumayan berat, memang mulai terasa menyiksa bagi Kang Juhi. Karena usianya yang telah memasuki lebih setengah abad. Jelas kekuatan dan ketahanan fisiknya sudah banyak berkurang. Tapi harus bagaimana lagi. Untuk mengganti dengan gerobak beroda, Kang Juhi tidak punya modal. Sebab hasil dari berjualannya selama ini hanya cukup untuk makan, bayar kamar kontrakan dan sedikit sisa dikumpulkan untuk mengirim ke kampung halaman.
Andai saja ia tidak dibuat ribet oleh banyak hal, seperti berbagai pungutan tak resmi yang acap kali dilakukan aparat berseragam hijau, atau para pemuda pemabuk yang suka minta jatah. Mungkin hasil dari keuntungan berjualannya boleh dibilang agak lumayan.  Beberapa pemuda pemabuk sering memalaki gorengannya dengan alasan untuk “dorongan”. Maksudnya, sambil menenggak minuman murahan akan terasa nikmat andai dibarengi dengan gorengan. Dan mereka tak pernah membayar. Dengan hanya bermodal jalan sempoyongan dan bicara sedikit pelo, semua pedagang – termasuk Kang Juhi – akan mendiamkan ulah para pemuda itu ketimbang melawan. Sebab bila itu dilakukan, niscaya esoknya tak bisa berjualan lagi di areal yang sama.

Banjir-Petualangan Kang Juhi


# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Banjir

Sewaktu terjadi banjir yang mengepung Jakarta - begitu istilah menurut media elektronik - kemarin itu, Kang Juhi jelas tak dapat berbuat apa-apa. Artinya, ia libur mencari nafkah akibat dipaksa oleh alam yang sedang tak bersahabat. Alam memang tak pandang bulu. Entah itu bulu kaki atau bulu ketiak, semua kebagian. Dan dalam hal ini, dampak paling parah selalu menimpa rakyat jelata, seperti Kang Juhi. Akibatnya, Kang juhi hanya dapat nangkring di kontrakannya yang sempit sembari berdoa, agar musibah apa pun yang menimpa warga ibukota tak menjadikan mereka pemaki kronis.

Minggu, 31 Maret 2013

April Mop-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #




Seperti biasa. Lepas tengah hari, tatkala matahari berada pada titik kuliminasi kegarangannya, Kang Juhi ngetem di keteduhan sebuah pohoin rindang. Ia tengah asyik membulak-balik gorengan di antara minyak mendidih, selepas makan siang, ketika terjadi sesuatu tak jauh dari tempai dimana ia ngetem  sekarang ini.


Dua lelaki nyaris baku hantam karena yang satunya merasa telah dibohongi. Tak jelas apa yang diributkan. Namun dari gerakan tangan simpang-siur, dari yang seorang lagi. Menunjukan bahwa ia tengah tersinggung hebat. Setelah ada yang melerai dan suasana sedikit tenang, keduanya diamankan masuk warteg untuk makan siang bareng. Yang bayar tentu saja yang membuat gara-gara.

Sabtu, 05 Januari 2013

Perubahan Setelah Tahun Baru-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Perubahan Setelah Tahun Baru

Seperti biasa, hari ini Kang Juhi berangkat jihad. Jihad untuk kepentingan keluargan, yaitu mencari nafkah dengan berjualan gorengan. Seperti biasa, ia bangun pagi sekali. Karena hal itu sudah menjadi kebiasaannya setiap hari. Entah hendak jualan gorengan atau pun tidak, atau saat itu tengah terjadi hujan lebat, gak ada urusan. Ia tetap akan bangun pagi. Pagi sekali. Pukul berapa pun ia tidur semalam, namun satu jam menjelang azan subuh dipastikan ia akan terjaga. Telah menaluri bagi Kang Juhi.

Selasa, 01 Januari 2013

Selamat Tahun Baru 2013-Petualangan Kang Juhi

# Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan. Namanya juga dongeng. #

Selamat Tahun Baru 2013

Dua ribu tiga belas. Di awali dengan beberapa ayam dan pedagang di pasar tradisional yang berlarian menghindari gerimis. Gerimis itu sendiri, sisa dan kelanjutan gerimis tadi malam. Yang membasahi ribuan kembang api saat malam menjelang pergantian tahun.

Kang Juhi, tak ada rencana menjual gorengan hari ini. Bukan cuma karena disebabkan gerimis yang membuat pembeli sembunyi di rumah masing-masing. Karena pembelinya kebanyakan dari kalangan bawah sementara kalangan atas tengah sibuk liburan di puncak dan luar negeri. Namun ia tengah merenungi tentang ribuan atau mungkin jutaan kembang api yang semalam bertebaran di langit Jakarta. Bahkan, nyaris di seluruh kota besar di negeri ini. Dan Kota-kota di seluruh penjuru dunia.

Debu-Debu Metropolitan

Jalanan sebagai orangtua haramnya juga telah mengendapkan ampas-ampas kerinduan untuk sebuah impian masa depan. Itong nyaris t...