Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Maret 2021

Selamat Pagi

Selamat Pagi

 

Kusibak kabut yang menggantung.

Kutatap pagi yang redup.

 

Lembapnya terasa segar di sela rintik yang malu-malu. Seperti wajahmu, yang selalu menunduk saat kutatap.

 

Ada apa?

 

Tegakan wajahmu. Tebar senyum manismu.

Biarkan dunia terpesona. 

 

Agar pagi tak lagi redup. Supaya kabut menjadi sirna, ditepis rasa bahagia memandangmu.

 

Dan dunia memang tercengang. Ketika engkau tersipu.

 

Kilau kekuningan di ufuk barat adalah bukti, senyummu milik semesta.

 

Tersenyumlah. Tegakan wajahmu. Tatap mataku.

Dan ucapkan, “Kau memang bajingan yang romantis.”

 

Jakarta, 25 Februari 2021

Jumat, 14 Februari 2014

Aku Ingin Pulang

 

Aku Ingin Pulang

 
aku lelah
aku hanya ingin pulang
lalu merengek
di antara
gerai rambut ikalmu
 
Yoss prabu
Jakarta, 10-02-2014 16:10








Rabu, 29 Mei 2013

Debu-Debu Metropolitan X

Debu-Debu Metropolitan X

Debu-debu masih berterbangan ternyata,
walau angin sering kali malas berhembus.
Seperti juga mulut-mulut merintih menahan lapar,
di antara trotoar dan pedestrian.
 Lampu-lampu merah dan kolong-kolong jembatan layang.

Masih bertebaran, meski janji sering diumbar.
Acap tak terucap,
keluh-kesah dan rintih mereka yang terhimpit kepalsuan,

dari topeng-topeng beku dan kaku. 

Kamis, 16 Mei 2013

Debu-Debu Metropolitan XII

Debu-Debu Metropolitan XII

Ia hanya bagian dari sampah yang telah membusuk,
menuju perubahan bentuk menjadi debu.

Debu-debu yang memang harus disingkirkan.
Debu-debu yang telah mengotori metropolitan.

Rabu, 15 Mei 2013

Debu-Debu Metropolitan XI

Debu-Debu Metropolitan XI

Debu-debu telah membatu. Mengkristal.
Menggumpal di antara Plaza, Square, Mall dan ITC.
Menempel di parlemen, lalu bercengkerama di atas Istana para raja.

Debu-debu melekat erat di semua tengkuk white color crime
yang berpesta dengan proyek bancakan.
Membuat debu-debu tak lagi memalukan
karena telah melekat pada wajah-wajah kotor penuh noda.
Tak lagi sekedar partikel kotor yang aib
akibat terlalu lama menjadi rancu penghias gincu. Nurani pun tak lagi bisa bicara
karena debu terlanjur berkilau bak mutiara.

Senin, 13 Mei 2013

Debu-Debu Metropolitan IX

Debu-Debu Metropolitan IX

Waktu menggilas butir-butir debu. Bersama angin,
bersama hujan. Bersama awan.
Cakar-cakar beton berbalut keserakahan, kemunafikan, berselimut debu, dingin mencuat. Menggapai awan. Menggapai mega, menggapai cakrawala.

Namun embun tak lagi menetes. Malu katanya.
Malu pada malam yang terang, malu pada bocah perawan pengamen jalanan.
Yang telanjang separuh badan, di kebisingan malam yang panas.
Debu-debu juga tak lagi berterbangan. Enggan. Galau. Kian risau. Tiarap pada rumput-rumput kering, di taman-taman metropolitan.
Pada pedestrian. Pada kardus-kardus koyak, di kolong jembatan jalan layang, alas tidur para gelandangan.

Berselimut debu. Berselimut harapan.

Minggu, 12 Mei 2013

Debu-Debu Metropolitan VIII

Debu-Debu Metropolitan VIII

Angin menyibak waktu. Menyisir undakan debu tak berujung.
Waktu tak lelah bergulir. Mengganti hari menjadi minggu,
mendepak bulan berganti tahun.
Debu-debu kian berterbangan
di cakrawala metropolitan, memayungi belantara beton
yang kian angkuh.
Dingin dan merana.

Metropolitan ibarat kuali raksasa,
tempat menggoreng lauk-pauk hidangan para raja.
Yang muak dengan tahtanya
namun enggan bertukar singgasana.

Di belakang sang paduka, antre para pelawak
yang bertetes liur, menjilati terompah
demi seiris kekuasaan semu.
Menawarkan humor-humor murahan, yang kian tak lucu.
Lalu mengubah tafsir, beradu asumsi.

Hingga memicu angkara murka.  

Sabtu, 11 Mei 2013

Debu-Debu Metropolitan VII

Debu-Debu Metropolitan VII

Ada seonggok debu di kolong jembatan layang. Di antara tiang pancang yang membeku, di antara bising gemuruh mesin, di antara deru angin dan fatamorgana, di antara bangunan mal yang tak acuh, terkadang sinis mengejek.

