Nasi Bungkus Buat Ngadiman

Oleh: Yoss Prabu

Mendung menggantung di Kota Bandung. Sementara angin kian gencar menebar dingin. Rintik hujan satu dua mulai terasa. Bercampur dengan debu, menerjang ke segala penjuru.

Aku masih bergeming, mematung di etalase toko elektronik. Tertahan oleh sebuah tayangan dari pesawat televisi yang dinyalakan empunya toko. Terpampang pada layar kaca, gambar demi gambar tentang kehidupan masa lalu dari salah satu mantan petinggi negeri ini. Tentang keharuman nama dan berbagai prestasi yang pernah disandangnya.

Andai saja suatu sengatan tak menendang indera penciumanku, niscaya aku masih akan berlama-lama mematung meski terpaan gerimis mulai membasahi pakaian. Seorang gelandangan tua yang menjadi sumber kekacauan, kini tengah berdiri di sampingku. Hanya beberapa jengkal saja jaraknya. Sehingga membuat para pejalan kaki membatalkan niat untuk turut berteduh. Kukira, kehadiran lelaki tua yang tiba-tiba itu hanya sekedar ikut numpang berteduh. Sebab sekilas, kelihatannya ia acuh tak acuh dengan apa yang ada di layar kaca. Namun ketika kulirik tanpa sadar, nampak matanya memicing seolah ia ingin melihat lebih jelas lagi tampang sosok yang begitu dominan memenuhi layar kaca. Lalu gerahamnya mengeras.

Merasa terganggu dengan aroma tak sedap, aku beringsut hendak menyingkir. Tetapi urung ketika ia terdengar menggumam. Sangat jelas meski perlahan.

“Paeh siah*. Akhirnya modar juga dia.” Ucapannya datar seolah terlontar begitu saja. Tapi bagi pendengaranku, gumaman itu terasa tajam. Seperti ada sesuatu yang terpendam sekian lama. Mengingat tokoh yang sedang dalam penayangan itu, bukan orang sembarang dan punya citra buruk bagi sebagian masyarakat bangsa ini. Aku terhenyak sejenak. Sebab ungkapan itu meluncur dari mulut seseorang yang jauh untuk dikatakan sepadan dibandingkan orang yang ada di pesawat televisi.

“Siapa yang mati, Pak?” Kudekati dan kusapa lelaki tua itu. Ia kaget, barangkali tak mengira kalau gumamannya sampai terdengar telingaku. Jangankan menyahut malahan ia menjauh. Tapi gerutuannya masih terus berhamburan, seiring tangannya yang sibuk memunguti sampah plastik bekas air mineral, yang basah terkena air hujan. Gerimis yang berhamburan tertiup angin tak menghalanginya untuk mengoreki tempat sampah. Mengambil sesuatu lalu memasukkannya pada karung yang menggelayut di punggungnya yang bungkuk.

Kutaksir usia lelaki itu mendekati 70-an tahun. Tubuhnya kurus, kulitnya kering. Dipastikan kurang gizi dan terlalu sering kena sengat matahari. Namun gerakannya masih nampak lincah. Bola matanya yang memutih terkena katarak, ternyata masih cukup lumayan untuk dapat melihat botol dan gelas-gelas plastik. Ia begitu serius memulung hingga tak sadar kalau aku mengikuti langkahnya.

Tiba di pinggiran alun-alun, lelaki tua itu berhenti. Ia sandarkan punggungnya di bawah pohon rindang. Di tempat ini gerimis agak berkurang. Bibirnya masih terus menggerutu, terkadang malahan mengumpat. Membuat aku yakin, gerutu dan umpatan telah menjadi pekerjaan keduanya selain memulung. Sebab terdengar begitu fasih, bagai telah dihapal puluhan tahun.

Perlahan kudekati dan kusodorkan sebatang rokok. Ia terlihat ragu. Namun akhirnya ia mengambil juga sebatang. Kusorongkan geretan, ujung rokok pun menyala. Ia menghisapnya dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan nikmat. Angin menerpa asap menyibak guratan pada wajah yang kian mengkerut.

“Saya Barna, Bapak siapa?” sapaku basa-basi. Ia tak langsung menjawab. Hanya menoleh dan lama menatapku. Menimbang-nimbang, menarik napas. Dihimpun semua sisa kekuatannya. Saat merasa yakin, ia pun menjawab.

“Saya bukan siapa-siapa. Bukan siapa-siapa lagi. Setan itu telah menghancurkan semuanya, keluarga, pekerjaan, dan harga diri. Bahkan masa depan. Hingga nama pun, saya telah bersumpah untuk tak lagi mengingatnya. Lebih baik mati bila nama itu terucap lagi,” ia berhenti sejenak, menikmati nikotin meresap ke dalam kerongkongannya. Lalu lanjutnya, “Orang-orang memanggil saya Pak Tua.”

Kalimat demi kalimat penuh tekanan, meluncur dari bibirmya yang kering. Separuh tertutup kumis putih. Terasa ada gumpalan dendam yang lama mengkristal. Mulutnya komat-kamit mencoba menguntai sebuah kisah. Yang lama tak terungkap. Yang menjadi rahasia pribadinya.

Tuturnya, dia tidak berasal dari kota ini. Tempat kelahirannya terpencil, di suatu sudut Pulau Jawa belahan timur. Yang pernah menjadi saksi, di mana manusia dapat hilang begitu saja. Di mana suara tak lagi didengar. Tak boleh sembarang ucap. Sebab setiap kali dianggap salah, maka esoknya hanya tinggal sepenggal nama yang kembali ke keluarga. Manusianya hilang entah di mana. Tak perlu bertanya pada rumput yang bergoyang. Tanya saja pada Tuhan, beliau pasti tahu.

“Ketika ditangkap. Saya sudah bilang berulangkali, kalau saya bukan Ngadimin tapi Ngadiman,” sejenak ia kaget atas apa yang diucapkannya barusan. Sebab ia telah bersumpah untuk tidak mengucapkan nama itu lagi. Pandangannya sejenak liar. Terlihat gelisah. Seolah mencari-cari sesuatu. Ketika menyadari hanya ada aku di sampingnya, ia pun kembali tenang. Pandangannya kembali beralih pada ujung rokok yang meninggalkan abu panjang. Menarik napas dalam, sedikit mendesah. Menjentik dengan jari, lalu bercerita kembali.

“Ah......., kenapa saya ucapkan lagi nama itu. Padahal saya telah bersumpah, tak akan lagi mengingatnya,” Pak Tua mendesah. Namun keraguan sudah tak terasa pada kalimat berikutnya. “Saya bukan Ngadimin, tapi Ngadiman. Namun entah kenapa para keroco keparat itu seperti tak lagi punya telinga. Mentang-mentang punya bedil, datang diam-diam lalu menangkap seenaknya.” Ia berhenti lagi. Menyalakan rokok berikutnya yang kusodorkan.

Aku tak bereaksi. Menunggu kalimat berikutnya yang akan terucap.

“Semua penduduk tahu, di dusun itu hanya ada Ngadiman. Entah kenapa pula semua jadi bebal, sinting. Dasar bego! Bahkan aparat desa pun jadi ikut-ikutan edan. Dengan alasan salah ketik mereka dengan mudahnya mengganti huruf a menjadi i. Lalu dengan enteng pula berkata, yang tengah dicari memang Ngadiman. Sontoloyo!!”

Pak Tua semakin terbenam dalam nikotin dari asap rokok yang dihurupnya. Terbenam dalam pikirannya. Jauh menerawang.

“Lalu saya dibawa ke balai desa. Di sana, telah banyak yang mengalami nasib serupa. Tuduhan yang ditimpakan pun beragam. Dari berniat menggulingkan pemerintahan yang sah, hingga berkomplot untuk merencanakan pembunuhan para jenderal. Dan bla bla bla lain yang segudang banyaknya. Asssu...!, boro-boro untuk mengurusi begituan, sekedar cari makan saja susah.”

Aku terus menyimak. Menyimak dalam diam.

Sebagai orang desa yang hanya tahu cangkul dan parang, Ngadiman tak mengerti tentang apa yang dituduhkan. Ia bingung setiap kali pertanyaan dilontarkan dari orang-orang yang menangkapnya. Akibatnya, setiap hari, setiap jam gebukan pun kian akrab dengan tubuhnya, dengan wajahnya. Pendengarannya jadi terganggu akibat popor senapan yang rajin menciumi tengkuknya. Semua itu untuk sebuah pengakuan. Yang tak juga terucap dari bibir Ngadiman.