Kian hari kian menumpuk, meski angin terus menerpa.
Waktu malah ikut membantu, melahirkan onggokan-onggokan baru.

Di antara debu yang kian menggonggok, dan di antara angin yang terus menerpa. Bermunculan onggokkan baru, semakin sama, semakin serupa. Berceceran pada sudut-sudut metropolitan. Bertebaran pada wajah-wajah yang berdebu.    


Jumat, 10 Mei 2013

Debu-Debu Metropolitan VI

Debu-Debu Metropolitan VI

Bunga-bunga tetap mekar walau diselimuti debu.
Karena debu suka memberi kehangatan. Meski terkadang.
Karena debu pemberi kebahagiaan, meski terkadang.

Saat angin bertiup menyibak bunga, debu gembira 
menebar tawa. Namun ketika angin tak lagi bertiup, 
bunga pun dirundung lara. 

Ia kembali galau, mengendap rindu untuk debu. 
Angin berhembus, debu bahagia. 
Bunga tak lagi merindu.

Debu-debu Metropolitan V

Debu-debu Metropolitan V

Angin menyibak awan, debu berterbagan.

Menari di ketiak para pecundang lalu menjelma menjadi daki

pada lipatan leher para gelandangan.


Debu-debu juga kian liar hinggap di dinding beton perkantoran, 
pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan. 
Simbol-simbol kapitalis metropolitan. 

Kamis, 09 Mei 2013

Debu-Debu Metropolitan IV

Debu-Debu Metropolitan IV

Angin usil menerpa, debu-debu pun bergulir.
Tapi embun, kenapa kau biarkan angin berbuat itu.
Biarkan saja debu-debu itu menikmati tidur malamnya,
berpelukan dengan sampah. Berserakan, berhamburan,
lalu kembali menjadi debu.
Kembali bercengkerama dengan para cacing.

Tapi jangan biarkan cacing-cacing memakan debu.
Karena percuma, nanti dia akan melahirkan bayi debu.
Lalu debu akan menikahi sampah dan muncul cucu debu.
Debu-debu beranak-pinak di tempat sampah. Membusuk, kembali menjadi debu.
Debu-debu terus bergelut. Berdansa di jalan raya.
Berselingkuh dengan angin. Melahirkan bayi haram berselimut debu.
Memekik tengah malam disambut dengan senyum penuh debu.

Rabu, 08 Mei 2013

Debu-Debu Metropolitan III

Debu-Debu Metropolitan III

Angin usil menerpa, debu-debu pun bergulir.
Tapi embun, kenapa kau biarkan angin berbuat itu.
Biarkan saja debu-debu itu menikmati tidur malamnya,
berpelukan dengan sampah. Berserakan, berhamburan,
lalu kembali menjadi debu.
Kembali bercengkerama dengan para cacing.

Tapi jangan biarkan cacing-cacing memakan debu.
Karena percuma, nanti dia akan melahirkan bayi debu.
Lalu debu akan menikahi sampah dan muncul cucu debu.
Debu-debu beranak-pinak di tempat sampah.
Membusuk, kembali menjadi debu.

Debu-debu terus bergelut. Berdansa di jalan raya.
Berselingkuh dengan angin.
Melahirkan bayi haram berselimut debu.
Memekik tengah malam disambut dengan senyum penuh debu.

Selasa, 07 Mei 2013

Debu-Debu Metropolitan II

Debu-Debu Metropolitan II

Tungku itu bernama Jakarta, yang memanggang matahari
pertengahan tahun kabisat.
Ketika udara panas meranggas. Cakrawala meregang,
menggelinjang lalu menggelepar.

Menepis debu-debu yang membeku, yang mengkristal.
Berterbangan. Hinggap pada wajah-wajah manequen
tanpa ekspresi.
Risau, apatis, kaku.

Kembali membuat wajah dusta menjadi bersih,
tak berdebu.
Semerbak parfum, semarak senyum.
Bertebaran. Sarat hipokris.

Debu-Debu Metropolitan I

Debu-Debu Metropolitan I

Debu-debu telah kehilangan syahwatnya,
ketika menampak wajah papa tak lagi berduka.
Itu karena libido angin telah mengusiknya. Pada setiap pergantian musim,
saat senja menuju malam.

Bersatulah para debu.
Meski dalam rindu.
Walau berselimut sendu.

Kenapa pula nestapa menjadi kian pilu. Padahal
tak ada kehangatan andai kian berlapis selimut ditebar.
Jangan ragu seperti itu. Karena masih ada doa para biksu.
Yang semakin khusu, kian tak mengenal kata lesu.

Yoss Prabu

Debu-Debu Metropolitan

Jalanan sebagai orangtua haramnya juga telah mengendapkan ampas-ampas kerinduan untuk sebuah impian masa depan. Itong nyaris t...