Tak mempan dengan kekerasan, seorang perwira membujuk. Apabila ia menandatangani surat pengakuan sebagai anggota partai terlarang maka siksaan akan dihentikan, begitu katanya. Keteguhan Ngadiman pun lumer. Namun ternyata ia salah. Sang perwira ingkar dari sapta marga dan dengan hina menjilati ludahnya sendiri. Siksaan tak pernah berhenti, malahan duabelas tahun menjadi orang buangan. Satu tahun di Salemba, dua tahun di Nusakambangan. Sementara sisanya di Pulau Buru. Tanpa pernah sekali pun, mencicipi kursi pesakitan pengadilan.

“Anak saya empat, yang pertama barangkali saat ini sudah seumurmu. Tapi entah di mana dia. Di mana pula ketiga adik dan ibunya,” terasa benar ada kerinduan yang menumpuk.

“Awal delapan puluhan,” Ngadiman melanjutkan. “Saya pulang dari Pulau Buru. Tapi persoalan masih berlanjut. Cap yang ditorehkan sebagai anggota partai terlarang masih terus melekat dan sulit dihilangkan. Jangankan dapat mencari nafkah dengan bebas. Hanya untuk menjadi pemulung saja, setiap orang yang pernah mengenali saya akan tak henti-hentinya meludah setiap kali bertemu. Akhirnya saya berkelana, dari satu kota ke kota lain. Mengusung harapan demi harapan, agar dapat berkumpul kembali dengan keluarga.” Ngadiman diam meski bibirnya masih terlihat bergerak-gerak. Kujelajahi setiap mili wajahnya untuk mendapat keyakinan kalau Ngadiman tidak hanya sekedar mengumbar bualan.

Angin kembali bertiup dan tampias gerimis menyiprat wajah Ngadiman. Daun-daun kering bergoyang. Rontok dan berterbangan. Lalu berserakan, hingga ke jalanan. Ngadiman sudah kembali tenang. Kretek telah habis enam batang dan dengusannya mulai berkurang. Namun tatapannya masih tetap tajam, meski tak seliar pertama berjumpa.

“Lalu siapa yang mati itu, Pak Tua?” Aku kembali memancing.

“Orang itu......, orang itu. Yang berita kematiannya tadi ada di tivi. Yang selama tigapuluh tahun lebih beronani dengan kekuasaannya.” Ia mulai lagi memaki. Tapi dengan seulas senyum pahit agak sinis. Entah kenapa pula aku ikut terhanyut dalam kisah getir Ngadiman. Yang terus menyeret dendam pada setiap pengembaraannya.

Tapi aku yakin, Pak Tua ini tak sendirian. Ratusan, barangkali ribuan orang sepertinya telah menjadi korban. Dari seuntai sejarah yang tak tercatat. Ada yang kemudian pulang lalu kembali berkumpul dengan keluarganya. Berusaha hidup normal, melupakan masa lalu, memandang cerah masa depan. Namun juga tak bisa dipungkiri, banyak yang hidupnya terlunta-lunta. Berkelana ke setiap kota. Menjadi orang asing di negerinya sendiri.

Seperti yang dialami Ngadiman ini. Ia memilih kembali ke desa asalnya, walau ia sendiri tahu keluarganya telah lama tak ada lagi di sana. Kemudian luntang-lantung membawa dendam bercampur dengan rongsokan dalam karung yang menggelayut di punggungnya.

Hari telah merambat menggapai petang. Sementara mendung masih terus mengambang.

“Tapi Pak, yang Bapak saksikan tadi di televisi, itu telah lama terjadi,” kujelaskan padanya, tentang peristiwa yang tadi ia saksikan. Ia kaget dan menatapku lama sekali. Seolah mencari kebenaran di setiap sudut wajahku.

“Jadi setan itu sudah lama mati?” Aku kembali menggangguk. Wajahnya mulai terlihat gembira.

“Ia tentu mati dengan meninggalkan banyak persoalan,” ucapnya. Bagai terlontar begitu saja. Aku hanya tersenyum kecut. Dan baru sadar, kalau perutku belum terisi apa pun sejak siang tadi. Tentunya Pak Tua ini juga mengalami hal sama. Maka aku pamit untuk mencari makanan. Ia tak bereaksi. Aku beranjak meninggalkannya sendirianan. Celakanya, tak ada warung makanan di sekitar alun-alun hingga terpaksa harus mencari ke tempat yang agak jauh.

Hanya sekitar duapuluh menit aku berlalu. Namun ternyata dalam waktu sesingkat itu, apapun bisa terjadi. Ketika aku kembali, terlihat kerumunan manusia di tepi jalan dekat alun-alun. Aku menyeruak, dan di tengah-tengah kerumunan itu terlihat Ngadiman tergeletak dengan kepala berlumuran darah. Napasnya tersengal-sengal, tatapannya nanar. Pandangannya mengitari kerumunan manusia yang kian berdatangan. Ia mencari-cari sesuatu. Lalu tersenyum saat yang dicarinya muncul. Tangannya bergerak-gerak menggapai.

Dengan sigap aku mendekat. Berjongkok, dan kurebahkan kepalanya di pangkuan.

“Kenapa...., kenapa Pak Tua ini?” Aku bertanya pada semua orang.

“Ia tertabrak angkot,” jawab seseorang dari arah belakang. Kutolehkan kepalaku.

“Ia seperti terburu-buru jadi tidak melihat ada angkot lewat,” jawab seseorang lagi dari samping kiri. Aku menoleh ke arahnya.

“Lagian nyebrang kok enggak lihat-lihat.”

“Makanya tengok kiri kanan dulu kalau nyebrang.”

“Sudah tua kok keluyuran sendirian.”

Berbagai komentar saling susul. Dari segala arah. Berbaur dengan bising kendaraan yang terhenti akibat terhalang massa. Beberapa turun lalu melihat. Ada juga yang sekedar menurunkan kaca jendela, lalu bertanya pada orang di dekatnya. Yang ditanya menggeleng. Atau menyahut sekenanya. Jalanan menjadi macet. Klakson bersahutan. Yang berada di kejauhan, berlari-lari mendekat. Menyeruak kerumuan. Yang menghalangi tetap bergeming. Yang penasaran memaksa masuk. Suasana jadi semrawut. Lalu lintas apalagi. Beberapa berteriak menyuruh memanggil polisi. Yang diteriaki tak jelas siapa. Malahan celingukan saling tatap. Satu dua mengangkat bahu. Yang lainnya meraba-raba saku. Tak ada hp. Tak bisa memanggil polisi. Lalu kembali memandangi Pak Tua.

“Hanya kamu yang tahu kisah ini, saya tidak pernah cerita pada siapa pun sebelumnya. Saya....., saya....., saya bukan komunis,” suara Ngadiman tersendat. Tak dapat melanjutkan kata-katanya. Kepalanya terkulai lemas. Ia menghembuskan napas terakhirnya di atas pangkuanku. Kupandangi wajah Ngadiman. Tenang, damai, tak ada lagi dendam yang telah dibawanya berkelana selama puluhan tahun. Kurebahkan kepalanya di atas aspal keras. Plastik hitam berisi rokok dan dua nasi bungkus yang sekiranya hendak kumakan bersama Ngadiman, kugeletakkan begitu saja. Hilang sudah selera makanku.

Ngadiman nan malang. Puluhan tahun berkelana untuk mencari keluarganya, ternyata harus berakhir dijagal angkot sialan yang supirnya kabur entah kemana. Ketika polisi datang, massa pun menyeruak. Ngadiman mati apakah karena ia melanggar sumpahnya? Entahlah. Tapi yang pasti hujan mulai terasa rintiknya. Mendengung di telingaku perkataan mendiang ibu beberapa tahun silam.

“Ibu kangen pada bapakmu….., masih hidupkah dia di Pulau Buru.”

Kupandangi langit kelabu. Namun tak ada jawaban di sana.

Sekian.

Jakarta, 2013

*Paeh siah: Mati kau (bhs Sunda-Jawa Barat)

Komentar

Postingan Populer